Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melepaskan
Celine berjalan dengan anggun di lorong sempit markas Amox. Hentakan heels-nya teratur, menggema di dinding beton yang dingin, seolah menegaskan setiap langkah keputusan yang telah ia ambil.
Tiba-tiba sebuah tangan menarik lengannya dengan kasar. Dalam satu gerakan cepat, tubuh Celine tertarik ke dinding. Punggungnya membentur permukaan dingin, napasnya tertahan sesaat. Ethan mengurungnya, kedua lengannya menahan di sisi kanan dan kiri. Jarak mereka terlalu dekat, napas mereka saling bertabrakan.
Anggota Amox yang berjaga di ujung lorong langsung menunduk dan pergi tanpa diminta. Mereka tahu, ini wilayah yang tak boleh disentuh siapa pun.
“Kau pergi begitu saja, lalu mengirimkan surat pembatalan pernikahan ke mansionku dengan bantuan Barlex.” Suara Ethan rendah, menyimpan amarah. “Dan sekarang kau kembali ke sini seolah tidak pernah terjadi apa-apa.”
Rahangnya mengeras, matanya menggelap.
“Apa maksud semua ini, Celine?” desisnya menggeram.
Celine memejamkan mata sejenak. Ketika ia membukanya kembali, tatapannya sepenuhnya tenang.
“Aku hanya memperbaiki kesalahan yang sudah kulakukan,” jawabnya datar.
“Dan satu lagi,” lanjut Celine, suaranya tetap stabil. “Aku tidak pergi diam-diam. Aku sudah memberimu peringatan, tapi kau mengabaikannya dengan sadar.”
Ia mengangkat tangan, mendorong dada Ethan dengan tegas.
“Aku selesai denganmu.”
Namun Ethan tidak bergeser sedikit pun. Tangannya justru menekan dinding lebih keras, membuat jarak mereka kembali terkurung.
“Kesalahan?” ulangnya tajam. “Kau menganggap pernikahan kita kesalahan?”
Celine menatap lurus ke mata Ethan. “Ya!” katanya tanpa ragu.
“Sejak awal seharusnya aku tidak mencintaimu,” lanjutnya pelan. “Aku menyesal melakukan kebodohan itu.”
Mata Ethan menatap Celine seperti hendak menyangkal, seperti ingin menghancurkan kalimat itu, seperti mencari kepemilikan yang selalu ia yakini ada.
“Bohong,” kata Ethan keras. Rahangnya mengeras, napasnya berhembus kasar. “Pernikahan ini adalah mimpimu sejak dulu, Celine.”
Celine terkekeh kecil, ada kegetiran dalam tawa itu.
“Ya, itu benar,” katanya pelan. “Pernikahan ini memang mimpiku, Ethan. Mimpi yang kuciptakan sendiri.”
Ia melangkah lebih dekat.
“Dan karena itu juga,” lanjutnya dengan suara bergetar, “aku ingin mengakhirinya sendiri.”
Celine menunjuk dada Ethan, matanya perlahan basah.
“Aku membencimu,” ucapnya lirih. “Sangat membencimu.”
Ethan membeku.
Celine menelan ludah, air matanya mulai jatuh tanpa bisa dicegah. “Jika sejak awal kau menolakku, mungkin aku tidak akan sesakit ini.”
Ia terkekeh kecil, ironis, sementara air mata masih mengalir di pipinya.
“Atau sejak awal kau memang menyepelekanku karena cintaku yang terlalu besar, Ethan?” Tatapannya menusuk. “Atau kau menertawakanku dalam hati setiap kali aku berkata aku mencintaimu, setiap kali aku memohon jangan tinggalkan aku… setiap kali aku bilang aku bahagia bersamamu?”
Tangannya terangkat menyeka air mata dengan gerakan cepat, seolah marah pada dirinya sendiri karena rapuh.
“Aku melepaskanmu,” katanya akhirnya. “Kejarlah Cantika, Ethan.”
Ethan mencengkram pergelangan tangan Celine, rahangnya mengetat. “Jangan bicara sembarangan, Celine.”
Celine melepaskan mendorong tangan Ethan, melepaskan tangannya dengan susah payah. “Kau menempatkanku di posisi kedua setelah Cantika. Dan itu…” Ia menghela napas dalam, “itu melukai harga diriku.”
Celine berbalik tanpa menunggu jawaban. Ia menggigit bibirnya saat air mata kembali jatuh. Dadanya sangat sesak, tapi ia harus terus melangkah. Ia menyesal, bukan karena telah mengakhiri semuanya melainkan karena tak berhasil menahan air matanya di hadapan Ethan.
Ia tidak ingin pria itu melihatnya lemah… tidak lagi. Ia bisa hidup bahkan jika harus mengandalkan dirinya sendiri.
Lorong itu kembali sunyi, menyisakan Ethan berdiri sendiri. Pria itu menatap punggung Celine yang semakin menjauh hingga akhirnya menghilang di tikungan koridor. Hentakan heels itu masih terngiang di telinganya, teratur, tegas seperti palu yang memukul dadanya berulang kali.
Ia meraba dadanya sendiri, tepat di atas jantung. Jari-jarinya mengepal, seolah ingin meremas sesuatu yang berdenyut sakit di dalam sana. Perasaan apa ini?
Celine masuk ke ruangan pribadinya di markas lalu menutup pintu dari dalam. Bunyi kunci terdengar pelan, terasa seperti memutus dunia luar darinya. Tasnya terlepas dari genggaman dan jatuh begitu saja ke lantai.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam, dada kirinya naik turun perlahan. Ia menempelkan punggungnya ke pintu, lalu berbisik pada dirinya sendiri.
“Jangan izinkan hatimu terluka, Celine.”
Matanya terpejam. Kedua tangannya menyilang di dada, seolah sedang memeluk dirinya sendiri. Yang punya kendali atas dirimu adalah kamu sendiri, bukan Ethan, bukan siapa pun.
Ia mengulang kalimat itu dalam hati, seperti mantra yang bisa menyelamatkannya dari luka yang semakin dalam. Kau pintar, kau cantik, kau pantas dicintai.
Dering ponsel berbunyi dalam keheningan. Celine membuka mata perlahan. Ia berjongkok, mengambil ponsel dari dalam tas dengan tangan yang sedikit bergetar, lalu mengangkatnya dengan cepat.
“Halo, Pa,” ucapnya lembut.
“Celine… kau baik-baik saja, Sayang?” suara Golda terdengar hangat di seberang sana, penuh kekhawatiran yang tak disembunyikan.
Celine tersenyum tipis, meski matanya kembali terasa panas.
“Masih sangat sakit, Pa,” jawabnya jujur. “Tapi aku bisa mengatasinya.”
“Tidak apa-apa,” kata Golda pelan namun tegas. “Jangan lari dan jangan menyangkal. Berjalanlah ke depan bersama rasa sakit itu dan sembuhkan dirimu sendiri.”
Celine mengangguk meski tahu papanya tak bisa melihatnya.
“Iya, Pa.”
“Ingat apa yang Papa bilang padamu?”
Celine mengangguk, suara ayah dan anak itu menyatu meski terpisah jarak. “Aku menggunakan otakku untuk tidak mengizinkan hatiku terluka.” ucap mereka bersamaan.
Golda tersenyum di seberang sana. “Papa percaya kau bisa melewatinya.”
Celine memejamkan mata, air matanya jatuh lagi.
“Kalau kau lelah,” lanjut Golda lembut, “pulanglah ke pelukan Papa. Papa tidak pernah pergi. Papa selalu di sini.”
Celine menekan ponsel itu ke dadanya.
“Papa menyayangimu,” kata Golda.
“Aku menyayangimu juga, Pa,” balas Celine lirih.
Panggilan berakhir dengan kekuatan baru. Celine duduk di lantai, membiarkan sunyi menyelimuti dirinya.
Sementara itu, berita dalam negeri mendadak gempar. Satu per satu potongan informasi tersebar di ruang publik, bukan melalui layar televisi, bukan pula lewat konferensi pers resmi, melainkan melalui media sosial. Sebuah instansi pemerintahan terseret ke permukaan, dituduh ikut meloloskan indikasi perdagangan manusia secara sistematis dan terstruktur.
Petugas bandara terlihat menjalankan prosedur sebagaimana mestinya mulai dari memeriksa paspor, mencocokkan data pribadi, mengangguk profesional seolah semuanya sesuai aturan. Namun di balik layar, nama-nama tertentu sudah lebih dulu terdaftar. Target telah ditentukan bahkan sebelum kaki para korban menginjak konter imigrasi.
Dokumen internal tersebar luas: salinan data penerbangan, daftar nama korban, foto-foto, hingga pola komunikasi yang menunjukkan bagaimana data “bersih” itu sebenarnya sudah ditandai sejak awal. Bukti-bukti itu terlalu konkret untuk dibantah dengan retorika. Terlalu telanjang untuk disapu dengan kalimat klarifikasi. Nyaris mustahil diputarbalikkan dengan buzzer atau narasi.
Tak lama setelah unggahan pertama viral, media sosial mendadak bermasalah. Akses melambat. Beberapa platform bahkan sulit dibuka. Namun semuanya sudah terlambat, orang-orang lebih cepat menyimpan, mengunduh, dan membagikan ulang sebelum layar sempat menggelap. Semakin ditekan, semakin menyebar. Semakin dibungkam, semakin liar.
Mereka yang terlibat mulai ketar-ketir di balik layar. Rapat mendadak digelar, telepon berdering tanpa henti, nama-nama dipertukarkan dengan nada panik. Upaya penutupan jejak dilakukan tergesa dan penuh celah.
celine apapun yg terjadi jangan goyah.
tetap cuek,dingin dan jangan noleh² lagi kemasa lalu.
tak stabil suka naik turun tensi..
dokter bidan tak sanggup obati..
masalahnya cintaku yang kurang gizi..
💃💃💃💃💃 aseeek.. lanjutkan ethan..
pengorbanan celine terlalu besar hy untuk se ekor ethan...
cepatlah bangkit dan move on celine dan jauh jauh celine jangan terlibat apapun dgn amox apalagi yg didalamnya ada ethan² nya...
mungkin si SEthan merasa bersslah dan ingin bertanggung jawab atas kematian ayahnya Cantika, karna mungkin salah sasaran dan itupun sudah di jekaskan Raga & Rega.
tapi dadar si SEthan emang sengaja cari perkara, segala alasan Cantika punya adik, preettt...🤮🤮🤮