Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jingga dan Rencana Busuk Mahesa…
Siang itu suasana kantor mendadak berubah riuh. Seluruh karyawan dipanggil ke ruang rapat besar. Ruangan yang biasanya terasa dingin karena AC dan formalitas rapat, kini dipenuhi bisik-bisik penuh rasa ingin tahu. Semua bertanya-tanya ada apa sampai HRD mengumumkan pertemuan dadakan.
Di depan, manajer HRD berdiri dengan senyum lebar, membawa beberapa berkas di tangannya. “Baik teman-teman, hari ini ada kabar baik. Sesuai keputusan Pak Savero, bagi karyawan dengan kinerja yang bagus, dedikasi tinggi, dan konsistensi dalam pekerjaan, diberikan apresiasi berupa kenaikan jabatan sekaligus tambahan gaji.”
Sekeliling ruangan langsung riuh. Ada yang saling melirik, ada yang mulai berbisik penuh harap, bahkan ada yang menepuk-nepuk bahu temannya sambil bercanda, “Eh, jangan-jangan kamu yang naik jabatan!”
Satu per satu nama dipanggil. Beberapa karyawan maju ke depan, menerima ucapan selamat diiringi tepuk tangan. Ada yang sampai terharu, ada juga yang dengan bangga melambai ke teman-temannya.
Hingga tiba-tiba, suara HRD menggema lagi, “Dan yang terakhir, selamat kepada… Jingga, yang diangkat menjadi Asisten Manajer Keuangan.”
Sekeliling ruangan sontak hening sejenak, lalu langsung meledak dengan gumaman tak percaya.
“Serius? Jingga?”
“Bukannya dia sering telat setor laporan?”
“Dia tuh ceroboh banget, kok bisa?”
Namun HRD cepat menengahi, tersenyum sambil berkata lantang,
“Iya, benar. Selama ini mungkin kalian mengenal Bu Jingga hanya dari sisi luar saja. Tapi faktanya, catatan kehadirannya sangat rapi, tidak pernah absen tanpa keterangan, dan ia selalu menyelesaikan pekerjaannya meski kadang harus lembur. Dedikasinya tinggi, dan hal itu yang membuat manajemen menaruh kepercayaan padanya.”
Jingga yang duduk di barisan tengah hanya bisa terpaku sejenak. Jantungnya berdegup cepat. Tak pernah ia membayangkan namanya akan disebut. Dengan langkah pelan, ia maju ke depan. Tatapan penuh campuran kaget, kagum, bahkan sinis mengikuti setiap gerakannya.
Tepuk tangan kembali bergema. Beberapa teman mendekat setelah ia turun dari panggung.
“Selamat ya, Jingga! Keren banget sekarang.”
“Wah, traktir dong, asisten manajer baru!”
Jingga tersenyum manis, menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
“Makasih… doain aja aku bisa lebih baik lagi.” Ucapannya terdengar tulus, meski di dalam hati ia menahan getir karena tahu betul ada yang pasti terbakar iri.
Dan benar saja. Dari kursi belakang, Lidya menatap tajam dengan wajah panas. Jantungnya serasa diperas. Bagaimana mungkin Jingga, yang semalam mereka kurung di kamar mandi, justru tampil di depan sebagai pemenang? Rasa iri membakar dadanya.
Sementara itu, Mahesa yang berdiri agak jauh hanya bisa menatap Jingga dengan sorot mata berbeda. Ada kebanggaan terselubung, ada pula rasa enggan untuk semakin jauh darinya. Jingga kini bukan sekadar gadis manis ceroboh yang bisa ia permainkan. Ia naik level, dan itu membuat Mahesa semakin bernafsu untuk kembali menggenggamnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sore harinya, selepas kerja, Jingga keluar kantor dengan wajah lega. Bonus gaji dan tambahan jabatan itu membuat langkahnya lebih ringan. Sudah lama ia ingin membeli sesuatu untuk dirinya sendiri. Bukan hanya baju dan tas kecil, tapi juga bahan makanan berkualitas untuk orang tuanya di rumah.
Ia berjalan di lorong swalayan besar, mendorong troli berisi sayuran segar, daging, dan beberapa barang kebutuhan rumah. Wajahnya cerah, meski sesekali ia masih terbayang panasnya tatapan Lidya tadi siang.
Saat ia sibuk memilih susu segar, telinganya menangkap suara yang familiar. Suara laki-laki itu, begitu khas. Ia mengintip dari balik rak, dan benar saja, Mahesa, bersama ibunya, mendorong troli di lorong daging segar.
Jingga spontan menunduk, bersembunyi di balik etalase. Ia pura-pura sibuk meneliti label makanan, tapi telinganya tak bisa menolak untuk mendengar percakapan keduanya.
Sambil memilih potongan daging, ibu Mahesa bertanya santai tapi tajam,
“Jadi, kapan kamu nikah, He? Ibu capek harus ikut terus belanja begini. Kalau kamu punya istri, kan dia bisa urus semua.”
Mahesa terkekeh kecil. “Sebentar lagi, Bu. Aku sudah punya calonnya.”
“Siapa?” sang ibu menoleh, menajamkan tatapannya.
Dengan percaya diri Mahesa menjawab, “Jingga.”
Sekuat tenaga Jingga menahan diri agar tak menjatuhkan barang di tangannya. Jantungnya langsung berdegup kencang.
Ibunya mendengus sinis. “Bukannya dulu kamu bilang dia kampungan? Katanya bisa bikin malu keluarga kita?”
“Itu dulu, Bu,” jawab Mahesa cepat, wajahnya penuh senyum. “Sekarang dia sudah berubah. Dia cantik, Bu. Cantik banget. Bahkan… seksi.”
Ibunya mendecak. “Cantik itu bonus, bukan yang utama. Yang penting, apa dia punya penghasilan besar? Ibu tidak mau kamu susah setelah nikah. Jangan sampai kamu harus kerja keras sendiri.”
Mahesa tersenyum lebar, matanya berbinar. “Tenang aja, Bu. Gaji dia lebih besar dari aku sekarang. Dia baru aja diangkat jadi Asisten Manajer Keuangan.”
“Benarkah?” Ibunya tampak lebih lega. “Kalau begitu bagus. Ibu tidak mau menantu yang merepotkan. Bahkan setelah nikah nanti pun, istrimu tetap harus bekerja. Mengerti?”
Mahesa mengangguk mantap. “Siap, Bu. Dan tenang aja, justru karena dia sudah asisten manajer, aku bisa manfaatin itu. Aku mau ajukan pinjaman kantor atas nama dia. Dengan jabatannya, limitnya pasti gede, Bu.”
Mendengar itu, ibunya tersenyum puas. “Bagus. Yang penting kamu jangan sampai rugi punya istri.”
Mahesa ikut tersenyum sumringah, seolah sudah menang besar.
Dari balik rak, Jingga menunduk, pura-pura merapikan kaleng susu di troli padahal seluruh telinganya dipasang ke arah Mahesa dan ibunya. Jantungnya rasanya mau copot ketika mendengar namanya disebut terang-terangan.
Begitu Mahesa dengan santainya bilang kalau dirinya berniat memanfaatkan jabatan Jingga untuk pinjaman kantor, wajah Jingga memanas.
“Ya ampun, dasar laki-laki modal dengkul,” bisiknya pelan sambil menutup mulut dengan tangan, takut ketahuan.
Ia geleng-geleng kepala, rahangnya mengeras. “Aku tuh udah pusing sama urusanku sendiri, sekarang dia seenaknya ngarang skenario jadiin aku ATM berjalan? Hadeuh…”
Tangannya refleks menepuk-nepuk gagang troli, mencoba meredam kesal. Tapi makin lama makin susah.
“Cantik, seksi… hah! Emangnya dia siapa sampai aku harus berubah dulu jadi cantik dan seksi baru dia tertarik lagi sama aku?!” gumamnya lirih sambil manyun.
Dia menunduk lebih dalam, lalu mendesah panjang. “Awas ya, Mahesa… coba-coba mainin aku lagi, aku bisa bikin kamu nangis tujuh turunan.”
Jingga lalu menghirup dan mengeluarkan napasnya sebentar, berusaha menenangkan diri. Tapi begitu menoleh dan melihat Mahesa tersenyum lebar di samping ibunya, Jingga langsung mendecak pelan.
“Pantas aja kemarin nempel kayak perangko, ternyata ada maunya. Iih, kampungan banget…”
Ia akhirnya memilih mundur pelan-pelan, mendorong troli ke lorong sebelah, sambil masih ngomel sendiri. “Udah jelas kemarin ninggalin aku kayak sampah, sekarang balik lagi pas aku udah jadi asmen. Heh, jangan mimpi, Mahesa!”
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya