Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Saat Keadilan Menjadi Iblis
Malam itu, Noir merasa tubuhnya sangat lelah. Lebih dari sekadar lelah fisik, ia merasakan kelelahan yang mendalam, seperti ada beban berat yang menindih dadanya. Ia mencoba tidur, namun pikirannya terus berputar—tentang istrinya yang pergi, tentang anak bayinya yang hilang, tentang dunia yang semakin kejam dan penuh kebusukan. Semua itu menumpuk, membebani jiwanya dengan cara yang tak terkatakan.
Di dalam kegelapan kamar yang sunyi, Noir merasakan tubuhnya mulai gemetar. Pusing yang tak bisa dijelaskan datang menghampirinya, seperti dunia yang tiba-tiba berputar terlalu cepat. Keringat dingin mengalir di dahinya, dan napasnya menjadi tersengal. Ia berusaha duduk, namun tubuhnya menolak. Rasa mual menyergapnya, dan ia akhirnya terjatuh ke lantai, tak mampu menggerakkan tubuhnya.
Ia terbaring di sana, sendirian di kegelapan malam. Tak ada yang datang untuk menolongnya. Dalam keputusasaan yang mendalam, ia merasa segala yang telah ia tanggung, segala rasa sakit, semua tekanan yang ia simpan selama ini, akhirnya membawanya ke titik ini—kejatuhan fisik dan mental yang tak bisa ia hindari lagi.
Malam itu, Noir tak bisa menghindari kenyataan bahwa ia sudah terlalu lama menahan segalanya. Semua perasaan yang selama ini ia pendam, semua kesedihan yang tak pernah ia ungkapkan, akhirnya menuntut bayaran. Tubuhnya tak sanggup lagi menahan beban yang ada di dalamnya. Ia menutup mata, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Noir merasakan dirinya hampir menyerah.
Namun, dalam kegelapan itu, ada satu hal yang tetap ada—kerinduan. Kerinduan akan masa-masa ketika hidupnya lebih sederhana, ketika cinta masih menjadi alasan untuk bertahan. Kerinduan akan anaknya yang pernah ia gendong, dan istrinya yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati. Malam itu, Noir berbaring dalam kegelapan, sakit, lelah, dan kosong.
Malam itu, saat Noir terbaring di lantai dengan tubuh yang lemah dan pikiran yang kacau, kenangan-kenangan lama muncul kembali. Kenangan tentang dirinya sebagai seorang pemuda yang penuh semangat, yang melihat dunia dengan mata yang jernih, penuh dengan mimpi dan harapan.
Dulu, Noir adalah seorang pemuda naif. Dia percaya bahwa dunia bisa berubah, bahwa segala sesuatu yang rusak bisa diperbaiki jika ada cukup usaha. Ia percaya bahwa kejujuran dan kerja keras adalah kunci untuk mengubah tatanan dunia. Sebagai anak muda yang penuh idealisme, ia memimpikan dunia yang lebih baik, tempat di mana tidak ada lagi penindasan, tidak ada lagi ketidakadilan.
Ia membayangkan dirinya berdiri di depan, mengubah dunia dengan tangan sendiri, menggulingkan sistem yang busuk dan memberikan harapan bagi mereka yang tertindas.
Namun, seiring berjalannya waktu, mimpi itu mulai pudar. Keadaan dunia yang semakin suram, ditambah dengan kegagalan-kegagalan yang tak terhindarkan, mulai meruntuhkan fondasi harapannya. Noir mulai melihat kenyataan pahit yang tersembunyi di balik semua idealisme yang dulu ia pegang teguh.
Dunia ini, ternyata, tidak mudah untuk diubah. Sistem yang telah ada begitu kuat, terjalin dengan rapatnya korupsi, ketidakadilan, dan kebusukan yang telah mengakar begitu dalam.
Dia mencoba untuk melawan. Pada awalnya, dengan semangat membara, ia bergabung dengan kelompok yang berjuang untuk perubahan, mencoba memimpin orang-orang yang merasa tersisih dan tertindas. Tetapi semakin ia berjuang, semakin ia merasakan betapa beratnya dunia yang ia hadapi.
Setiap usaha untuk memperbaiki keadaan selalu terhalang oleh kekuasaan yang lebih besar, oleh mereka yang punya uang dan pengaruh, yang memandang dirinya hanya sebagai alat untuk dipakai dan dibuang.
Di satu titik, Noir merasa dunia ini seperti labirin yang tak ada jalan keluarnya. Ia bertarung dengan sistem yang sama sekali tidak peduli pada individu. Setiap kali ia mencoba untuk mengubah sesuatu, ia malah merasa semakin terkekang, semakin terjerat dalam kebusukan yang ada.
Ia mulai menyadari bahwa orang-orang yang mengaku ingin berubah, sebenarnya hanya ingin menggantikan posisi mereka di atas, bukan benar-benar meruntuhkan sistem yang rusak. Mereka tidak lebih dari serigala-serigala yang menunggu giliran untuk memangsa.
Sangat naif, pikirnya dalam hati. Harapan yang dulu membakar jiwanya kini hanya menjadi abu dingin. Dan di tengah kegelapan yang menyelimutinya, saat tubuhnya terkapar tak berdaya, sebuah tekad baru yang kejam dan gelap mulai tumbuh.
Jika keadilan tidak bisa ditegakkan dengan cara-cara yang baik, maka ia akan menjadi iblis yang mengantar keadilan itu dengan cara yang paling brutal.