Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.
Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya
Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?
p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meng Ran - Shi Ni
Bianglala berputar-putar. Bisikan memenuhi gendang telinga. Langkah kaki tidak terhitung jumlahnya, memenuhi arena permainan.
Caroline menunduk, hanya menemukan bahwa ia sudah menggenakan terusan gaun selutut yang polos. Di sebelahnya banyak sekali anak kecil yang bertepuk tangan seraya berjalan beriringan. Merasa terhibur, ia tak bisa menahan senyum tipisnya.
“Ingin gulali?”
Pertanyaan itu membuatnya menoleh ke belakang. Barulah ia sadar bahwa orang yang bertanya itu sedikit ngos-ngosan, tampaknya mengejarnya sekencang mungkin. Kini Caroline tidak bisa mengendalikan tangannya yang merogoh sapu tangan dalam tas lalu menyeka dahi lelaki itu.
“Tidak perlu mengejarku sampai begini, padahal ada smartphone. Tinggal telepon dan suruh aku menghampiri lokasimu,” omelnya sambil mengelap tetesan terakhir di dekat pangkal rambut Pram.
Pratama menggeleng, “Menurutku kau bahkan akan teralih oleh suasana disini sehingga tidak membukanya dan menghubungiku.” Lalu ia mengayunkan gulali kapas yang baru saja ia beli, “Dan aku takut permen kapasnya akan rusak jika menunggumu lebih lama lagi.”
Caroline hanya bisa menggelengkan kepala, senyumnya kini sedikit lebih lebar. Ada semburat geli di matanya. "Tidak masuk akal. Apa kau pikir aku anak kecil yang akan hilang di keramaian?"
Pratama terkekeh. "Baru saja aku melihatmu sama seperti mereka.” Matanya melirik pada anak-anak yang bernyanyi riang. Ia melanjutkan perkataannya, “Anak kecil yang baru menemukan mainan baru."
“Ck. Pengejek ulung,” balas Caroline lagi.
Pram mengulurkan gulali kapas berwarna merah muda yang besar itu. "Ini, cepat habiskan sebelum meleleh."
Sinar matahari menyinari permen kapas berwarna biru itu. Menciptakan kesan tembus pandang dan membuatnya menggiurkan. Tetapi Caroline tiba-tiba teringat bahwa dulu saat ia memakannya, rasanya begitu manis sampai membuat tenggorokannya terasa sakit sekali.
Caroline belum menerima gulali itu dengan ragu. "Ini terlalu manis, Pram. Aku tidak suka manis berlebihan."
Pratama mengangkat bahu. "Tidak akan, aku sudah meminta penjual untuk mengurangi gulanya." Ia mengedipkan mata, memintanya untuk mencobanya sekali.
Caroline mendengus pelan, namun ia menggigit sedikit gulali di tangan Pram. Matanya sedikit melebar. "Hmm… tidak seburuk yang kubayangkan." Ia menggigit lagi, kali ini lebih besar.
Gulali kapas itu menempel di sudut bibirnya. Berkilau-kilau.
Pratama menahan tawa. Ia mengulurkan ibu jarinya dan membersihkan sisa gulali di bibir Caroline. Sentuhan itu ringan, namun Caroline tidak menghindar. Dia merasa hangat, entah karena mentari di senja hari atau panas ibu jari itu yang menyebar di hangat kulitnya.
“Biasanya, di film atau novel yang kubaca, pemeran prianya tidak akan menyeka seperti itu. Tapi mencium atau menjilatnya kecil,” ucapnya tiba-tiba.
Pram membelalakkan matanya, “Menurutku hal seperti itu tidak baik dibaca terlalu sering. Lagipula sudut mulutmu akan bau, dan semakin lengket karena gulali itu tak bersih disapu.”
Caroline tertawa sambil membenarkannya. Selama ini dia hanya terkikik geli saat membayangkannya, namun jika benar-benar terjadi di dunia nyata, agak aneh juga.
"Kau tahu," alih Pratama, "Benda manis ini mengingatkanku pada masa kecil."
Matanya menerawang, seolah melihat kenangan di antara putaran bianglala. "Dulu, aku selalu merengek pada orang tuaku untuk dibelikan gulali setiap kali kami ke pasar malam."
Seorang Pram, meminta permen kapas?
Caroline mendengarkan, matanya memperhatikan ekspresi Pratama. Dibalut dengan sentuhan penasaran yang baru. "Apakah kau mendapatkan setiap permintaanmu?"
Pratama tertawa. "Tidak selalu. Gigiku sudah ompong empat, jadi orang tuaku
membatasinya." Ia menatap Caroline. "Tetapi mereka akan memberinya sesekali, seperti yang aku lakukan tadi. Mengurangi jumlah gulanya agar tidak manis sekali."
Caroline menggigit permen kapas yang tersisa, menyisakannya sedikit untuk Pram.
“Aku lebih suka rasa ini, lain kali pesan yang sama jika kita datang lagi.”
Tatapan lelaki di sampingnya melembut, dia mengangguk kecil.
“En, lain kali.”
Caroline memandangi wajah Pram, tatapannya seolah menyiratkan bahwa ia akan memegang tiga kata itu dan mewujudkannya. Entah kapan.
Mereka melanjutkan perjalanan di sekitar arena permainan, berbagi cerita-cerita kecil. Caroline tidak lagi terlalu fokus pada setiap detail yang ia amati, membiarkan dirinya hanyut dalam suasana.
"Banyak orang bilang indra penciuman dan perasa itu terhubung erat dengan memori. Misalnya mencium aroma sisa hujan, membuatmu kembali ke masa kecil dimana kamu berlarian bersama teman lain. Atau saat memakan masakan rumahan, pasti akan mengingatkanmu dengan rumah."
Caroline mendengarkannya dan mengangguk. “Aku pernah saat merantau, dibuatkan sup jagung oleh Ibu Kost dan seketika menangis, karena rasanya sama persis dengan buatan Ibuku.”
Saat itu ia masih mahasiswa semester satu, dan bulan awalnya di Surabaya begitu sulit. Tidak ada penanak nasi. Tidak ada penjual di luar sana yang dekat dengan kost. Ingin memasak sayur, tapi dia tidak tahu dimana perkakas dapur bersama.
Dia merasa tidak enak hati dan tidak tahu pada siapa harus meminta bantuan. Dan menelan nasi hangat serta sup jagung manis begitu membuatnya sadar, bahwa ia begitu merindukan kampung halamannya. Karena ia baru tahu, bahwa merantau ternyata artinya benar-benar mandiri.
Pram mengangguk. “Pasti berat masa itu, sendirian tanpa ditemani anggota keluarga.”
Caroline tertawa kecil. "Sudah, sudah.. Ini kita sudah merusak suasana bahagianya.”
Kemudian dia berlari ke depan, menahan berat badannya pada tiang penghalang, memandangi danau yang luas untuk waktu yang lama. Senyuman tidak pernah luntur dari wajahnya.
Pratama memandanginya lamat-lamat. Mata berbinar akibat pantulan senja. Rok berkibar diterbangkan angin. Anak rambut bermain dengan liar, namun menambah kesan polosnya.
"Lin, setelah ini mau kesana? Ada toko es krim tua di dekat alun-alun yang dulu sering aku kunjungi saat kecil."
Caroline menjawabnya, “Lebih baik sekarang sebelum pengunjung memenuhi toko yang kamu sebutkan!”
Benar saja, sudah ada beberapa orang mengantre disana. Mereka berdua menyelip di antara kerumunan dan mulai berbaris. Caroline sesekali menyentuh lengan Pratama, menjaganya agar tidak terpisah begitu saja.
Aroma vanila dan cokelat menguar, berpadu dengan wangi cone yang baru dipanggang.
Akhiran antrean sudah sampai ke mereka. Caroline melirik menu di dinding.
"Ada banyak rasa. Kurasa aku vanilla saja." Ekspresi kebingungannya lucu sekali, terutama saat ia menyerah dan memilih rasa yang paling aman.
"Oke, satu es krim Vanilla dan satu lagi rasa Pistachio," sahut Pratama.
Mereka menerima cone es krim masing-masing dan mencari tempat duduk di salah satu meja kecil di dalam toko. Caroline menjilat es krimnya sebelum melirik ke es krim milik lelaki itu.
"Bagaimana?" tanya Pratama, menahan tawa saat melihat sedikit krim putih lagi-lagi menempel di ujung hidung Caroline.
“Sepertinya kau suka sekali membuat bibirmu kotor.”
Pratama mengeluarkan tisu dari saku celananya dan mengusap hidung Caroline dengan lembut. Caroline tidak menepisnya, justru sedikit merunduk. Tapi mata perempuan itu masih belum lepas dari es krim berwarna hijau di tangan Pram.
Pratama menyadarinya dan menyodorkan es krimnya.
“Cicipi.”
Caroline mencobanya lalu berkomentar, "Aneh. Tidak manis sekali, tapi juga tidak hambar. Rasanya seperti kacang, tapi dingin." Ia menjilat lagi karena ini pertama kalinya dia mencoba rasa itu.
Pria di sampingnya memakan es krimnya lagi saat Caroline puas mencicip. Mereka berdua menghabiskan secepatnya agar tidak keburu mencair dan mengotori tangan. Lalu melanjutkan edisi jalannya lagi. Saat mereka sampai di area permainan menembak,
Pratama berhenti.
“Itu terlihat sulit, kenapa tidak bermain yang lain saja. Menurutku wahana ini membuatmu rugi karena pasti gagal," bisik Caroline skeptis.
“Tidak mungkin,” bantah Pram sambil menariknya masuk ke dalam.
Penjaga menyambut antusias dan memberikan senapan angin. Pratama menahan pelatuk, membidik dengan serius. Beberapa menit berikutnya, mereka berdua keluar dari sana.
Pram cemberut, dan Caroline sambil memegang perutnya yang kram karena tertawa tanpa henti.
Namun ini aneh. Ia melihat sekelilingnya menjadi gelap dan hanya ia sendirian. Saat ia menutup mata dan membukanya kembali, sekitarnya berubah drastis. Dia diam, tidak bisa melepaskan dirinya dari kenangan tenang tadi.
Tadi semua hanyalah bunga tidurnya, dan kenangan pemilik asli.