Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengumuman
Pagi itu aula kampus penuh sesak oleh para mahasiswa. Suasana terasa tegang, udara seperti menahan napas bersama mereka. Cantika duduk di barisan depan bersama Jesika, jantungnya berdetak tak beraturan. Hari ini adalah hari penentuan hasil olimpiade, hari yang akan menentukan masa depannya.
Di atas panggung, Pak Hartono selaku rektor berdiri dengan senyum penuh wibawa.
“Baiklah, anak-anakku semua… hari ini adalah hari yang kita tunggu-tunggu. Pengumuman hasil olimpiade nasional,” ucapnya, suaranya bergema memenuhi aula.
Desiran tegang terdengar di antara barisan kursi. Beberapa mahasiswa menunduk, ada pula yang berdoa pelan.
“Dan kebetulan sekali, pagi ini Tuan Albert juga hadir di tengah-tengah kita. Maka, beliau akan memberikan sepatah dua patah kata.”
Cantika sontak menegakkan tubuhnya. Matanya langsung terarah ke panggung ketika sosok yang tak asing muncul dari sisi kanan aula.
Albert.
Dengan setelan jas abu tua dan dasi hitam, langkahnya tegap, tenang, berwibawa—seolah setiap langkahnya membawa wangi maskulin yang mencuri perhatian semua orang.
Jesika cepat-cepat mencolek lengan Cantika.
“Lihat tuh, ganteng banget kan. Wangi satu meter aja kecium sampai sini!” bisiknya sambil terkekeh.
Cantika hanya menggeleng kecil, menahan tawa. “Tahu aja kalau cowok itu berduit.”
Jesika tertawa pelan. “Ya iyalah, yang banyak duit emang udah kecium dari jauh.”
Senyum Cantika merekah, tapi seketika buyar ketika suara bariton yang akrab di telinganya terdengar dari atas panggung.
“Sebelumnya, pihak kampus mohon maaf atas kejadian kecurangan kemarin. Terutama untuk ananda Cantika Aurellia.”
Deg.
Nama itu, namanya sendiri, disebut di depan semua orang. Cantika menunduk malu, namun hatinya bergetar hangat. Saat ia menatap ke panggung, pandangan matanya bertemu dengan tatapan Albert. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuatnya kehilangan napas sesaat.
Albert melanjutkan, “Kami berjanji, ke depan tidak akan ada lagi kecurangan seperti ini. Kampus akan memperketat sistem dan pengawasan.”
Riuh tepuk tangan memenuhi aula. Namun di antara tepuk tangan itu, terdengar bisik-bisik para mahasiswi.
“Gila, masih muda, tampan, pintar, sukses lagi. Gue pengen banget punya suami kayak Tuan Albert.”
“Gue juga! Cuma kok belum pernah keliatan punya pacar ya?”
“Ah, gak mungkin belum punya. Cowok kayak dia mah bisa dapetin siapa aja.”
Cantika hanya tersenyum tipis. Ironis, pikirnya. Mereka membicarakan seorang pria yang sebenarnya tengah berpura-pura menjadi kekasihnya.
Albert kembali menatap daftar di tangannya. “Baiklah, saya tak akan berpanjang lebar. Mari kita umumkan siapa penerima beasiswa S2 tahun ini.”
Suasana hening. Tegangan di udara begitu pekat, hingga Cantika merasa seolah setiap detik adalah satu tarikan napas panjang yang menyesakkan.
Jesika menggenggam tangannya erat. “Apapun hasilnya, kamu udah keren banget, Tik.”
Albert membuka amplop itu perlahan.
“Cantika Aurellia… selamat, kamu terpilih sebagai penerima beasiswa S2 tahun ini.”
Deg!
Aula seketika meledak oleh tepuk tangan. Cantika menutup mulutnya dengan kedua tangan, air mata haru mengalir begitu saja.
“Alhamdulillah…” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar di tengah riuh sorak.
Dari atas panggung, Albert menatapnya dengan senyum kecil, senyum yang dalam namun terkendali. Ia tahu, bahkan tanpa bantuannya pun, Cantika memang pantas mendapatkannya. Nilainya tertinggi di antara semua peserta.
Namun dalam hati kecilnya, Albert berbisik pelan…
“Aku tahu kamu akan mampu, Cantika.”
Aula perlahan mulai sepi. Beberapa mahasiswa masih sibuk mengabadikan momen dengan ponsel mereka, sementara Cantika berdiri di depan panggung, menunduk sopan saat banyak teman yang menyalaminya.
“Selamat ya, Tik! Kamu emang pantas dapet ini.”
“Gila, keren banget, Tik. Gue bangga banget kenal kamu.”
Cantika hanya tersenyum malu. Suaranya bergetar setiap kali mengucapkan “terima kasih.”
Tangannya dingin, tapi bukan karena gugup lagi, melainkan karena masih belum percaya bahwa mimpi besarnya benar-benar tercapai.
Saat semua orang mulai bubar, sebuah suara lembut namun berwibawa terdengar dari arah belakang.
“Cantika.”
Langkah Cantika terhenti. Ia menoleh perlahan, dan di sana, di tengah cahaya matahari pagi yang menembus jendela kaca aula, berdiri Albert.
Jas abu tuanya terlihat sempurna berpadu dengan senyum tenang yang jarang ia tampilkan di depan umum.
“Tuan Albert…” Cantika spontan menunduk, bingung harus bereaksi seperti apa.
Albert mendekat, langkahnya mantap namun lembut.
“Tadi saya belum sempat mengucapkan selamat secara langsung,” ucapnya, suaranya tenang namun mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan, hangat, tapi juga penuh kendali.
“Terima kasih, Tuan. Semua ini juga karena kesempatan yang Bapak berikan,” jawab Cantika dengan tulus.
Albert menatapnya lama. “Kesempatan hanya membuka jalan, Cantika. Tapi kamu yang memilih untuk berjalan di atasnya. Itu semua kerja kerasmu sendiri.”
Tatapan mereka bertemu sesaat. Ada jeda, hening yang lembut di antara mereka.
Udara di aula yang tadinya panas terasa menyejuk, seakan waktu menahan napas untuk keduanya.
“Boleh saya bicara sedikit?” tanya Albert akhirnya.
Cantika mengangguk, dan mereka berjalan keluar aula, menyusuri koridor kampus yang kini mulai sepi. Suara sepatu mereka beradu pelan dengan lantai marmer.
Begitu sampai di depan taman kecil yang rimbun oleh bunga melati, Albert berhenti.
“Mulai hari ini, kamu akan jadi sorotan banyak orang,” ucapnya pelan. “Bukan hanya karena beasiswa, tapi juga karena keberhasilanmu membuktikan kebenaran.”
Cantika terdiam, menatap ujung sepatu.
“Saya nggak pernah berniat membuktikan apa-apa, Tuan. Saya cuma… nggak mau ibu kecewa.”
Albert mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya.
“Itu alasan yang paling tulus. Dan mungkin… alasan yang membuat kamu berbeda dari mereka.”
Cantika menatapnya. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu, bukan sekadar kekaguman, tapi juga rasa protektif yang dalam.
“Terima kasih, Tuan. Saya nggak tahu harus balas baik Bapak dengan apa.”
Albert menatap jauh ke depan, ke arah langit biru yang mulai menampakkan sinar hangat.
“Cukup dengan tetap jadi Cantika yang saya kenal… yang jujur, kuat, dan nggak pernah menyerah.”
Suasana kembali hening. Hanya angin yang lewat, membawa aroma melati yang samar.
Dan di sela keheningan itu, Albert sempat melirik ke arahnya, senyum kecil terbit di bibirnya.
Senyum yang tak seharusnya dimiliki oleh seorang pria yang berusaha menjaga jarak.
Karena entah sejak kapan, setiap kali menatap gadis itu… dunia di sekitarnya terasa sedikit lebih hidup.