Wan Yurui terbangun kembali saat usianya masih belia. Ingatan di dua kehidupan itu melekat kuat tidak bisa di hilangkan. Satu kehidupan telah mengajarinya banyak hal. Cinta, benci, kehancuran, kehilangan, penghianatan dan luka.
Di kehidupan sebelumnya dia selalu diam di saat takdir menyeretnya dalam kehampaan. Dan sekarang akankah semua berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Wulandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat lamaran pernikahan
Tahun keempat puluh masa pemerintahan Kekaisaran Ming Peizhi. Wan Yurui telah berusia tujuh belas tahun. Dia ingat betul tahun itu akan menjadi tahun titik balik kehidupannya. Kaisar Ming Peizhi memberikan surat lamaran kepada Ayahnya. Dan dirinya harus menikah dengan pangeran keempat Ming Jing. Namun dia tidak ingin mengulang semua masalah yang sama. Mengulang pembunuhan berdarah yang berlangsung belasan tahun lamanya.
Di dalam aula utama kediaman, Wan Yurui duduk tenang menanti kedatangan Ayahnya juga Ibunya.
"Gadis kecil, ada apa? Apa kamu ingin membuat aku bangkrut lagi?" Panglima Wan Ding berjalan santai masuk kedalam ruangan. Namun ekspresi wajahnya seketika berubah setelah melihat tatapan dingin putrinya. Dia tahu kapan putrinya akan berbuat seenaknya dan kapan putrinya akan berbicara serius. "Apa ada orang yang menganggumu?" Duduk di depan putrinya.
"Setelah Ibu datang. Aku akan menjelaskannya," ujar Wan Yurui.
Panglima Wan Ding mulai merasa tidak nyaman dengan tingkah putrinya. Meskipun gadis kecilnya menjadi gadis muda yang cantik. Tapi tetap ada kekuatan berbeda yang terpancar dari putrinya. Seperti keagungan yang sulit di gambarkan. Bahkan ketegasan yang terlihat di wajah putrinya jauh lebih kuat dari dirinya.
Selang sepuluh menit Nyonya Wan datang dengan gaun biru langit yang baru saja ia beli. Melihat wajah serius putrinya, Nyonya Wan hanya diam duduk di samping suaminya. Sesekali dia membenarkan gaun indahnya. "Putriku, kamu bisa mengatakannya."
"Jika aku tidak salah ingat. Hari ini akan ada surat lamaran yang datang dari Ibu Kota. Ayah, Ibu, aku ingin kalian menolak lamaran ini. Aku tidak ingin menikah." Wan Yurui menjelaskan semua yang ingin dirinya katakan tanpa basa-basi.
Panglima Wan Ding dan istrinya tentu terkejut. Tidak ada pergerakan dari mata-mata yang ada di Ibu Kota. Dia juga tidak mendapatkan surat pemberitahuan untuk lamaran pernikahan. "Putriku, dari mana kamu mendapatkan informasi ini? Ayah bahkan belum mendengar tentang hal ini."
"Yang Mulia cukup membenci kekuatan keluarga kita. Bagaimana mungkin dia memberikan ikatan pernikahan yang akan membuat kekuasaannya mengalami guncangan," kata Nyonya Wan yang juga tidak percaya dengan ucapan putrinya.
Wan Yurui hanya tersenyum. Belum sempat dia menjawab. Pelayan tua kediaman berlari sekuat tenaga masuk kedalam aula utama. "Tuan besar, pihak istana datang membawa surat resmi."
Panglima Wan Ding bangkit dengan keterkejutan di matanya. Dia menatap kearah putrinya juga istrinya sebelum melangkah pergi keluar dari aula utama.
Nyonya Wan mendekat kearah putrinya. "Putriku, apa kamu seorang dukun?"
Wan Yurui terkekeh pelan, "Ibu, kita juga harus keluar."
"Baik."
Di halaman utama kediaman Panglima Wan. Rombongan dari Ibu Kota datang membawa surat lamaran yang di tujukan untuk putri satu-satunya dari Panglima Wan Ding.
Seorang Jenderal utama Kekaisaran berdiri tegap. "Panglima, saya datang memberikan amanat dari Yang Mulia. Saya harap anda akan mengerti."
"Tentu, Jenderal silakan." Panglima Wan Ding memberikan jalan.
Tepat setelah Wan Yurui datang bersama Ibunya. Jenderal utama Kekaisaran membuka surat resmi di tangannya. "Nona pertama Wan Yurui terima titah Kaisar."
Wan Yurui di ikuti semua orang yang ada di kediaman langsung berlutut dan menunduk.
"Di hari yang bahagia dan penuh keberkahan. Nona pertama Wan Yurui, gadis berbakti dan penuh kebajikan. Akan di nikahkan dengan Pangeran keempat Ming Jing yang telah memasuki usia dewasa. Keserasian antara keduanya akan mendapatkan berkah dari langit." Setelah surat resmi di bacakan. Surat di tangan Jenderal utama Kekaisaran di ulurkan kearah gadis muda di hadapannya.
Wan Yurui hanya diam.
"Nona Wan, anda harus menerima titah ini."
Dengan tatapan tenang Wan Yurui bangkit. "Aaa..." Memegang lengan kanannya. Rasa sakit terasa kuat di saat jarum tipis menembus tulangnya.
"Nona Wan, anda!" Jenderal utama Kekaisaran terkejut. Dia melihat kearah lain tempat di atas pohon cukup jauh di bagian perbukitan. "Di sana. Tangkap penyusup itu," teriaknya kuat.
Semua pasukan langsung menyebar mencari penyusup yang telah melukai Nona pertama Wan Yurui.
"Putriku..." Panglima Wan Ding bangkit dan langsung meraih tubuh putrinya yang hampir terjatuh. "Apa yang tejadi?" Setelah sadar dia berteriak kuat. "Tangkap dia, aku sendiri yang akan menyiksanya."
"Baik." Semua pasukan Qiang bergerak cepat menyusul Jenderal utama Kekaisaran dan pasukannya.
"A Rui." Nyonya Wan juga bangkit memeriksa keadaan putrinya.
Dengan suara lemah Wan Yurui barkata, "Ayah, aku tidak bisa melihat apapun."
"Carikan tabib, cepat carikan tabib." Panglima Wan Ding mengangkat tubuh putrinya berlari menuju kamar utama yang di tempati Wan Yurui.
Semua orang menjadi sangat panik.
Seorang tabib segera datang memeriksa keadaan Wan Yurui. Namun tangannya justru bergetar setelah menyadari ada racun mematikan di jarum yang telah tertanam di lengan gadis muda di hadapannya.
"Bagaimana?" Nyonya Wan panik.
Tabib menggelengkan kepalanya. "Racun sudah menyebar keseluruh tubuhnya. Meskipun saya bisa menghilangkan racunnya. Tapi tetap tidak akan bisa mengembalikan penglihatannya."
Ucapan tabib itu membuat Nyonya Wan pingsan.
"Istriku." Panglima Wan Ding membopong tubuh istrinya membawanya keruangan samping. Baru setelahnya dia kembali menghampiri putrinya. Membiarkan istrinya di jaga para pelayan wanita. "Yang terpenting nyawanya bisa terselamatkan lebih dulu." Suaranya terdengar getir.
"Baik." Tabib segera bertindak untuk menyelamatkan nyawa Wan Yurui. Setelah lima jam dia akhirnya bisa membersihkan semua racun di tubuh gadis muda itu. Namun seperti yang ia katakan sebelumnya. Kedua penglihatan di mata Wan Yurui tidak bisa di kembalikan.
Panglima Wan Ding merasa dunianya hancur. Dia telah berhasil melindungi banyak nyawa orang lain. Tapi tidak bisa melindungi keselamatan putrinya sendiri. Di halaman depan pria itu hanya duduk diam menatap penuh penyesalan.
Nyonya Wan datang membawa jubah tebal milik suaminya. "A Rui membutuhkan kita. Jika kamu terus menyalahkan dirimu sendiri. Keadaannya pasti akan semakin sulit." Duduk di samping suaminya setelah memberikan jubah di tangannya.
"Aku tahu. Tapi jika bukan karena kelalaianku. Putri kita pasti tidak akan kehilangan penglihatannya. Aku benar-benar tidak layak menjadi seorang Ayah," Dadanya terasa sangat sesak. Suaranya parau dan tubuhnya semakin letih.
Nyonya Wan memeluk suaminya sangat kuat. "Tidak ada yang bisa di salahkan. Kamu Ayah yang selalu menjadi sandaran untuk putri kita."
Dari arah kamar pelayan Ayun mendekat. "Tuan, Nyonya, Nona muda sudah sadar."
Panglima Wan Ding dan istrinya segera bangkit dan berjalan menghampiri putrinya yang ada di kamar utama. Gadis dengan tubuh lemah itu sudah duduk tenang di ujung tempat tidur. "Kenapa kamu bangun? Kamu harus beristirahat lebih lama. Jangan memaksakan dirimu." Panglima Wan Ding berkata penuh kelembutan.
"A Rui, benar apa yang di katakan Ayahmu. Kamu masih membutuhkan istirahat yang cukup."
Dengan wajah pucatnya Wan Yurui tersenyum. "Nada bicara ayah membuat telingaku tidak terbiasa."
"Dalam keadaan seperti ini. Kamu bahkan masih bisa bercanda," Panglima Wan Ding duduk di samping putrinya. "Putriku, kamu tenang saja. Sekalipun harus mengundang semua tabib di seluruh penjuru dunia. Aku akan tetap menyembuhkan penglihatanmu. Jika seandainya kedua mata ini bisa di tukarkan dengan kedua matamu. Ayah pasti akan memberikannya."
Nyonya Wan mengelus lembut kepala putrinya.
"Ayah, Ibu. Aku tidak mempermasalahkan penglihatanku yang hilang. Meskipun penglihatan ini tidak kembali. Aku akan tetap mampu berjalan tanpa bantuan. Bukankah aku Putri panglima perang! Tentu harus mampu mengatasi setiap situasi yang datang tanpa terduga." Wan Yurui berusaha menenangkan kedua orangtuanya. 'Hanya saja aku tidak lagi bisa melihat wajah dinginnya,' gumamnya di dalam hati.
Panglima Wan Ding semakin merasakan sakit di hatinya setelah mendengar perkataan putrinya. Gadis manis di sampingnya bahkan bisa begitu tenang saat musibah besar datang kepadanya. Dia merasa malu melihat ketegaran yang putrinya miliki.
pergi jauh jauh.....
jangan menempel sama mereka berdua.....