Bagi Nadin, bekerja di perusahaan besar itu impian. Sampai dia sadar, bosnya ternyata anak tetangga sendiri! Marvin Alexander, dingin, perfeksionis, dan dulu sering jadi korban keisengannya.
Suatu hari tumpahan kopi bikin seluruh kantor geger, dan sejak itu hubungan mereka beku. Eh, belum selesai drama kantor, orang tua malah menjodohkan mereka berdua!
Nadin mau nolak, tapi gimana kalau ternyata bos jutek itu diam-diam suka sama dia?
Pernikahan rahasia, cemburu di tempat kerja, dan tetangga yang hobi ikut campur,
siapa sangka cinta bisa sechaotic ini.
Yuk, simak kisah mereka di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30.
Rumah keluarga Alexander terasa sedikit lebih sunyi dari biasanya. Biasanya suara langkah Marvin yang terburu-buru dan suara Araya yang mengatur sarapan terdengar bersahutan. Tapi kali ini hanya ada Nadin yang berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya sendiri sambil mengelus perut yang mulai tampak sedikit membulat.
“Aku nggak percaya, di sini ada kamu,” bisiknya pelan sambil tersenyum.
Belum sempat ia mengenakan cardigan, suara Marvin terdengar dari balik pintu.
“Nadin, yakin mau pergi tanpa aku?”
Nada suaranya penuh kekhawatiran yang terlalu jelas.
Nadin membuka pintu dan menemukan suaminya berdiri dengan jas kerja tapi ekspresi seperti penjaga ICU.
“Marvin, ini cuma kontrol rutin. Aku nggak operasi jantung,” ucapnya lembut.
“Tapi aku harusnya nemenin kamu. Aku bisa batalin meeting.”
“Marvin,” Nadin menyentuh wajahnya pelan, “kamu udah janji mau hadir di rapat dewan pagi ini. Aku nggak sendiri kok, ibu ikut.”
“Mama?”
Nadin tersenyum kecil. “Bukan, Ibu mertuamu. Ibu kandungku juga pengen lihat cucunya.”
Marvin terdiam sejenak, lalu mendesah panjang. “Aku tetap nggak tenang.”
“Kamu nggak pernah tenang bahkan waktu aku ke dapur ambil air,” sindir Nadin geli.
Marvin memelototinya setengah manja, tapi akhirnya mengalah. Ia menunduk mencium kening Nadin lama sekali, seperti enggan melepas.
“Telepon aku kalau udah selesai, atau kalau kamu ngerasa nggak enak.”
“Iya, Pak Dokter Alexander,” jawab Nadin sambil tersenyum.
“Jangan bercanda, aku serius,” bisik Marvin lagi, membuat Nadin hanya menggeleng kecil sebelum melangkah keluar.
Di depan rumah, Rani sudah menunggu di kursi mobil sambil memainkan ponsel.
Begitu melihat Nadin datang, ia tersenyum hangat.
“Akhirnya calon ibu muda datang juga. Ayo, biar nggak antre lama.”
“Bu, kamu semangat banget dari pagi,” goda Nadin sambil duduk di sampingnya.
“Tentu aja. Ibu mau lihat cucu Ibu, sayang. Kamu nggak ngerti rasanya,” jawab Rani dengan mata berbinar.
Sepanjang perjalanan, Nadin lebih banyak diam, menatap jendela mobil. Angin pagi berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari taman depan rumah-rumah elit yang mereka lewati.
“Kenapa diam?” tanya Rani sambil menoleh.
Nadin tersenyum samar. “Aku cuma mikir … rasanya lucu, Bu. Dulu aku yang kamu gendong ke rumah sakit buat vaksin, sekarang aku yang bakal jadi ibu.”
Rani menatapnya lama, lalu tertawa pelan. “Itu namanya hidup, Nak. Giliran kamu yang ngalamin panik, cemas, dan bahagia sekaligus.”
“Kalau Bapak kamu nggak sibuk sama kebun, pasti dia ikut,” gumam Nadin.
Rani mendesah. “Bapakmu itu kalau udah sama pohon alpukat dan tanaman obat, dunia bisa runtuh pun dia nggak dengar. Tapi yakin deh, begitu dengar hasil pemeriksaan kamu, dia bakal heboh satu kampung.”
Nadin tertawa kecil, lalu bersandar di jok mobil. “Aku senang ibu ikut. Rasanya beda.”
Rani menggenggam tangan anaknya lembut. “Ibu juga, Ini pertama kali Ibu nganterin kamu bukan sebagai anak, tapi sebagai calon ibu, bangga banget.”
Sementara itu di rumah, Marvin masih berdiri di depan meja makan, menatap ponsel setiap lima menit sekali. Araya yang sedang menyiapkan teh hanya bisa tersenyum melihat putranya seperti menunggu hasil ujian nasional.
“Vin, kamu kayak nunggu hasil sidang skripsi,” celetuk Araya.
Marvin memutar ponsel di tangannya gelisah. “Aku cuma takut Nadin kecapekan.”
“Dia ditemani ibunya, Nak. Kalau sama Nadin, kamu itu lebay tapi manis.”
Marvin menatap ibunya, lalu tersenyum kecil. “Aku cuma nggak tahu harus gimana tanpa dia, Ma.”
Araya menatap putranya dengan tatapan bangga yang lembut.
“Berarti kamu udah belajar jadi suami yang sesungguhnya.”
Beberapa jam kemudian, di ruang USG rumah sakit, Rani menggenggam tangan Nadin erat.
Dokter menunjuk layar monitor yang menampilkan titik kecil berdenyut cepat.
“Itu detak jantungnya,” kata dokter sambil tersenyum.
Nadin terpaku, matanya berkaca-kaca. “Itu … anakku?”
“Iya,” jawab dokter lembut. “Detaknya kuat sekali. Selamat, Bu.”
Rani menahan air mata sambil tersenyum lebar. “Ya Tuhan, cucu Ibu…”
Suara detak kecil itu memenuhi ruangan, menggetarkan hati Nadin.
Ia menatap layar itu lama, bibirnya bergetar antara syok dan bahagia.
Mobil yang dikendarai Rani melaju pelan di sepanjang jalan kota yang mulai padat.
Nadin duduk di kursi penumpang dengan wajah bahagia bercampur bingung. Tangannya masih menggenggam hasil USG, dan senyum di bibirnya belum juga hilang sejak tadi.
“Bu…” panggilnya tiba-tiba.
“Hm?” sahut Rani, matanya fokus di jalan.
“Boleh nggak kita muter dulu sebelum pulang?”
Rani melirik. “Muter? Kamu mau ke mana?”
“Entah, aku pengen makan sesuatu…” Nadin mengusap perutnya pelan, matanya menerawang.
“Tapi aku nggak tahu apa.”
Rani terkekeh. “Nah, ini dia fase berbahaya yang Mama tunggu-tunggu. Ibu hamil ngidam misterius!”
“Bu, ini serius! Aku beneran pengen makan sesuatu yang rasanya asam, gurih, pedas, manis … campur semua.”
Rani menatapnya dengan ekspresi geli. “Jadi kamu pengen salad atau pengen bencana kuliner?”
“Kayaknya dua-duanya,” jawab Nadin polos.
Rani tertawa sampai hampir salah belok. “Oke, oke, kita cari makan dulu. Tapi jangan marah kalau perut kamu protes nanti!”
Setengah jam kemudian, mereka sudah berhenti di sebuah deretan warung kaki lima yang ramai. Aroma sate, bakso, dan gorengan bercampur memenuhi udara.
Nadin turun dari mobil dengan semangat yang bahkan bikin Rani geleng-geleng kepala.
“Bu, aku pengen bakso urat pedes banget!”
“Kamu yakin? Nanti malah muntah lagi.”
“Enggak kok, janin kayaknya lagi craving bakso nih,” ucap Nadin sambil menepuk perutnya dengan bangga.
Rani duduk di sebelahnya sambil menyeruput es kelapa. “Waktu ibu ngandung kamu dulu, ibu ngidamnya durian sama pete. Jadi kalau kamu mau bakso, itu masih level aman.”
Nadin memandang ibunya, lalu tertawa. “Pantesan ibu kuat banget. Pencernaan baja.”
“Nah, itu turunan kamu, sayang,” balas Rani santai.
Sambil makan, Nadin terus ngoceh soal hasil pemeriksaan tadi, tentang suara detak jantung kecil yang membuatnya hampir menangis di tempat. Rani mendengarkan dengan mata berbinar, sesekali menimpali, sesekali mengusap tangan anaknya dengan lembut.
Selesai makan bakso, tiba-tiba Nadin menatap ke arah penjual gorengan di seberang jalan.
“Bu, aku mau itu juga.”
Rani menatap piring kosong di hadapannya. “Itu juga? Kamu baru makan semangkuk bakso besar, Nadin.”
“Bu, ini bayi minta gorengan!” rengek Nadin, wajahnya penuh ekspresi dramatis.
Rani akhirnya berdiri, tertawa sambil menyerah. “Baiklah, calon nenek nurut. Tapi habis ini langsung pulang. Nggak ada mau es teler atau mau rujak cingur lagi!”
Nadin tersenyum lebar sambil menepuk tangan ibunya. “Janji deh, terakhir.”
Namun lima menit kemudian, saat Rani baru saja menyerahkan gorengan ke tangan Nadin, suara kecil itu muncul lagi:
“Bu…”
Rani mendesah panjang. “Apa lagi?”
“Kayaknya pengen rujak cingur beneran.”
Rani menatap anaknya datar, lalu mengangkat tangan ke langit.
“Tuhan, tolong kuatkan mentalku. Ini baru trimester satu…”
Nadin hanya tertawa terbahak-bahak sambil menyandarkan kepala di bahu ibunya. “Bu, ini seru banget. Aku nggak sabar Marvin denger aku ngidam rujak jam dua pagi.”
Rani menatapnya ngeri. “Jangan cari mati, Nadin.”
“Dia kan sayang aku, Bu. Pasti dia turuti.”
“Ya, tapi kalau jam dua pagi kamu suruh dia cari rujak, bisa-bisa CEO itu beli satu gerobak sekalian!”
Keduanya tertawa sampai air mata keluar.
Dan di tengah tawa itu, Rani sadar, putrinya yang dulu keras kepala dan manja kini tumbuh jadi wanita dewasa yang siap jadi ibu.
Meskipun tetap saja keras kepala dan manja, hanya sekarang alasannya lebih lucu karena lagi mengidam.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍 😍 😍
semangat Nadin....halau dan hempaskan pelakor yang masuk ke dalam rumah tangga .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍