Mengisahkan Keyla Ayunda seorang janda yang baru saja kehilangan saja kehilangan suaminya namun harus menghadapi kenyataan bahwa sang adik ipar rupanya menyimpan perasaan padanya. Drama pun terjadi dengan penuh air mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keberanian Melawan Dan Pengakuan Kembali
Jakarta. Keyla Ayunda, setelah kembali dari pelariannya di Lampung, akhirnya memutuskan untuk mencari Azriel Damansara. Ia tidak peduli pada kekacauan Zehra di ruang sidang atau keberadaan Rezi; ia hanya mencari setitik kejujuran.
Keyla mengikuti alamat sederhana yang diberikan oleh orang kepercayaan mengenai Azriel, membawanya ke sebuah taman kecil yang tenang di dekat sekolah pemuda itu.
Tak lama kemudian, Azriel muncul. Ia terlihat baru pulang sekolah, mengenakan seragam putih abu-abu, membawa tas punggung yang usang. Wajahnya polos, tanpa ambisi, tanpa kepalsuan—kontras total dengan semua orang di lingkaran Keyla.
Keyla mendekati Azriel yang sedang duduk di bangku taman.
“Azriel?” tanya Keyla lembut.
Azriel mendongak. Ia terkejut melihat Keyla, wanita cantik dan elegan yang menolongnya beberapa waktu lalu.
“Mbak Keyla? Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Azriel, nadanya khawatir.
Keyla duduk di sampingnya, mengambil napas dalam-dalam. Ia memutuskan untuk jujur, tidak peduli betapa gilanya cerita ini terdengar.
“Aku ingin bicara padamu, Azriel. Aku datang jauh-jauh karena aku butuh kejujuran. Aku butuh perspektifmu,” kata Keyla, matanya berkaca-kaca.
Keyla menceritakan semuanya: tentang somasi dari Nazlian, tentang Rezi dan cintanya yang obsesif, tentang pembunuhan Ardito, dan tentang video deepfake yang membuatnya meragukan suaminya. Ia menceritakan bagaimana ia merasa dikelilingi oleh kebohongan dan kekerasan, dan bagaimana ia hanya ingin menemukan tempat yang murni.
“Aku tidak tahu lagi mana yang benar, Azriel,” kata Keyla, air matanya menetes. “Apakah suamiku mencintaiku? Apakah Rezi adalah pahlawan atau iblis? Aku lelah.”
Azriel mendengarkan dengan serius, wajahnya menunjukkan simpati yang tulus, tidak ada penghakiman.
“Mbak Keyla,” kata Azriel lembut, setelah Keyla selesai bercerita. “Saya tidak mengerti semua tentang bisnis besar dan deepfake. Tapi saya tahu satu hal: Mas Ardito meninggal. Mbak Keyla menangis. Itu yang nyata. Cinta dan kesedihan Mbak itu nyata.”
“Mbak tidak perlu percaya pada video itu. Mbak hanya perlu percaya pada apa yang hati Mbak rasakan. Kalau Mas Ardito menyakiti Mbak, Mbak pasti sudah tahu lama. Jangan biarkan omongan orang mati atau hidup merusak memori indah yang Mbak punya.”
Kata-kata sederhana Azriel menghantam Keyla dengan kekuatan yang tak terduga. Kejujuran itu adalah kebenaran yang ia butuhkan.
Di sisi lain taman, di balik pohon rindang, Rezi Deja berdiri diam, memerhatikan semua dari balik pohon dengan tatapan nanar. Ia telah mengikuti Keyla, ingin memastikan Keyla aman, tetapi kini ia menyaksikan wanita yang ia cintai berbagi momen intim dan emosional dengan pemuda asing itu.
Rezi melihat ketenangan Keyla di hadapan Azriel, dan ia tahu. Azriel, dengan kesederhanaannya, telah memberinya apa yang tidak bisa diberikan Rezi dengan seluruh kekayaan dan kekuasaannya: kedamaian.
Cinta Rezi telah membawa kekacauan. Azriel membawa ketenangan. Rezi menyadari kekalahan sejatinya. Ia berbalik, meninggalkan Keyla dan Azriel, berjalan menjauh di bawah tatapan nanar yang dipenuhi rasa sakit.
****
Bandung. Keributan yang diciptakan Tatik di ruang sidang, di mana ia menerjang dan menyerang Zehra Magnolia, segera menjadi viral. Media lokal dan nasional, yang sudah lama mengikuti drama Dapur Magnolia dan Bu Runi, dengan cepat menyebarkan video kekacauan itu.
Judul berita utama berbunyi: "Histeria di Ruang Sidang: Putri Terdakwa Pembakaran Serang Zehra Magnolia, Tuding Korban Tak Waras!"
Video Tatik yang ditarik keluar dari ruang sidang, meronta-ronta dan berteriak menuding Zehra sebagai ‘wanita penyihir’ dan ‘pembuat berita bohong’, menjadi tontonan publik.
Meskipun Zehra mengalami shock setelah diserang, ia menanggapi insiden itu dengan martabat yang luar biasa. Ia mengadakan konferensi pers singkat di luar gedung pengadilan.
“Saya sangat menyayangkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Tatik,” kata Zehra, suaranya terdengar lelah tetapi tidak takut. “Saya berharap ia mendapatkan bantuan yang ia butuhkan. Saya tidak bersalah dalam hal ini. Saya hanya bersaksi di bawah sumpah tentang fakta yang terjadi—pembakaran warung saya. Saya tidak akan membiarkan kekerasan ini membuat saya takut, dan saya tidak akan membiarkan kebohongan merusak usaha saya.”
Zehra menatap tajam ke kamera. “Saya telah melewati perceraian, saya melewati fitnah, dan saya melewati pembakaran. Saya tidak akan menyerah hanya karena teriakan histeris di ruang sidang. Saya akan terus berjuang untuk keadilan dan ketenangan. Dan saya akan terus melayani makanan jujur di Dapur Magnolia.”
Respons Zehra yang tenang di tengah kekacauan justru semakin memperkuat citranya. Publik memihak Zehra, melihatnya sebagai wanita yang teguh menghadapi fitnah dan kekerasan.
****
Eropa. Nazlian Inci, yang kini berada dalam sel isolasi, menolak semua tuduhan yang disangkakan padanya. Penangkapan itu tidak meredakan kegilaannya, justru memperburuknya.
Di ruang interogasi, Nazlian meraung tak terima saat agen Interpol menunjukkan bukti sabotase rem, transfer dana, dan rekaman deepfake.
“Itu semua bohong! Itu rekayasa! Rezi Deja yang membuat semua ini!” teriak Nazlian, rambutnya acak-acakan, matanya merah. “Dia yang membunuh suami Keyla! Dia yang menyewa wanita Spanyol gila itu untuk menghancurkan hidup saya! Saya adalah korban! Mereka memfitnah saya!”
Nazlian menolak menandatangani dokumen apa pun, bersikeras bahwa ia adalah korban konspirasi yang dirancang oleh Rezi dan Lucia. Ia tertawa histeris, tawa yang brutal dan tidak terkendali, seolah ia sudah memenangkan pertarungan ini dengan merusak kewarasan musuh-musuhnya.
“Mereka tidak akan bisa memenjarakan saya!” Nazlian berteriak pada agen. “Saya akan melihat mereka semua hancur! Keyla akan meragukan suaminya seumur hidupnya, dan Rezi akan kehilangan semua yang dia cintai! Itu kemenangan! Kemenangan!”
Meskipun Nazlian terus menolak dan berteriak, bukti yang dikumpulkan oleh Rezi dan Lucia terlalu kuat. Proses ekstradisi Nazlian ke negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus pembunuhan Ardito—kemungkinan besar Indonesia—sedang diatur.
****
Jakarta. Rezi Deja, setelah menyaksikan pertemuannya dengan Azriel dari balik pohon, kembali ke kantornya dengan hati yang remuk. Ia melihat ketenangan yang diberikan Azriel kepada Keyla, sesuatu yang tidak pernah bisa ia berikan.
Namun, obsesi Rezi terlalu kuat untuk padam. Ia menolak menyerah. Ia tahu, Keyla kini sedang menjauhi kekacauan, dan ia harus membuktikan bahwa ia bisa menjadi sumber kedamaian dan bukan hanya kekacauan.
Rezi mulai membersihkan sisa-sisa ledakan di kantornya, bekerja tanpa lelah. Ia mengirimkan pesan kepada Keyla, bukan lagi dengan janji-janji, tetapi dengan tindakan.
Ia mengirimkan karangan bunga putih besar ke rumah Keyla, dengan catatan sederhana:
Aku tahu aku tidak bisa memberimu kedamaian, tapi aku bisa memberimu kejujuran dan keamanan. Aku akan menunggu, Keyla. Cintaku tulus. Aku akan membuktikan bahwa aku pantas mendapatkanmu.
Rezi kemudian menghubungi semua koneksinya, memastikan tidak ada lagi berita negatif yang menyentuh Keyla. Ia berusaha keras menciptakan lingkungan yang aman bagi Keyla, berharap tindakan itu akan menggantikan ribuan kata.
Suatu malam, Rezi memberanikan diri menemui Keyla di taman apartemennya.
“Aku tahu kau tidak ingin melihatku,” kata Rezi, berdiri jauh, menghormati jarak yang Keyla inginkan. “Tapi aku ingin mengatakan ini lagi: Aku mencintaimu, Keyla. Aku salah, tapi itu adalah cinta yang tulus. Aku tidak akan memaksamu, tapi aku akan ada di sini. Saat kau memutuskan untuk kembali ke dunia yang nyata, aku akan menjadi satu-satunya kebenaran yang tidak bisa kau tolak.”