Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Tawaran kerjasama yang ambigu...
Meskipun Ryan telah menyelamatkan Asmara dari situasi canggung dengan mantan kekasihnya, di dalam pesawat, tidak ada satu pun tanda-tanda bahwa peristiwa itu pernah terjadi. Begitu mereka melangkah melewati gerbang kru, mereka kembali menjadi Kapten Ryan yang kaku dan Pramugari Asmara yang tegas.
Penerbangan mereka kali ini adalah rute panjang ke Dubai, sebuah kota yang bersinar di tengah padang pasir, dengan arsitektur futuristik yang menusuk langit.
Di Ketinggian 38.000 Kaki
Pekerjaan kru pesawat berjalan mulus. Asmara sibuk mengurus penumpang First Class, melayani dengan senyum profesional yang tidak menjangkau matanya.
Ryan berada di kokpit, fokus penuh pada kendali pesawat. Komunikasi di antara mereka hanya sebatas interaksi resmi, seperti permintaan informasi cuaca, laporan makanan yang tersisa, atau pengumuman standar.
Saat pesawat melintasi kegelapan malam di atas Samudra Hindia, Asmara sedang memilah majalah di galley depan. Pintu kokpit terbuka, dan First Officer yang bertugas keluar untuk ke toilet. Hanya Ryan yang tersisa di sana.
Beberapa menit kemudian, Ryan memanggil Asmara melalui interkom.
"Pramugari Asmara, tolong bawakan air mineral dingin. Segera." Ryan berkata di interkom dengan datar dan teredam.
Asmara segera mengambil botol air mineral dan membawanya ke depan. Ia mengetuk pintu kokpit dan membukanya sedikit.
"Air mineral, Kapten."
Ryan, yang sedang sibuk memantau monitor, mengangguk tanpa menoleh. "Letakkan saja di konsol samping."
Saat Asmara meletakkan botol itu, matanya tak sengaja tertuju pada log book Ryan yang terbuka. Di sudut halaman, ada sebuah sketsa kecil yang terlihat tergesa-gesa. Itu adalah sketsa siluet seorang wanita berseragam pramugari, yang terlihat sedang tersenyum.
Asmara langsung menarik pandangannya. Jantungnya berdebar kencang. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Apakah itu aku?
Ryan akhirnya menoleh, ekspresinya kembali kaku. "Ada yang lain, Asmara?"
Asmara cepat-cepat menggeleng, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Tidak ada, Kapten. Permisi."
Ia menutup pintu kokpit dengan cepat. Sepanjang perjalanan kembali ke galley, pikirannya dipenuhi oleh sketsa itu. apakah itu adalah petunjuk kecil, sebuah celah yang menunjukkan bahwa Kapten Ryan yang beku itu ternyata memikirkannya di saat-saat sepi.
...🌸...
Saat Menyaksikan Cahaya Dubai 🌝
Fajar mulai menyingsing, pesawat mulai melakukan prosedur pendaratan. Asmara berdiri di dekat jendela, mengamati kota Dubai yang bermandikan cahaya keemasan matahari terbit. Gedung-gedung pencakar langit, termasuk Burj Khalifa yang ikonik, menembus kabut pagi. Pemandangan itu selalu menakjubkan.
Saat pesawat telah mendarat dengan mulus dan bergerak perlahan menuju gate, Ryan keluar dari kokpit. Ia melewati Asmara yang berdiri dekat pintu.
Ryan berhenti sebentar, pandangannya lurus ke depan, tidak menoleh ke Asmara. "Pendaratan yang bagus, Kapten."
Ryan Mengangguk pelan. "Seperti biasa. Perfect.!"
Asmara mengambil napas dalam-dalam. "Kapten."
Ryan berhenti berjalan.
"Terima kasih... anda telah menolong saya, di parkiran waktu itu."
Ryan akhirnya menoleh. Ekspresinya melunak sedikit, hanya sesaat, seperti kilatan cahaya di kejauhan.
"Jangan terlalu dipikirkan. Itu tugas saya untuk memastikan Anda aman. Sekarang, fokus pada pekerjaan Anda. Sampai jumpa di briefing sore."
Ia mengucapkan kalimat itu dengan nada dingin yang biasanya, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menunggu jawaban. Ia telah kembali membangun dinding beku itu.
Namun, saat Asmara melihat kepergiannya, ia tahu. Tindakan Ryan lebih jujur daripada kata-katanya. Dan sketsa yang ia lihat di kokpit tadi malam, itu jauh lebih hangat dari sikap kaku yang selalu ditampilkan Ryan.
...🌸...
...🌸...
Pintu kaca toko kue beraroma vanila dan cardamom berbunyi pelan saat Asmara melangkah masuk. Ia sudah berganti pakaian santai, celana panjang linen dan blus sederhana, menghilangkan jejak seragam yang selalu terlihat kaku. Setelah seharian menahan diri dan keprofesionalan palsu, ia hanya ingin menikmati sepotong kue pistachio di malam yang sunyi di dubai.
Saat ia sedang melihat etalase, mencari kue yang paling menggoda, ia mendengar suara berat yang familier di belakangnya.
"Sangat jarang melihat Anda di darat, Asmara. Biasanya Anda sudah tidur atau terbang ke benua lain."
Asmara menoleh. Itu adalah Ryan, mengenakan kaus polo hitam dan celana khaki, penampilannya jauh lebih santai, namun aura kaku dan dinginnya tetap terasa. Di tangannya, ia memegang kotak kecil yang berisi sekantong macaron warna-warni.
Asmara mengangkat kedua bahunya dengan ringan."Saya butuh gula untuk mengatasi jetlag, Kapten. Bagaimana dengan Anda? Saya kira Kapten pilot hanya mengonsumsi kopi hitam."
Ryan menunjukkan macaron-nya. "Itu adalah kelemahan rahasia saya. Tapi panggil saya Ryan, kita di luar jam kerja."
"Ryan, itu sangat tidak sopan kapten." kata Asmara, merasa canggung. Lalu Ia mengambil nomor antrean.
"Kapten Ryan," lanjut Asmara, berbalik menghadapnya. "Saya ingin mengucapkan terima kasih secara layak atas yang terjadi di parkiran. Anda tidak harus melakukannya, tapi saya sangat menghargainya."
"Tidak masalah. Devanka perlu tahu batasnya. Itu adalah tindakan yang profesional."
"Tetap saja, itu sudah membantu. Biar saya yang bayar pesanan Anda malam ini. Anggap saja traktiran."
Ryan menatap Asmara dengan pandangan intens, pandangan yang membuat Asmara ingat akan sketsa pramugari di kokpit pesawat itu. Senyum tipis yang jarang terlihat muncul di bibir Ryan.
"Traktiran saja tidak cukup, Asmara."
Asmara bingung. "Maksud Anda?"
"Anda berutang kepada saya lebih dari sekadar macaron."
Asmara mendengus kecil, ia tak memperdulikan ucapan Ryan, Asmara tetap memaksa membayar kue miliknya dan juga Ryan.
Setelah selesai bertransaksi, Ryan mengisyaratkan Asmara untuk pindah ke sudut kafe yang lebih sepi.
Meski ragu, tapi Asmara tak punya alasan untuk menolak.
Mereka duduk berhadapan dengan canggung, karena untuk pertama kalinya, Asmara berhadapan hanya berdua dengan Ryan.
Ryan menatap Asmara dengan seksama, ia mencondongkan tubuhnya sedikit mendekat, Ia berbicara dengan suara rendah, nyaris berbisik, seperti sedang menyampaikan rencana penerbangan rahasia.
"Dengar, saya akan berterus terang. Saya membutuhkan bantuanmu, dan kamu membutuhkan perlindungan yang lebih kuat daripada sekadar teguran di tempat parkir."
Asmara mengerutkan kening. "Maksud anda apa kapten ?" tanya Asmara tidak mengerti.
"Saya tau, Devanka adalah mantan pacar kamu, dia sudah menikah, tapi sepertinya dia ingin mengejarmu lagi, meminta kamu kembali padanya, apa saya salah ?" kata Ryan.
Asmara terkejut mendengar penuturan Ryan, ternyata gosip antara dirinya dan Devanka masih saja terdengar, hingga seorang kapten Ryan yang tak pernah peduli lingkungan sekitar, bisa mengetahui masa lalunya dengan Devanka.
"Anda benar Kapten, tapi Saya sudah bilang, saya bisa mengatasi Devanka." jawab Asmara penuh percaya diri.
"Tidak, Anda tidak bisa. Devanka bukan sekadar mantan pacar yang cemburu. Dia adalah risiko profesional. Jika dia terus mengganggu Anda, menyebarkan rumor, atau menggunakan pengaruhnya di bandara, karier Anda yang terancam, bukan dia."
Ryan berhenti sejenak, menatap mata Asmara, mencari respon.
"Sedangkan saya, saya menghadapi risiko domestik. Mami saya. Dia sangat keras dan obsesif menjodohkan saya dengan anak-anak sosialita temannya. Dia ingin saya cepat menikah, makanya dia tak menyerah untuk melakukan perjodohan untuk saya, dan saya tidak suka di jodoh-jodohkan."
Ryan menghela napas, gestur yang jarang ia tunjukkan. Ini adalah momen kerentanan yang nyata.
"Saya mengajukan tawaran kerja sama, Berpura-puralah menjadi pacar saya."
Asmara terdiam. Ia merasa seolah turbulensi menghantamnya tanpa peringatan.
"Dengan Anda di sisi saya, Mami saya akan mundur. Saya bisa menggunakan hubungan palsu ini untuk mendapatkan kebebasan. Dan sebagai imbalannya," Ryan menekankan, "Anda mendapatkan perisai terkuat. Ketika Devanka melihat Anda menjalin hubungan dengan Kapten senior, secara terbuka, dia tidak akan berani mendekat lagi. Tindakannya akan dianggap sebagai pelecehan terang-terangan yang langsung berisiko pada pemecatan. Itu adalah solusi ganda."
Asmara menarik napas tajam. Rencana itu logis, masuk akal, dan menawarkan solusi yang kuat untuk kedua masalah mereka. Namun, itu sangat berbahaya.
"Apa? Berpura-pura? Kapten Ryan, kita tidak bisa melakukan itu!" kata Asmara dengan mata membulat, saking terkejutnya.
"Kenapa tidak?"
"Kita bekerja di maskapai yang sama! Kita adalah pilot dan pramugari, ini melanggar etika profesional, ini bisa memicu gosip yang merusak, dan jika ketahuan, ini akan merusak karier kita berdua! Terutama saya!"
Asmara bangkit dari kursi, penolakan itu datang secara spontan. Penolakan yang cepat dan lantang.
"Anda pikir hubungan palsu adalah lelucon? Saya baru saja melewati hubungan yang hancur karena masalah nyata! Saya tidak akan mengambil risiko karier saya hanya untuk drama keluarga Anda! Terima kasih atas tawaran Anda, Kapten Ryan. Tapi jawaban saya adalah tidak. Saya bisa mengatasi Devanka sendiri."
Asmara berbalik dan berjalan cepat menuju pintu keluar, meninggalkan Ryan sendirian di sudut kafe dengan macaron yang belum tersentuh. Wajah Ryan kembali kaku, namun kali ini bukan karena sifat alaminya, melainkan karena keterkejutan atas penolakan Asmara yang begitu tegas dan mendadak.
...✈️...
...✈️...
...✈️...
^^^Bersambung^^^