Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta yang Menyiksa
Di malam aku masih termenung dalam kehampaan.Langit gelap, bintang pun seakan enggan menemaniku.
Hanya sunyi yang setia berdiri di sisiku, membungkus hati yang rapuh ini.
“Apakah aku akan kehilangan Reza selamanya?” tanyaku pada diriku sendiri, lirih, hampir tak terdengar.
Seolah angin malam ikut membawa resahku jauh, entah ke mana.
Aku lelah dengan semua ini.
Lelah menunggu jawaban yang tak kunjung datang.
Lelah menggenggam harapan yang terasa semakin tipis.
Namun, jauh di relung jiwa, sakitnya tak bisa kututupi.Perih sekali jika benar Reza akan pergi dari hidupku untuk selamanya.
Di malam yang dingin ini, aku hanya bisa pasrah,membiarkan tangis jatuh bersama doa,semoga takdir masih berbaik hati
mengizinkanku menyebut namanya tanpa rasa kehilangan.
Tiba-tiba ponselku berbunyi.
Ada notifikasi lagi…
dari Reza.
Tanganku bergetar saat meraihnya,
air mata buru-buru kuhapus dengan punggung tangan.
Aku senang…
senang karena dia akhirnya membuka blokiran itu.
Senang karena masih ada celah kecil untukku bisa menatap namanya lagi.
Namun, saat kubuka pesannya, dadaku mendadak sesak.
Chat itu begitu singkat, dingin, tak ada hangat yang kuharap.
Hanya satu huruf:
“P.”
Seperti biasa.
Aku menelan ludah, lalu buru-buru membalas:
“Iya, kenapa?”
Tak lama kemudian, notifikasi kembali muncul.
Kali ini, isinya penuh tuntutan.
“Ayok cpt tepatin janji lu.”
Hatiku terhentak.
Aku menatap layar ponsel itu lama sekali.
Antara ingin tertawa pahit atau menangis lagi.
Apakah baginya aku hanya sebatas janji yang harus ditepati,
bukan hati yang sedang menunggu untuk dimengerti?
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku.
Jari-jariku bergetar di atas layar ponsel, berusaha terlihat santai meski hatiku remuk.
Lalu aku membalas pesannya:
“Lah kan aku udah bilang aku nggak bisa.”
Tak butuh waktu lama, balasannya datang.
Kata-kata yang dingin dan tajam menampar wajahku tanpa ampun:
“Kalau nggak bisa menepati, setidaknya jangan pernah janji.”
Aku menatap layar itu lama sekali, lalu tersenyum…
getir, pahit, seperti racun yang kupaksa telan sendiri.
"Apakah dia pikir aku ini hanya pemuas nafsunya saja?
Yang bisa ia pakai dan buang seenaknya?"
Aku merasa diriku lebih rendah dari sekadar pelacur.
Pelacur saja dibayar.
Aku? Aku hanya dibayar dengan cinta yang ternyata hanyalah sandiwara.
Cinta palsu yang kini terasa lebih menusuk daripada kebohongan terang-terangan.
Aku menatap layar ponsel, dada terasa sesak.
Dengan jari yang bergetar, aku pun membalas pesannya:
“Ngapa maksa? Apakah kamu punya hak?
Sama cewek lain aja, banyak toh cewek lain yang bisa kau pake.”
Aku menunggu dengan hati yang campur aduk antara marah, kecewa, dan hancur.
Tak lama, notifikasi kembali muncul.
“Ayok, tepati janji lo.”
Begitu singkat. Begitu dingin.
Seolah semua luka yang kubawa, semua air mata yang pernah jatuh, tak ada artinya di matanya.
Aku hanya bisa tersenyum… senyum yang sakit.
Senyum getir, seolah menertawakan kebodohanku sendiri.
Dia…
dia tidak pernah benar-benar mengerti perasaanku.Mungkin sejak awal pun, dia tidak pernah berniat untuk mengerti.
Dan aku di sini, kembali terjebak dalam dilema:
antara bertahan demi cinta yang melukai,
atau melepaskan, meski itu berarti harus kehilangan seseorang yang selalu kusebut sebagai cinta Terakhir .
Aku menatap layar, jari-jariku mulai lelah tapi hatiku lebih lelah lagi.
Dengan nada yang kupaksakan santai, aku membalas:
“G akan. Lagian kan cuman suka relawan.
Lo nggak ada hak buat minta hal kayak begituan ke gua.”
Tak sampai semenit, balasan darinya sudah masuk.
Ah, memang ya…
kalau urusan nafsu, dia selalu gercep.
Isinya pun singkat, tanpa basa-basi, tanpa perasaan:
“Ayok cepet.”
Aku menarik napas panjang, lalu membalas dengan getir yang kuselipkan dalam sarkas:
“Gua bukan DPR yang punya hak buat menepati janji anda.”
Aku tersenyum tipis. Senyum yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan.
Dia mungkin menganggap semua ini permainan.Tapi aku tahu, aku bukan pion dalam permainan nafsunya.
Notifikasi masuk lagi.
Kali ini, balasannya menusuk, kasar, tanpa sedikit pun empati:
“Siapa yang bilang lu DPR tolol balasnya.”
Aku tertawa melihat balasannya itu.
"Di sini yang tolol itu anda, atau saya?"gumamku
Aku menarik napas, menahan gejolak di dada, lalu menuliskan balasan dengan tegas:
“Denger ya, gua nggak ada hak buat layanin lo.Dan gua juga bukan istri lo.Kalau mau muasin nafsu, minta aja sama istri lo.”
Jari-jariku berhenti sejenak setelah menekan tombol kirim.
Ada gemetar halus yang tak bisa kusembunyikan, antara marah dan takut kehilangan.
Notifikasi kembali masuk, berkali-kali, isinya sama saja:
“Tolol tolol tolol.”
Aku terdiam sejenak, lalu tertawa.
Tawa yang pahit, lebih mirip luka daripada bahagia.
“Mungkin lo udah kehabisan cara buat minta semuanya ke gua" gumamku pada diri sendiri.
Aku pun mengetik balasan, singkat tapi tegas:
“Anda yang lebih tolol.”
Balasannya datang cepat:
“Lu kali.”
Aku menatap layar, jantungku berdetak lebih kencang, lalu dengan keberanian yang tersisa aku menjawab:
“Lu dong. Lu kan tukang maksa.”
Aku menutup ponselku sejenak, tersenyum getir.
Aku bertanya pada Tuhan,
mengapa hati ini memilih yang menusuknya sendiri.
Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada sosok seperti Alfareza ,wajahnya mungkin manis, tapi hatinya penuh duri.
Dia menyakitiku, memanfaatkanku,
tak pernah benar-benar hadir sebagai pelindung,bahkan tak berguna di hidupku
selain jadi bayangan yang meracuni mimpi-mimpiku.
Namun entah mengapa, aku tetap mencintainya.Seolah cinta ini adalah kutukan,
seolah rasa ini adalah belenggu yang kupeluk sendiri.
Tuhan, apakah ini cinta atau siksaan?
Mengapa aku jatuh, berkali-kali jatuh
pada tangan yang hanya tahu caranya melukai,bukan merangkul.
Tiba-tiba ada notifikasi lagi dari Reza.
Pesannya menohok, kasar, menusuk tanpa ampun:
“Gua maksa, mikir mah pake otak jangan pake mulut.Janji terus sampe kek orang tolol.”
Aku menggertakkan gigi, menahan perih, lalu membalas tanpa mau kalah:
“Gua nggak pernah janji soal hal ini sama lo.
Gua cuman janji bakalan mencintai lo sampai akhir hayat gua.Bukan tentang perzinahan.”
Balasku.
Namun, tak lama, muncul lagi balasan singkat darinya:
"Y tolol.”
Mungkin dia sudah kalah jadi kehabisan topik untuk melawanku.
Dadaku sesak, tapi aku tetap membalas, dengan getir yang bercampur marah:
“Tolol teriak tolol.”
Dan jawaban terakhir darinya hanyalah satu huruf:
“Y.”
Setelah itu, notifikasi berhenti.
Aku mencoba mengetik lagi, tapi tak terkirim.
Dia sudah memblokirku.
Aku terdiam. Rasanya seperti dunia runtuh sekali lagi.
Tanganku gemetar, mataku panas, namun di tengah luka itu, aku pun ikut memblokirnya.
Entah untuk menenangkan hati, atau sekadar menipu diri.
Yang jelas, malam itu aku sadar
aku sudah terlalu sakit.
“Kau pikir kamu itu siapa?
Harus membuatku mengemis-ngemis dan rela membuka diriku demi kamu?
Apakah kamu wakil presiden?” gumamku penuh emosi, suaraku bergetar.
Di satu sisi, aku marah, kecewa, hancur.
Aku merasa dilecehkan oleh cinta yang kupertahankan sendiri.
Aku merasa jadi pecundang di medan perang yang hanya kujalani sendirian.
Tapi di sisi lain, hatiku getir.
Ada rasa sakit yang tak mau pergi.
Aku benci dimanfaatkan, tapi aku juga takut kehilangan dia.
Aku ingin bebas, tapi aku masih terikat oleh rasa yang kupupuk sendiri.
Aku menatap langit malam,
berharap Tuhan mendengar batinku yang retak ini.