Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendaftar Lomba
...terlihat hancur lebur, dengan api kecil masih berkobar di salah satu sisinya.
Gunawan membeku. Napasnya tercekat di tenggorokan. Asap pedih menusuk hidungnya. Ia melihat gerobak seblak Dewi, yang tadinya gagah berdiri, kini reyot, miring, dengan bekas hangus di sana-sini. Kuali besarnya terbalik, isinya tumpah ruah ke tanah, membaur dengan arang dan puing-puing. Api kecil masih menjilat-jilat dari tumpukan kardus basah di dekat roda.
“Dewi!” Gunawan berteriak, suaranya parau. Ia langsung berlari ke arah gerobak itu.
Dewi sudah lebih dulu di sana. Ia menjatuhkan diri berlutut di samping gerobak yang hancur, tangannya gemetar meraih sisa-sisa mangkuk yang pecah. Air matanya menetes, membasahi wajahnya yang kini menghitam oleh jelaga.
“Gerobakku,” bisiknya, suaranya hancur.
“Hancur.”
Warga lapak sudah berkerumun. Beberapa orang membawa ember berisi air, berusaha memadamkan api yang tersisa. Pak RT berdiri di tengah keramaian, wajahnya tegang. Bu Ida dan Love Brigade lainnya tampak panik, mulut mereka tak henti-hentinya mengoceh.
“Astaga! Ini ulah siapa?!” seru Bu Ida, tangannya berkacak pinggang.
“Keterlaluan sekali!”
Gunawan berhasil memadamkan sisa api dengan air dari ember. Ia menoleh ke arah Dewi, lalu ke Pak RT.
“Ada apa, Pak RT? Siapa yang melakukan ini?”
Pak RT menghela napas berat.
“Ini... ini imbas dari berita negatif yang menyebar, Nak. Lapak saingan kita itu, si Arya, dia terus-terusan posting yang tidak-tidak di media sosial. Katanya kita penipu, jual barang antik mahal padahal murah, terus bilang lapak kita kotor.”
Deg!
Gunawan dan Dewi langsung saling pandang. Vas antik. Harga seratus ribu yang mereka jual empat ratus lima puluh ribu. Arya.
“Tapi... tapi bukan berarti dia boleh merusak lapak orang!” Dewi berseru, suaranya meninggi.
“Ini vandalisme!”
“Tenang, Dewi,” Pak RT mencoba menenangkan.
“Kita sudah lapor polisi. Tapi ini sudah terjadi. Kita harus memikirkan reputasi lapak kita secara keseluruhan.” Ia mengalihkan pandangannya ke arah kerumunan warga.
“Kalian semua dengar saya! Ini bukan hanya masalah Gunawan dan Dewi, ini masalah kita semua! Reputasi lapak kita dipertaruhkan!”
Warga mulai berbisik-bisik, wajah mereka menunjukkan kekhawatiran.
“Lalu bagaimana, Pak RT?” tanya seorang bapak-bapak.
“Apa kita diam saja?”
Pak RT mengangkat tangan.
“Tentu saja tidak! Kita harus tunjukkan kalau lapak kita ini solid! Bahwa Gunawan dan Dewi ini adalah pasangan yang kuat, yang tidak bisa dihancurkan begitu saja oleh fitnah dan sabotase!”
Gunawan mengerutkan kening. Apa lagi ini?
“Ada satu cara,” lanjut Pak RT, matanya berbinar penuh harapan.
“Saya baru dapat info. Ada lomba ‘Pasangan Terbaik Kaki Lima’ se-Jakarta Raya! Hadiahnya lumayan besar, bisa buat modal bangun lapak lagi! Dan yang paling penting, ini bisa mengembalikan nama baik kita!”
Gunawan dan Dewi saling pandang. Lomba? Lagi? Setelah semua drama ini?
“Tidak, Pak RT,” kata Dewi cepat, menggeleng.
“Aku... aku tidak bisa. Aku sudah capek. Gerobakku hancur. Aku nggak punya semangat lagi.”
“Betul, Pak,” tambah Gunawan.
“Kami baru saja kena musibah. Mana mungkin ikut lomba?”
Tapi warga lapak tidak sependapat.
“Jangan begitu, Nak!” seru Bu Marni.
“Ini kesempatan emas! Kalau kalian menang, nama lapak kita pasti naik daun lagi!”
“Iya! Kalian kan sudah terkenal mesra!” timpal Bu Tuti, mengedipkan mata.
“Sudah terbukti cocok!”
Bu Ida maju, berkacak pinggang.
“Benar kata mereka! Kalian harus ikut! Ini demi reputasi kita semua! Ini bukan cuma sandiwara, ini ujian sejati cinta kalian!”
Gunawan mendesah.
Terjebak lagi. Ia menatap Dewi, yang kini tampak putus asa.
“Dewi, Gunawan,” Pak RT berkata dengan nada yang tidak bisa dibantah.
“Kalian harus ikut. Ini keputusan warga. Pendaftaran dibuka besok pagi. Saya sudah daftarkan nama kalian.”
Gunawan terbelalak.
“Sudah didaftarkan? Tanpa persetujuan kami?”
“Demi kebaikan bersama, Nak!” Bu Ida menyahut, seolah itu adalah jawaban paling logis di dunia.
Dewi hanya bisa menunduk, bahunya bergetar. Hatinya sakit melihat gerobaknya hancur, dan kini ia dipaksa menghadapi drama baru. Gunawan merasakan nyeri yang sama. Ia ingin marah, tapi ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Warga sudah bulat.
*
Keesokan paginya, suasana lapak masih diselimuti keputusasaan. Gerobak Dewi sudah dipindahkan ke sudut, ditutupi terpal. Gunawan dan Dewi duduk di bangku lapak rujak Gunawan yang masih utuh, mencoba mengumpulkan sisa-sisa semangat.
“Jadi, kita beneran harus ikut lomba itu?” Dewi bertanya, suaranya lesu.
Gunawan mengangguk.
“Sepertinya begitu. Kalau tidak, bisa-bisa Pak RT makin marah, dan reputasi kita makin hancur.”
Tiba-tiba, Bu Ida dan Bu Marni muncul dengan senyum lebar.
“Ayo, Gunawan! Dewi! Sudah siap?” Bu Ida berseru semangat.
“Kita harus ke balai warga sekarang! Proses pendaftaran final!”
Gunawan dan Dewi saling pandang, menghela napas pasrah. Mereka pun mengikuti kedua ibu-ibu itu ke balai warga.
Di sana, sebuah meja kecil sudah disiapkan, dengan seorang panitia berwajah ramah duduk di baliknya. Di samping panitia, Pak RT duduk mengawasi dengan ekspresi serius.
“Nah, Gunawan, Dewi,” Pak RT menyambut.
“Ini dia formulir pendaftarannya. Tinggal diisi saja.”
Panitia tersenyum.
“Selamat datang, pasangan Gunawan dan Dewi! Saya dengar kisah cinta kalian sangat inspiratif di lapak ini. Mari kita mulai proses pendaftarannya, ya.”
Gunawan dan Dewi duduk di kursi yang berhadapan dengan panitia. Bu Ida dan Bu Marni berdiri di belakang mereka, siap mengawasi setiap jawaban.
“Baik, pertanyaan pertama,” kata panitia, membaca dari lembaran.
“Apa yang membuat kalian yakin bahwa kalian adalah pasangan kaki lima terbaik?”
Gunawan melirik Dewi, yang menatapnya dengan tatapan 'kau saja yang jawab'.
“Ehm... kami... kami ini pasangan yang dinamis, Bu,” Gunawan memulai, mencoba berimprovisasi.
“Kami saling melengkapi. Saya jualan rujak manis, Dewi jualan seblak pedas. Ini kan perpaduan yang sempurna, kayak cinta kami.” Ia tersenyum kaku.
Dewi memutar matanya, tapi kemudian menambahkan,
“Betul, Bu. Kami ini bukti bahwa perbedaan itu bisa menyatukan. Dan kami juga sangat... suportif satu sama lain. Terutama kalau ada yang mencoba menjatuhkan kami.” Kalimat terakhir itu ditujukan untuk Pak RT dan Bu Ida, yang langsung mengangguk-angguk setuju.
“Bagus, bagus!” kata panitia, menuliskan jawaban mereka.
“Pertanyaan kedua: Apa visi dan misi pernikahan kalian? Apa rencana pernikahan impian kalian?”
Gunawan dan Dewi terdiam. Rencana pernikahan impian? Mereka bahkan belum pernah memikirkannya. Sandiwara ini kan hanya untuk menghindari masalah.
“Rencana pernikahan impian?” Dewi mengulang, mencoba mengulur waktu.
“Iya, Nak,” Bu Ida menyahut.
“Harus romantis, harus visioner! Biar juri terkesan!”
Gunawan melihat kepanikan di mata Dewi. Ia harus berpikir cepat.
“Visi kami adalah... membangun rumah tangga yang harmonis dan penuh berkah. Misi kami adalah... selalu berbagi kebahagiaan, baik dalam suka maupun duka.”
Jawaban yang klise, pikir Dewi. Tapi ia harus mendukungnya.
“Dan kami ingin pernikahan kami itu, Bu,” Dewi melanjutkan, melihat ke arah Gunawan,
“bukan cuma untuk kami berdua, tapi juga untuk... menginspirasi orang lain. Terutama di lapak kami.”
Panitia mengangguk-angguk, terkesan.
“Luar biasa! Sekarang, lebih spesifik lagi. Bagaimana detail pernikahan impian kalian? Konsepnya seperti apa?”
Gunawan menggaruk kepalanya. Konsep?
Ia teringat saat mereka bekerja sama di pasar loak, saat mereka tertawa karena cerita konyol tentang barang antik. Ada momen kecil yang terasa menyenangkan, bebas dari tekanan. Dan ia teringat bagaimana Dewi pernah bercerita ingin sekali jalan-jalan ke pantai.
“Kami ingin pernikahan yang... sederhana, tapi berkesan,” kata Gunawan, perlahan-lahan.
“Yang tidak banyak drama, tapi penuh... makna.”
“Makna apa, Nak?” Pak RT bertanya, penasaran.
Gunawan menoleh ke Dewi, mencari ide. Dewi melihat tatapan Gunawan, seolah ia bisa membaca pikirannya. Pantai. Kebebasan.
“Kami ingin pernikahan kami itu... seperti perpaduan rasa rujak dan seblak,” kata Dewi, tersenyum tipis.
“Pedasnya hidup, manisnya cinta. Dan mungkin... mungkin kami ingin merayakannya di tempat yang... terbuka. Dekat air.”
Gunawan tersenyum. Dewi mengerti.
“Betul, Bu! Kami ingin pernikahan kami itu seperti piknik besar. Di mana semua orang bisa datang, menikmati makanan enak, dan merasakan kebahagiaan kami.”
“Piknik?” Bu Ida tampak ragu.
“Di mana itu?”
“Di pantai, Bu!” Gunawan berseru, idenya mulai mengalir.
“Ya! Di pantai! Dengan pemandangan laut yang indah!”
Dewi menatap Gunawan, matanya berbinar. Ide itu, entah mengapa, terasa sangat pas. Pantai, tempat yang selalu ia impikan untuk bisa lepas dari segala aturan.
“Dan makanannya?” tanya panitia.
“Apakah kalian akan tetap menyajikan rujak dan seblak?”
“Tentu saja!” Dewi menjawab semangat.
“Tapi bukan di gerobak biasa, Bu. Kami... kami ingin punya food truck!”
Gunawan terkejut, tapi kemudian senyum lebar merekah di wajahnya. Ide itu brilian! Food truck di pantai. Perpaduan rujak dan seblak. Itu terdengar sangat... mereka.
“Food truck di pantai?” Panitia mencatat dengan antusias.
“Itu ide yang sangat unik dan menarik! Dengan dekorasi sederhana, mungkin dari lampu-lampu gantung dan kain-kain warna-warni?”
“Betul!” Gunawan dan Dewi menjawab serentak, sinkronisasi mereka mengejutkan diri mereka sendiri.
Bu Ida dan Pak RT mengangguk-angguk, terlihat sangat terkesan. Ide itu jauh lebih menarik daripada yang mereka bayangkan. Ini bisa menjadi poin plus besar untuk lomba.
“Kalian berdua memang pasangan yang kreatif!” Pak RT memuji.
“Saya bangga!”
Gunawan dan Dewi saling pandang. Ada perasaan aneh yang menjalari hati mereka. Rasa bangga? Ya. Tapi juga... sebuah kehangatan. Ide tentang food truck di pantai itu, yang awalnya hanya improvisasi untuk sandiwara, entah mengapa terasa begitu nyata. Seperti sebuah mimpi yang tiba-tiba menemukan jalannya untuk diucapkan.
“Jadi, pernikahan impian kami adalah... food truck rujak dan seblak mesra di pantai!” kata Dewi, suaranya dipenuhi semangat yang tulus.
Gunawan menatapnya. Senyumnya lebih dari sekadar sandiwara. Mata Dewi berbinar, memancarkan harapan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah harapan yang terasa begitu dekat, begitu mungkin, begitu... mereka.
Panitia tersenyum, mengakhiri catatannya.
“Baiklah, Gunawan dan Dewi. Pendaftaran kalian sudah selesai. Sekarang, tinggal tunggu jadwal wawancara berikutnya. Dan ingat, juri akan mencari pasangan yang tidak hanya hebat dalam bisnis, tapi juga dalam... cinta sejati.”
Gunawan dan Dewi tidak mendengar lagi. Pikiran mereka melayang ke pantai. Food truck. Rujak. Seblak. Mereka berdua, di sana. Bebas. Nyata.
Apakah ini masih bagian dari sandiwara? Atau apakah impian pernikahan yang baru saja mereka karang ini... sebenarnya adalah impian mereka berdua yang sesungguhnya, tersembunyi di balik kekacauan dan paksaan, kini perlahan mulai...