Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Encer Karena Cuan
"Tya, jujur sama Ibu apa yang terjadi waktu di toilet?" Suri menyentuh bagian pasmina Tya yang tampak basah. Ia menahan diri bertanya sejak sang menantu datang ke ruang makan dengan Diaz. Sekali tatap bisa melihat adanya kejanggalan apalagi begitu melirik pada Leony yang terciduk menatap Tya dengan bibir yang naik ke atas. Setelah masuk ke dalam mobil barulah leluasa menginterogasi.
"Leony berulah, Bu. Sepertinya dia dari awal udah niat mau nge-bully aku. Makanya maksa-maksa pengen duduk samping aku. Karna nggak berhasil, jadinya minta anter ke toilet. Dan dia berhasil." Ekspresi yang ditampilkan Tya bertolak belakang dengan penjelasan yang isinya menyedihkan. Ia malah tersenyum lebar dengan sorot mata berbinar seolah menunjukkan kemenangan.
"Aku udah curiga. Tapi kau nggak mau bilang. Si durjana ngelakuin apa, Tya?" Diaz lebih dulu menimpali yang dengan sengaja duduk di jok paling belakang.
"Karna aku nggak mau mengacaukan acara, Mas. Aku udah rekam kelakuannya. Sabar ya tunggu sampai di rumah dulu. Aku ingin menjelaskan semuanya sambil duduk bersama Ibu dan Mas Diaz."
"Ibu setuju. Sekarang turunin aja dulu kerudungnya. Nanti masuk angin lho."
Tya menurut. Membuka peniti dagu dan melorotkan pasmina ke pundak toh rambutnya aman tertutup karena masih memakai ciput.
Hasyeum!
Tya tiba-tiba bersin. Kemudian ditambah terkejut karena tak menyangka tangan Diaz menyentuh dadanya. Mau protes tapi urung karena melihat laki-laki yang berjongkok di samping joknya tampak memasang tampang khawatir.
"Pantesan bersin, baju kau juga basah ini."
"Dikit kok. Ini sambil keangin-angin." Untung tangan Diaz tidak lama menyentuh dadanya. Kalau saja masih menempel, akan dipikirkan denda yang harus dibayarnya.
"Aduh, Nak. Sabar ya, bentar lagi sampai rumah segera ganti baju."
"Ibu jangan khawatir. Aku tidak apa-apa."
Bagi Tya, kejadian yang menimpanya adalah hal kecil. Justru tanya jawab yang tengah berputar di kepalanya adalah tentang ibu mertuanya itu. Bagaimana tenangnya tadi beliau balas melambaikan tangan sambil tersenyum terhadap madunya yang masuk ke dalam mobil dan duduk bersama Ayah Hilman. Apakah hanya tenang di permukaan, tetapi bergejolak di dalamnya. Ia mendesah pelan. Serasa dirinya yang punya beban. Aku nggak bisa menyelami. Hanya Ibu Suri dan Allah yang tahu.
Tiba di rumah, Diaz menarik tangan Tya mengajak langsung ke kamar. Yang membuat Tya tak menolak karena ada Tante Hani dan Ikram yang tengah bersantai di sofa ruang keluarga. Jadi hanya Ibu Suri yang bergabung duduk.
"Lepas ah. Kayak mau nyebrang jalan aja." Tya menarik tangannya saat sudah meniti tangga setengahnya. Lalu naik satu tangga mendahului.
Diaz menggaruk tengkuk. Entah terlalu mendalami peran atau jadi nyaman, sampai lupa melepaskan tangan sebelum naik tangga.
"Kenapa gak masuk? Kamar nggak dikunci." Diaz terheran melihat Tya hanya berdiri di depan pintu kamar.
"Nunggu yang punya kamar masuk duluan." Tya nyengir kuda.
Diaz geleng-geleng kepala. "Kau bebas keluar masuk ke kamarku 24 jam. Nggak mesti izin dulu, nggak mesti nunggu aku dulu. Itu kata Ibu."
"Oh gitu. Baru dengar sih."
"Cepat ganti baju! Aku tunggu di sini. Kau utang penjelasan." Diaz menjatuhkan bokong di sofa.
"Siap, Mas Bos. Apa mau panggil Ibu sekalian, Mas? Biar ikut dengar ceritanya."
"Aku aja dulu. Sekalian menyaring pantas tidaknya Ibu tahu."
"Oke deh. Aku agak lama ya 15 menitan. Mau sekalian gosok gigi."
"Hmm."
***
Tya sudah berganti pakaian mengenakan setelan piyama panjang warna biru navy polos dan jilbab bergo non pad warna hitam. Menghampiri Diaz yang tengah menggulir layar ponsel dalam posisi duduk bertumpang kaki.
"Mana rekamannya?" Diaz langsung menagih.
Dengan posisi duduk di ujung sofa, Tya mengulurkan ponselnya. "Di ruang toilet cuma ada aku dan Leony berdua. Waktu dia masuk ke toilet, aku buru-buru pasang Hp di pojokan karna feeling nggak enak."
Diaz menurunkan satu kakinya, beralih duduk tegak setelah menerima ponsel milik Tya. Satu kali sentuh, video mulai berputar. Ia amati dengan begitu fokus. Hingga wajahnya berubah memerah karena amarah. "Anak kurang ajar. Kenapa kau diam nggak melawan, Tya?"
"Sengaja, Mas. Biar aku keliatan teraniaya. Aku pikir...barangkali bukti ini bisa ditunjukkan ke Ayah. Siapa tahu setelah lihat kelakuan anak perempuannya itu, bisa jadi pertimbangan beliau mempercepat ngasih warisan sama Mas Diaz."
Diaz menyipitkan mata dengan kening mengkerut dalam. Penjelasan Tya tengah dicerna ulang dan dipertimbangkan. Bukankah dirinya juga lagi menyuruh orang untuk mengorek boroknya Boby?"
"Aku minta videonya."
"Eh, sini sama aku aja kirimnya." Tya mengambil lagi ponselnya dengan cepat. Urusan bisa panjang kalau Diaz tahu namanya tidak ada di daftar kontak. Jelas saja tidak ada karena diganti nama menjadi 'Daddy Cumi'. Tya memang bisa melakukan hal random saat gabut.
Diaz membuka ponselnya saat notif terdengar. Video dari Tya sudah masuk. Harus diakui ide perempuan yang jadi istri kontraknya itu sangat bagus. Besok hari pertamanya kembali ke kantor. Momen yang pas untuk bertemu sang ayah.
"Ya, Bu." Diaz menjawab cepat panggilan masuk dari kontak bernama 'My Mom'.
"Ibu pengen tahu dongengnya Tya."
"Ini aku sama Tya lagi bahas. Ibu mau ke sini atau kami yang ke bawah?"
Dan tak berselang lama terdengar ketukan di pintu. Tya berdiri bersamaan dengan Diaz. "Aku aja yang menyambut Ibu."
Diaz tersenyum samar melihat Tya berlari. Mungkin dikira Tya mau membukakan pintu. Padahal mau menyalakan smart TV.
"Ibu...silakan masuk." Tya menunjukkan rasa senangnya akan kehadiran dalang ke dalam kamar. Andaikan diberi pilihan, lebih baik berada satu kamar dengan Ibu Suri saat Ayah Hilman bergilir istri. Daripada satu kamar dengan Diaz meski di bilik berbeda. Risih.
Ibu Suri mengulas senyum. Ia terakhir kali masuk ke kamar sang putra semata wayangnya pada lima hari yang lalu saat menata isi lemari untuk Tya. Kali ini datang untuk membahas kelakuan Leony sekaligus menilai gestur penghuni kamar.
"Ini video dari Tya, Bu." Diaz menunjuk layar televisi. Lalu memilih duduk di bawah dekat kaki ibunya yang baru saja duduk di sofa.
Ibu Suri menatap layar smart TV. Mulai dari detik pertama sudah memusatkan atensi. Video yang berjalan disertai suara percakapan yang terdengar jelas. Apalagi saat suara Leony meninggi disertai menunjuk wajah Tya dan menoyor.
"Oh tidak-tidak. Ibu tidak ridho menantu Ibu diperlakukan begitu." Ibu Suri berdiri dengan memasang wajah marah. "Dasar anak LC nggak ada akhlak sama seperti ibunya," sambungnya sambil menggeram dengan kedua tangan terkepal.
Tya kaget dengan respon sang mertua yang tidak disangkanya akan seperti itu. "Ibu...tenang, Bu. Ayo sambil duduk lagi bahasnya." Ia menyentuh lengan Ibu Suri yang teraba tegang karena menahan ledakan amarah. Baru kali ini melihat mertuanya itu murka.
Ibu Suri duduk kembali sambil mengatur napas."Diaz, kau nggak boleh diam aja. Meskipun kalian lagi akting, tapi membela marwah istri itu perbuatan terpuji."
"Iya, Bu. Besok aku akan laporkan ini pada Ayah di kantor."
"Ibu ikut. Si Leon bukan hanya menghina Tya ta[i sekaligus menghina Ibu juga. Ibu akan pengaruhin Ayah biar bertindak tegas."
Diaz juga menenangkan ibunya dengan mengusap-usap tangan ibunya yang sebelah kanan. "Bu, ide Tya membiarkan Leony mencaci dan menghina jadi keuntungan buat kita. Siapa tahu bulan depan hak warisan bisa ditandatangani."
"Ah iya. Kenapa Ibu baru kepikiran. Baiklah kita lihat reaksi ayahmu besok."
"Iya, Bu."
Ibu Suri beralih menatap Tya. "Tya...good job. Ibu sampai naik darah dengan aktingmu yang ini. Salut."
Tya tersenyum. "Aku udah dapat nafkah alias gaji 20 juta di awal, jadi otak pun encer, Bu. Sebegitu pengaruhnya ya cuan."
Kali ini Ibu Suri dibuat tertawa. "Bisa aja kau ini. Oh ya, Ibu mau sidak tempat tidur Tya. Ayo kita pindah, Nak."
Diaz menatap kepergian Ibu dan Tya sambil tetap duduk di karpet. Tak mau ikut campur. Memilih termenung.
Apa keakraban Tya pada Ibu juga akting atau tulus? Tapi mereka keliatan ada chemistry.
heeeemmmm jd penasaran bgaimn tanggapan ayah Hilman bgtu tau anak sulung ny yg manja itu telah berperilaku buruk terhadap mantu kesayangan nya itu.
bukannya lecet tapi bekasnya ntar gak ilang2.
mas kudis sdh mulai menodai kepolosan tya. sengaja amat jiwa ingin menggodanya.