Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: Jerat Kekuasaan dan Percobaan yang Kejam
Sore itu, kota adalah kanvas suram yang dicat oleh senja yang sekarat, dengan garis-garis gelap dan bayangan panjang yang melarikan diri dari bangunan-bangunan usang. Angin berhembus kencang, membawa serta debu dan remah-remah sampah, menari di jalanan yang basah oleh air selokan.
Noir, dengan langkah terhuyung-huyung, melintasi pemandangan itu. Tubuhnya adalah peta dari pertempuran yang sia-sia, ditandai dengan memar dan luka lecet yang merupakan tanda tangan dari para murid akademi, sekumpulan anjing-anjing muda yang haus darah dan kebosanan.
Namun hari itu, ada sesuatu yang berbeda dalam kesuraman yang memeluknya. Ia mencoba meniru gerakan-gerakan para murid bangsawan yang berlatih pedang dengan ranting yang ia temukan. Tubuhnya canggung dan kaku, namun ia terus mencoba, membayangkan dirinya melawan dunia yang tak peduli padanya.
Sebuah dorongan kuat membuatnya terus bergerak, meskipun tubuhnya lelah dan pikirannya mulai kabur.
Namun, saat ia mencoba gerakan yang lebih kompleks, langkah kaki cepat terdengar dari belakang. Albert, seorang murid bangsawan yang sombong, berdiri di sana dengan tatapan mencemooh, memegang pedang kayu di tangannya. Senyum sinis terukir di bibirnya saat ia melihat Noir memegang ranting.
"Apa yang kamu lakukan, pemungut sampah?" ejek Albert.
Noir, merasa malu, mencoba menurunkan rantingnya. Namun, Albert bergerak lebih cepat, merebut ranting itu dan melemparkannya ke tanah dengan kasar.
"Seharusnya kamu tahu tempatmu, kotoran! Kamu tidak pantas menyentuh benda seperti ini," Albert berkata dengan dingin.
"Kamu hanya layak mengais sampah, tidak lebih!"
Dengan gelagat penuh kesombongan, Albert mengayunkan pedang kayunya. Pukulan keras mendarat di tubuh Noir, membuatnya terhuyung dan jatuh ke tanah. Albert tidak berhenti. Ia terus memukul Noir dengan membabi buta, menghajarnya dengan penuh kebencian.
"Kenapa kamu harus ada di sini, huh?" seru Albert penuh amarah.
"Kenapa kamu tidak bisa menghilang, seperti orang-orang sepertimu seharusnya? Orang kotor dan hina!"
Setiap ayunan pedang adalah pukulan dari dunia yang kejam dan tak adil. Noir hanya bisa tergeletak di tanah, tubuhnya dipenuhi memar dan rasa sakit yang menusuk. Albert akhirnya berhenti, terengah-engah, dan menatap Noir dengan puas.
"Kamu tidak akan pernah menjadi apa pun. Kamu hanya akan tetap menjadi sampah yang tak berguna."
Tubuh Noir terasa kaku dan sakit, tetapi di balik semua itu, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa dihancurkan. Setelah beberapa saat, kesadarannya menghilang.
Noir terbangun dalam kebingungan. Tubuhnya terasa kaku, kepalanya berdenyut, dan ia terbaring di atas ranjang yang terasa asing. Ruangan di sekelilingnya terang benderang dan bersih, dipenuhi peralatan sihir canggih yang berdesir pelan.
Namun, hal yang paling menakutkan adalah ia terikat, tak bisa bergerak. Ingatannya kabur, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang.
"Ke mana aku?" pikirnya.
"Apa yang terjadi padaku?"
Langkah kaki terdengar dari luar, dan pintu terbuka. Seorang perempuan muda, mengenakan jas laboratorium putih, masuk. Tatapannya tajam dan fokus, namun tanpa emosi. Ia membawa alat sihir canggih dan mulai mengatur peralatan di meja, mencatat sesuatu di buku catatannya.
"Untung Albert membawakan kelinci percobaan baru," gumamnya pelan.
"Setelah beberapa spesimen sebelumnya tidak bertahan lama... aku harus lebih hati-hati dengan formula kali ini."
Kata-kata itu membuat hati Noir mencelos. Kelinci percobaan? Spesimen? Ia menyadari bahwa ia bukan lagi manusia, melainkan objek dari sebuah eksperimen. Perempuan itu berbalik, wajahnya datar, tanpa simpati.
"Jika kamu tidak dapat bertahan," ia berkata dengan suara tenang,
"aku akan terpaksa mencari pengganti. Tidak ada ruang untuk kegagalan di sini."
Noir menggigil. Rasa takut merayap di sekujur tubuhnya.
"Apa yang kamu lakukan padaku?" suaranya keluar dengan lemah.
"Kenapa aku terikat di sini?"
Perempuan itu menatapnya sesaat, lalu mengangguk.
"Kau tidak perlu tahu detailnya. Yang perlu kau tahu adalah bahwa aku sedang memberimu kesempatan untuk bertahan. Kamu hanya barang sekali pakai."
Noir merasakan amarah tumbuh di dalam dirinya.
"Aku tidak ingin menjadi kelinci percobaan. Aku bukan barang yang bisa kau coba-coba."
Perempuan itu tersenyum tipis, senyum tanpa kehangatan.
"Mungkin kamu tidak ingin, tetapi kenyataannya adalah kamu tidak punya pilihan. Eksperimen ini sedang berlangsung. Mau kamu bertahan atau tidak, itu terserah padamu."
Meskipun tubuhnya terasa lemah, Noir merasakan keinginan yang lebih kuat untuk bertahan hidup, untuk melawan. Dia menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan diri, sementara perempuan itu kembali sibuk dengan peralatan di sekitarnya, seolah ia tidak peduli pada penderitaan Noir.
Kini, perjuangannya bukan lagi melawan dunia yang kejam, melainkan melawan takdir yang menempatkannya sebagai objek eksperimen yang mengerikan.