NovelToon NovelToon
Pengantin Bayangan Jadi Tawanan

Pengantin Bayangan Jadi Tawanan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Konflik etika / Pengantin Pengganti / Angst / Roman-Angst Mafia
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: Kinamira

Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

"Tidak mau, aku mohon lepaskan aku!" pekik Ellena berusaha memberontak saat dirinya diseret paksa memasuki mansion mewah di tempat itu.

Ia tau, masuk di sana, adalah awal dari penderita sesungguhnya.

"Diam, jangan membuat pekerjaan kami jadi sulit!" bentak wanita berpakaian pelayan itu.

"Lepaskan aku!" pinta Ellena memohon. Ia menangis memberontak, sehingga ia tidak lagi memiliki tenaga untuk melawan.

"Diam!" sentak yang lainnya.

"Lepaskan aku," ucap Ellena dengan suara lirih.

"Ayo duduk di sini!"

Ellena dipaksa duduk di ruang tengah. Terlihat di sana sudah ada dua penata rias yang menunggunya.

"Apa lagi ini?" batin Ellena lelah.

Sejak kemarin ia belum menerima makanan apapun, ditambah ia sering menangis, dan memberontak, membuat tubuhnya terasa lemah tak berdaya.

"Kata Tuan, poles ringan saja, supaya dia tidak pucat, utamakan rapikan kembali rambutnya," ucap sang pelayan memberikan arahan.

"Hm baiklah," angguk kedua penata rias itu mulai menyentuh wajah Ellena.

Pakaiannya tak diganti, masih dengan gaun pengantin yang sudah lusuh dan kotor.

Tidak membutuhkan waktu lama, rambut dan wajah Ellena sudah kembali cantik dan rapi, meski sorot matanya menggambarkan kesedihan. Ia lalu dibawa ke salah satu ruangan yang ada di mansion itu. Saat memasuki ruangan itu, tubuh Ellena terasa merinding. Di dalam sana ia melihat Maximus yang tengah meneguk minuman anggur langsung dari botolnya, dan terlihat pria itu mulai tampak mabuk.

"Tuan, kami sudah membawa wanita ini," ucap salah satu pengawal memberikan sedikit teguran.

Maximus menaikkan tangannya. Tangannya bergerak kecil mengusir mereka.

"Baik Tuan, silahkan menikmati waktunya," ucap pengawal itu kemudian berbalik, mengarahkan yang lainnya keluar.

Ellena mengangkat gaunnya, ingin menyusul keluar, namun sayangnya pintu segera tertutup. Ellena diam membisu, namun matanya berkaca-kaca menatap pintu di depannya.

"Kau kemarilah!" panggil Maximus, membuat Ellena membalikkan tubuhnya, menatap penuh keraguan untuk mendekat.

Maximus menggerakkan kepalanya lemas, matanya yang tertutup perlahan terbuka, langsung memperlihatkan tatapan tajamnya. "Kemari sialan!" sahutnya dengan pelan namun penuh intonasi tak terbantahkan.

Tubuh Ellena gemetar gugup. Deru nafasnya berhembus kasar tidak teratur. Ia mendekat, namun dengan langkah yang sangat pelan membuat Maximus menggeram.

Pria itu segera melemparkan botol anggur di tangannya ke arah Ellena, hingga air anggurnya mengenai gaun lusuh tersebut.

"Ah!" pekik Ellena pelan, sembari memundurkan diri dengan langkah kecil.

Maximus bangkit dari duduknya, membuat Ellena mundur dan waspada. Takut, Maximus datang menyerangnya.

"Aku punya hadiah untukmu," ucap Maximus mengulum senyum tipis. Ia berjalan ke arah tirai lebar yang menutupi pandangan.

Maximus mengambil sebuah remote dan menekan tombol di sana, hingga perlahan tirai itu bergerak dan memperlihatkan apa di dalam sana.

Ellena membulatkan matanya. Rasa takutnya meningkat, dan tubuhnya gemetar melihat benda-benda di sana.

Melihat itu membuatnya paham apa yang akan terjadi. Ellena mundur ke arah pintu, berusaha membuka.

"Tolong! Tolong!" teriaknya sembari melirik panik ke arah Maximus.

Puluhan benda berbentuk alat milik laki-laki, yang biasanya dipakai untuk memuaskan wanita, tersebar di sana. Juga puluhan kamera yang diduga akan digunakan merekam dirinya.

Maximus tertawa girang melihat reaksi panik Ellena. Ia menjadi semakin bersemangat dan menikmati setiap rasa takut wanita itu. "Ututut, kenapa kau takut begitu? Bukankah ini akan menyenangkan?"

"Tidak, aku tidak mau. Jangan seperti ini Tuan, aku mohon," pintanya dengan wajah yang dibuat selemas mungkin.

Ellena menggenggam kuat handle pintu, merasa enggan berjauhan dari sana.

Maximus duduk dengan tenang di atas kasur. "Kau kemari!" panggilnya yang dibalas gelengan kepala Ellena.

"Kemari, jangan membuatku marah!" panggil Maximus lagi, matanya menyipit layaknya elang yang sedang mengintai mangsanya, dan suaranya rendah yang penuh penekanan menyoroti ia tak suka dibantah.

"Tidak mau! Harusnya bukan aku yang di sini! Biarkan aku pergi!" pekik Ellena menginginkan sebuah kebebasan.

Baru beberapa hari ia disekap oleh dua orang berbeda, namun sudah membuat wanita itu nyaris menyerah untuk hidup.

Amarah Maximus meningkat. Pria itu melepaskan ikat pinggang yang masih terpasang di celananya.

"Aku bukan orang yang sabar sialan! Aku mudah emosi, dan kau malah menguji kesabaran ku!" ucapnya menarik ikat pinggang itu ke sampingnya, membiarkannya jatuh menyentuh lantai. Perlahan ia mendekat pada Ellena yang semakin panik.

"Maaf, maafkan aku. Maafkan aku," pinta Ellena berlutut, kedua telapak tangannya menyatu, memohon ampun.

Tanpa rasa kasihan, Maximus melayangkan satu kali ayunan ikat pinggang ke tubuh Ellena, membuat wanita itu seketika menjerit, dan langsung tumbang ke lantai.

"Akh, sakit!" pekik Ellena mengusap lengannya yang menjadi sasaran terkena.

Tanpa merasa kasihan, Maximus menarik tubuh Ellena dengan kasar, menyeret ke arah kasur.

"Aww, sakit, sakit!" jerit Ellena meringis merasakan cengkraman yang kuat itu.

Maximus melempar tubuh Ellena ke atas kasur, dan langsung menindihnya.

Ellena menggelengkan kepala, menangis memohon. "Jangan Tuan, aku mohon jangan."

"Sudah ku katakan, jangan menangis!" bentak Maximus membuat Ellena tersentak, dan mengatup rapat mulutnya. Namun, sudut matanya tetap menghasilkan air mata.

"Jangan menangis!" bentak Maximus lagi. Tangannya mencengkram kuat pipi Ellena, membuat wanita itu meringis kesakitan. Ia berusaha mengusap air matanya, dan tidak bersuara.

"Bagus, kau cukup pandai terjadi," pujinya dengan nada suaranya yang meledek.

Maximus bangkit dari tubuh Ellena, membuat wanita itu segera meringkuk sedikit menjauh.

Maximus bersedekap dada, tatapannya yang tajam, dan senyuman seringaian yang dingin terlihat sangat menyeramkan.

"Tubuhmu kecil sekali ternyata. Bagaimana bisa baj*Ngan itu tertarik denganmu?"

Ellena mengatup rapat mulutnya, berusaha untuk tidak mengatakan yang sebenarnya, mengingat adiknya bisa saja dalam bahaya.

"Setidaknya adikku tidak boleh kenapa-napa, cukup aku saja dalam masalah ini," batinnya penuh tekad menahan diri.

Maximus menghela nafas panjang, ia mendongak menatap sebuah figura foto mendiang istrinya di sana.

"Lihatlah foto itu!" perintahnya membuat Ellena perlahan menoleh.

"Wanita cantik, berhati lembut dan wanita yang paling ku cintai," ucapnya dengan sahutan yang terdengar begitu tulus.

Ellena kembali menatap Maximus, dan ia bisa melihat bagaimana tatapan pria itu yang begitu berbeda.

"Sayangnya aku harus kehilangan dia," lanjut Maximus dengan suara serak, terdengar seakan menangis.

Tatapannya kembali turun pada Ellena. Sorot matanya yang lembut, berubah menjadi tajam, membuat Ellena tersentak.

"Karena suamimu! Suamimu menculik, menyiksa, dan memperk*sa istriku! Setelah itu mengirim mayat istriku!" ucapnya dengan suara rendah, namun matanya yang menyorot penuh kebencian, membuat suasana terasa berat.

Ellena seolah tidak bisa bernafas dalam kondisi itu. "Dia, dia bukan suamiku," ucap Ellena dengan lirih, nyaris tidak bersuara, hingga Maximus tidak mendengarnya.

"Di depan foto mendiang istriku, akan ku perlihatkan, bagaimana aku membalaskan dendamnya," ucapnya kemudian menyinggung senyumnya.

Ellena mencengkram kuat seprai kasur, kepalanya bergerak kanan kiri untuk mencari celah. Namun, sayangnya ia terlalu takut, sehingga tidak bisa berpikir.

Maximus menaikkan satu kakinya ke atas kasur, mencondongkan tubuhnya dan perlahan mendekat. "Setelah ini aku yakin, mendiang istriku akan tersenyum di alam sana," ucapnya yang dibalas gelengan kepala Ellena.

Maximus lalu menarik kaki Ellena dengan kasar. Dengan tenaga yang dimiliki, ia menarik gaun Ellena hingga bagian dadanya robek terbagi dua.

"Jangan!" pekik Ellena.

Kejadian itu, terekam oleh kamera-kamera yang sudah terpasang jelas mengitari ruangan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!