NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Ke Dalam Tubuh Putri Buangan

Reinkarnasi Ke Dalam Tubuh Putri Buangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Nfzx25r

Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tatapan Dingin Sang Siluman

Pagi hari yang tenang di halaman belakang tenda utama. Angin bertiup lembut, menggoyangkan tirai sutra yang terbuka setengah.

Putri Minghua berjalan pelan sambil membawa semangkuk bubur hangat. Di tangannya yang lain, ada kain lembut yang sudah dia celupkan dengan air bunga. Raut wajahnya tenang, tapi dalam hatinya... sedikit berdebar.

Lelaki itu, siluman tampan dengan telinga kucing masih belum banyak bicara sejak terbangun kemarin. Tatapannya tajam, bahkan bisa dibilang... dingin.

Mei mengikutinya dari belakang dengan napas pelan. “Nona, saya tidak yakin dia menyukai kehadiran kita. Tatapannya… seperti menolak segalanya.”

“Aku tahu,” bisik Putri Minghua, suaranya sangat pelan. “Tapi... luka di dadanya belum benar-benar kering. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja.”

Begitu masuk ke dalam tenda, mata keemasan itu langsung menoleh.

Putri Minghua menghentikan langkah, membalas tatapannya dengan tenang. “Pagi,” ucapnya lembut, mencoba mencairkan suasana.

Lelaki itu hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap dinding tenda, seolah tak peduli.

Putri Minghua menarik kursi kecil, duduk di samping ranjang jerami tempat dia berbaring.

“Aku membawakan bubur. Tabib bilang kamu belum makan sejak kemarin,” ucapnya sambil meniup uap bubur perlahan.

“Tinggalkan saja di sana,” suaranya datar dan pelan.

“Tapi kamu belum bisa duduk sendiri,” balas Putri Minghua sabar. “Aku akan membantu.”

“Aku tidak butuh bantuanmu.”

Kalimat itu menusuk seperti pisau. Tapi Putri Minghua hanya terdiam sesaat, lalu tetap menyendokkan bubur dan mengarahkannya ke bibir si siluman.

“Kau menyelamatkanku hanya untuk membuatku lemah seperti ini?” katanya pelan, tapi tajam.

Putri Minghua mengerutkan kening. “Aku menyelamatkanmu karena kamu terluka parah, bukan untuk mengikatmu.”

Dia tak membalas. Tapi kali ini, dia menoleh dan menatap wajah Putri Minghua lebih lama dari sebelumnya. Tatapan itu… sulit dibaca. Ada amarah, ada kecurigaan, dan sedikit... rasa tidak percaya.

“Apa kau selalu berpura-pura manis seperti ini?”

Putri Minghua tersenyum kecil, walau hatinya sedikit perih. “Kalau kamu menganggap kepedulianku sebagai kepura-puraan, maka aku tidak akan memaksamu untuk percaya. Tapi aku tetap akan merawatmu... setidaknya sampai kamu bisa berjalan.”

Suasana menjadi sunyi lagi. Burung-burung berkicau di luar tenda, dan aroma obat dari kain hangat mulai memenuhi ruangan.

Lelaki itu menutup matanya perlahan, mungkin karena lelah atau... ingin menghindari percakapan. Tapi sebelum itu, dia berkata pelan, hampir tak terdengar.

“Manusia sepertimu... berbahaya.”

Putri Minghua mematung sesaat. Kalimat itu bukan hinaan, tapi... peringatan. Dia mengerti, mungkin lelaki ini menyimpan luka yang lebih dalam dari sekadar panah di dadanya. Luka batin. Mungkin dari masa lalunya, mungkin dari pengkhianatan, mungkin dari manusia.

Tapi dia tidak akan mundur. Tidak sekarang.

Hari-hari berikutnya berjalan lambat tapi penuh ketegangan. Lelaki siluman itu masih belum menyebutkan namanya, masih menjaga jarak, dan setiap kali Putri Minghua mendekat, dia selalu bersikap dingin.

Namun... diam-diam dia tak pernah menolak makanan dari tangan Putri Minghua. Dia tetap meminum obat yang disiapkan, dan meski wajahnya kaku, tatapannya kadang... melembut sebentar.

Suatu sore, saat langit mulai memerah, Putri Minghua mengganti perban di dadanya. Tangannya sangat pelan, penuh kehati-hatian, tapi tetap bisa merasakan ketegangan dari otot tubuh lelaki itu.

“Sakit?” tanyanya lirih.

“Tidak.”

“Kalau begitu, kenapa kau menggertakkan gigi seperti itu?” dia tersenyum kecil.

Dia tak menjawab. Tapi kali ini... tidak menghindar juga.

Setelah selesai, Putri Minghua berdiri dan hendak melipat kain bekas perban. Tapi sebelum keluar dari tenda, dia mendengar suara itu untuk pertama kalinya sejak hari pertama pria itu sadar.

“Sanghyun.”

Langkahnya terhenti. Dia menoleh pelan.

“Apa?”

“Itu namaku. Sanghyun,” ucap lelaki itu lirih.

Putri Minghua menatapnya dengan mata sedikit membesar, lalu tersenyum lembut. “Terima kasih... sudah memberitahuku.”

Lelaki itu, Sanghyun tidak membalas senyum itu. Tapi dari sinar matanya yang sedikit berbeda, Putri Minghua tahu... Sebuah dinding telah mulai retak, meski perlahan. Dan mungkin… hanya mungkin, hatinya yang membeku mulai mencair.

Malam turun perlahan, menyelimuti tenda dengan suasana menenangkan. Angin malam yang menyusup di sela tirai membawa bau dedaunan dan tanah basah. Api unggun kecil di luar menyala pelan, cahayanya menari-nari di dinding tenda.

Putri Minghua duduk bersila di lantai, di dekat kaki ranjang jerami. Ia tak membawa bubur malam ini. Hanya semangkuk air bunga untuk mengompres dan sebuah buku catatan kecil warisan pelayan istana yang dulu pernah merawat para siluman yang terluka di masa perang. Sebuah peninggalan kuno yang kini sangat berguna.

Sanghyun duduk bersandar, tubuhnya jauh lebih tegak dari sebelumnya. Luka di dadanya memang belum sepenuhnya sembuh, tapi setidaknya ia sudah bisa duduk sendiri tanpa meringis. Meski, tetap saja, sikapnya masih… seperti langit musim dingin. Dingin. Sunyi. Tapi menyimpan badai di balik awan.

“Kenapa kau tidak pernah bertanya tentang siapa aku sebenarnya?” tanya Sanghyun tiba-tiba, suaranya dalam dan tenang.

Putri Minghua menutup bukunya perlahan. “Karena aku tahu kamu tidak akan menjawab kalau belum siap.”

“Lalu... bagaimana jika aku memang bukan orang yang pantas untuk diberi kepercayaan?”

Ia menoleh padanya, mata emas itu menembus dalam seperti bara api yang belum padam.

Putri Minghua menatap balik tanpa gentar. “Aku pernah hidup sebagai manusia yang tak pernah dipercaya siapa pun. Kupikir, sudah cukup banyak orang menilai hidup dari apa yang mereka dengar dan lihat. Mungkin kali ini... aku ingin mencoba merasakan.”

Sanghyun mendengus kecil. “Perasaan bisa membunuhmu, Putri.”

Putri Minghua tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku sudah mati dua kali.”

Ia menatap api unggun di luar tenda, lalu melanjutkan, “Aku pernah mati di dunia lamaku. Lalu mati lagi ketika aku terbangun sebagai Putri Minghua dan menyadari bahwa dunia ini jauh lebih kejam daripada yang kukira.”

Sanghyun diam. Tatapannya mengeras. Tapi tak ada cemooh di wajahnya. Yang ada hanya... pengertian samar. “Kalau begitu... mungkin kita berdua memang bukan makhluk yang ditakdirkan untuk merasa nyaman,” katanya pelan.

“Aku tidak mencari kenyamanan, Sanghyun,” jawab Minghua. “Aku mencari makna.”

Suasana hening. Hanya terdengar suara hewan malam dari kejauhan. Sanghyun menunduk, menatap perban di dadanya, lalu beralih memandangi tangan Putri Minghua yang tenang memegang kain hangat.

Tangan itu kecil, tapi kuat. Lembut, tapi penuh keteguhan.

“Dulu,” gumam Sanghyun, “aku pernah menyelamatkan seorang gadis kecil dari serangan siluman hitam. Ia memelukku dan berkata, "Kau terlihat seperti monster, tapi hatimu seperti pelindung."

Putri Minghua terdiam. Ia bisa merasakan cerita itu bukan hanya kenangan… tapi luka.

“Apa yang terjadi pada gadis itu?” tanyanya pelan.

Sanghyun menoleh ke arah lain. “Ia dibakar hidup-hidup oleh manusia… karena dianggap terkutuk telah menyentuh siluman.”

Perut Minghua seketika mengencang. Hatinya seperti diremas. “Aku… minta maaf.”

Sanghyun tertawa pelan. Tapi tidak ada bahagia dalam suara itu. “Kau tidak perlu minta maaf. Kau bukan manusia-manusia itu. Tapi justru karena itulah… aku tidak bisa membiarkan diriku lengah. Tidak lagi.”

Putri Minghua tidak menjawab. Ia hanya berdiri pelan, mendekat ke ranjang, lalu menaruh kain hangat di dahi Sanghyun.

“Kalau kau tak bisa percaya padaku sekarang, tidak apa-apa,” bisiknya. “Tapi suatu saat nanti, kalau luka itu sudah sembuh… izinkan aku tetap di sini. Meskipun hanya sebagai seseorang yang duduk diam di sisi tenda.”

Sanghyun tidak membuka mata. Tapi tangannya, perlahan, terangkat dan menyentuh ujung jari Putri Minghua yang menggenggam kain basah.

Sentuhan yang sangat ringan. Nyaris tak terasa. Tapi cukup untuk membuat jantung Putri Minghua berdebar kencang.

“Kalau kau tetap di sini… kau akan ikut terbakar denganku.”

Putri Minghua menahan napas, lalu berkata dengan suara nyaris tak terdengar, “Mungkin… aku tidak takut terbakar. Aku hanya takut hidup tanpa arti.”

Keesokan paginya, ketika kabut masih menggantung rendah di atas tanah, Sanghyun berjalan tertatih ke luar tenda.

Putri Minghua yang tengah memetik dedaunan obat tertegun melihat sosoknya berdiri dengan jubah tipis dan rambut acak-acakan.

“Kau seharusnya belum boleh berjalan jauh!” serunya, setengah berlari mendekatinya.

Sanghyun menoleh perlahan, mata emasnya sedikit melembut. “Tubuhku lebih kuat dari kelihatannya. Tapi...Aku tidak pernah merasa lebih lemah dari saat ini.”

Minghua menahan langkah. “Kenapa?”

Sanghyun menarik napas pelan. “Karena untuk pertama kalinya… aku ingin seseorang tetap tinggal.”

Hatinya mencelos.

Dan pagi itu, saat matahari mulai menyinari dedaunan dengan warna emas kemerahan, untuk pertama kalinya Putri Minghua melihat lelaki siluman itu… bukan sebagai ancaman. Tapi sebagai sosok yang terluka, mencari arah, dan mungkin tanpa disadari mulai membuka hati.

1
Cha Sumuk
ap ga ada ingatan yg tertggl hemmm
Murni Dewita
double up thor dan tetap semangat
Nfzx25r: Iya, makasi
total 1 replies
Murni Dewita
next
Murni Dewita
nyimak
Murni Dewita
👣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!