“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31. Demam
Hujan sudah reda, tinggal suara tetes air dari talang yang terdengar. Karena hujan turun cukup deras hampir dua jam, udara menjadi dingin.
Setelah makan malam, Arman duduk di ruang tamu sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Widya keluar dari dapur, membawa dua gelas teh hangat.
“Nih, biar nggak masuk angin,” ucap Widya sambil menyerahkan segelas pada Arman.
“Terima kasih,” jawab Arman singkat.
Widya duduk di sebelahnya. “Lain kali jangan hujan-hujanan lagi, Mas. Selain bahaya, kamu bisa sakit lho.”
Arman meneguk tehnya, tersenyum kecil. “Iya, tadi kepikiran aja. Makanya cepat pulang. Hujan deras, kamu sendirian.”
Widya menatap suaminya sebentar. “Kalau hujan segede tadi, mending tunggu reda. Aku nggak bakal marah kok kalau kamu telat, dan aku akan baik-baik saja.” Widya meyakinkan.
Arman mengangguk. “Nggak marah, tapi nanti ngomel,” ujar Arman pelan, setengah bercanda.
Widya mengangkat alis. “Ya ngomel wajar. Namanya juga khawatir. Tapi kan kamu bisa kirim pesan, biar aku nggak kuatir.”
Arman langsung menoleh, “Khawatir ya?”
Widya mendengus pendek. “Ya iya, Mas. Masa suamiku kehujanan, aku santai aja? Nggak masalah kamu telat, yang penting kasih tau.”
Arman tertawa kecil. “Kedengarannya enak juga ya, denger kamu ngomong ‘suamiku’. Kayak Lemineral, ada manis-manisnya, gitu.”
Widya memutar bola matanya ke atas. “Jangan gombal, Mas. Tehnya belum habis tuh.”
Mereka sama-sama diam sesaat. Televisi menyala tanpa suara, cahaya lembutnya menerangi ruang tamu.
Arman menatap Widya lagi. “Serius, aku seneng kamu perhatian gitu, Wid. Berasa rumah tangga kita ini beneran, bukan sandiwara kayak sebelumnya.”
Widya menatap gelasnya, menahan senyum. “Udah, diminum. Nanti keburu dingin.”
“Iya, Bu Dokter,” sahut Arman.
Widya menggeleng kecil, tapi matanya melembut. Tak ada kalimat besar malam itu, hanya obrolan ringan, hangat, dan nyata. Sesekali tawa kecil pecah di antara mereka. Di luar, hujan tinggal sisa rintik, tapi di dalam rumah itu, udara terasa lebih tenang.
Arman lalu berdiri hendak ke kamar. Baru dua langkah, ia bersin keras.
“Hachoo! Waduh…”
Widya menoleh cepat. “Tuh kan, baru juga dibilangin.”
Arman mengusap hidungnya. “Kayaknya kena angin pas di motor tadi deh.”
Widya berjalan mendekat sambil melipat tangan di dada. “Pasti karena nekat nggak pakai jas hujan.”
“Udah bawa, tapi males keluarin.”
Widya mendecak. “Nanti kalau demam gimana?”
“Ya minum obat, tidur, sembuh.”
Widya menatap suaminya datar. “Konsepnya nggak gitu juga, Mas.”
Arman nyengir, lalu bersin lagi. “Hachoo! Serius nih kayaknya.”
Widya langsung berbalik ke dapur. Tak lama ia kembali membawa segelas air putih dan obat flu. “Minum dulu. Besok pagi aku buatin jahe anget.”
Arman duduk di tepi ranjang sambil menelan obatnya. “Dokternya galak banget malam ini.”
“Emang harus galak. Biar kapok.”
“Kalau galak terus, nanti pasiennya takut loh.”
Widya memandang suaminya sekilas. “Nggak apa-apa, asal sembuh.”
Arman tertawa kecil, lalu menarik selimut. “Kamu ikut tidur, kan?”
Widya menata bantal, lalu naik ke ranjang. “Iya, tapi jangan deket-deket dulu. Takut ketularan.”
Arman pura-pura mengeluh. “Padahal butuh kehangatan biar cepat sembuh.”
Widya menepuk bahu sang suami ringan. “Kehangatan bisa pakai selimut, Mas. Udah, tidur.”
Arman terkekeh pelan, lalu memejamkan mata. “Iya deh, Bu Dokter.”
Beberapa menit kemudian suara napasnya terdengar berat tapi teratur. Widya menatap sebentar, lalu mematikan lampu meja. Dalam gelap yang tenang, ia tersenyum kecil setengah jengkel, setengah lega.
Menjelang tengah malam, suara hujan tinggal gerimis tipis di luar. Lampu kamar sudah diredupkan. Widya hampir tertidur ketika terdengar suara berat Arman dari sebelah.
“Wid…”
“Hm?” Widya bergumam setengah sadar.
“Boleh minta peluk?” suaranya pelan, agak serak. “Badanku dingin banget.”
Widya membuka mata, menoleh. “Tadi udah dibilangin jangan kehujanan. Sekarang minta peluk segala.”
Arman tersenyum kecil. “Biar anget dikit. Nggak usah lama-lama.”
Widya pura-pura mendesah kesal, tapi akhirnya menggeser diri mendekat. “Udah sini.”
Arman perlahan memeluk dari samping, kepala menempel di bahu Widya. Dingin kulitnya terasa, tapi perlahan menghangat.
“Hmm, enak gini,” bisik Arman. “Tadi aku kedinginan banget.”
Widya menahan senyum. “Jangan ngomong banyak, nanti malah tambah pilek.”
“Iya, iya,” jawab Arman, suaranya makin pelan. “Makasih ya.”
“Makasih apanya?”
“Udah mau ngurus aku.”
Widya tidak menjawab. Ia hanya menepuk pelan lengan Arman yang masih melingkar di pinggangnya. Dalam beberapa menit, napas Arman mulai teratur, menandakan ia sudah tertidur.
Widya menatap ke langit-langit. Dingin di luar kamar masih terasa.
*
*
Pagi itu udara masih lembap sisa hujan semalam. Dari dapur tercium aroma jahe yang direbus Widya. Ia mengenakan daster abu-abu, rambutnya diikat asal. Sambil menunggu air mendidih, ia mendengar suara batuk pelan dari kamar.
“Mas?” panggilnya sambil melangkah ke dalam.
Arman terbaring di ranjang, selimut menutup sampai dada. Wajahnya pucat, mata setengah terbuka. Begitu Widya mendekat, ia mengerang kecil. “Wid… kayaknya aku demam deh.”
Widya duduk di tepi ranjang dan menyentuh keningnya. “Panas banget, Mas. Tadi malam minum obat jam berapa ya?” tanya Widya yang tidak ingat kapan dia menyerahkan obat flu pada Arman.
“Jam sembilan… tapi kayaknya nggak ngefek,” jawab Arman lemah.
Widya menatap meja nakas. Kotak obat terbuka, isinya setengah kosong. Ia mengambil blister dan membaca tanggal kadaluarsa. “Mas, ini obat udah lewat tiga bulan ternyata.”
Arman langsung membuka matanya lebar. “Serius?”
“Serius. Pantesan nggak mempan.”
Arman mendesah panjang. “Berarti aku bisa mati nih…”
Widya langsung menatapnya tajam. “Jangan drama.”
“Tapi beneran sakit semua badanku, Wid. Kepala muter, tenggorokan kayak kebakar.”
Widya menghela napas, lalu berdiri. “Udah, aku ambilin air hangat dulu. Minum jahe sekalian obat baru.”
Arman menatap istrinya dengan ekspresi menyedihkan. “Tapi jangan lama-lama ya. Ditinggal sendirian kayak ditinggal di padang pasir.”
Widya menahan tawa. “Lebay banget, Mas.”
“Namanya juga orang sekarat.”
Widya melangkah ke dapur sambil menggeleng. Tak lama ia kembali membawa nampan berisi segelas air jahe hangat dan obat baru.
“Nih, minum dulu,” ucapnya sambil duduk lagi.
Arman menatap gelas itu seperti menghadapi ujian hidup. “Pahit banget nggak?”
“Lebih pahit dari ditinggal pas lagi sayang-sayangnya,” jawab Widya tanpa ekspresi.
Arman terkekeh pelan, lalu segera menelan obatnya dan menyeruput jahe hangat. Ia meringis. “Pahit bener, sumpah.”
“Tapi ampuh.”
Setelah minum, Arman rebahan lagi. “Wid…” panggilnya lirih.
“Hm?”
“Kalau aku beneran pingsan, tolong jangan panik. Telpon ambulans aja.”
Widya mendengus. “Mas, itu demam biasa, bukan serangan jantung.”
“Biasa katamu, luar biasa rasanya di aku.”
Widya duduk bersedekap, separuh jengkel, separuh geli. “Mas Arman ini ya, kalau lagi sehat banyak maunya. Begitu sakit dikit langsung manja.”
Arman membuka mata sedikit. “Manja sama kamu boleh kan? Kan cuma kamu yang mau ngurusin aku.”
Widya terdiam sejenak. Nada suaranya lembut, bukan rayuan. Ia menarik selimut lebih rapat menutupi dada Arman. “Udah, istirahat. Aku taruh handuk dingin di kening biar cepet turun panasnya.”
Arman memejamkan mata. “Wid, kalau aku sembuh nanti, boleh minta hadiah?”
“Hadiah apa?”
“Masakan sop buatan kamu.”
Widya tersenyum kecil. “Deal. Tapi syaratnya, mulai besok jangan hujan-hujanan lagi.”
Arman mengangkat tangan lemah, seolah bersumpah. “Siap, Bu Dokter.”
Widya menatap suaminya sebentar. Napas Arman mulai teratur, wajahnya pelan-pelan tenang. Ia menaruh handuk di kening, lalu duduk di kursi dekat ranjang sambil memperhatikan.
Setelah beberapa menit, Arman membuka mata setengah, suaranya pelan, nyaris mengantuk. “Wid…”
“Ya?”
“Kalau aku ketiduran, jangan pergi dulu ya.”
Widya tersenyum samar. “Nggak ke mana-mana kok.”
“Janji?”
“Janji. Tidur aja.”
Arman menggumam pelan sebelum akhirnya benar-benar terlelap. Widya menatapnya sebentar, lalu mengelus punggung tangan suaminya pelan.
‘Laki-laki, cuma demam aja kayak mau MD, banyak bener dramanya. Cuma demam lho.’ Widya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
---