Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Bab 29
...“Kamu gagal jadi istri, kamu juga gagal jadi ibu, Nadya.” -Adrian...
Adrian dan Revana baru saja melangkah memasuki lobi megah gedung perusahaan. Banyak karyawan yang sudah berlalu lalang, para karyawan menunduk sembari tersenyum sopan menyapa sang CEO. Revana berjalan selangkah di belakang Adrian, ia sengaja memberi jarak agar orang-orang tidak curiga.
Langkah Adrian tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara lantang memanggil namanya.
“Adrian!”
Revana sontak terkejut, wajahnya pucat. Dari arah pintu masuk, Nadya berjalan cepat dengan wajah tegang dan penuh emosi. Para karyawan yang berada di sekitar lobi langsung menoleh, suasana seketika menegang.
“Adrian! Apa maksudmu? Kenapa uang yang kamu kirimkan tidak sebanyak biasanya?!” seru Nadya tanpa peduli semua mata kini tertuju padanya.
Revana menunduk, nyalinya seolah menghilang. Ada rasa takut sekaligus canggung, apalagi Nadya berdiri hanya beberapa langkah dari mereka. Hatinya berdegup keras, ingin sekali menjauh, tapi kakinya seperti membeku di tempat.
Adrian menarik napas panjang, rahangnya mengeras. Ia menoleh singkat pada Revana, lalu dengan suara datar namun tegas ia berkata,
“Jangan membuat keributan di sini, Nadya. Ikut aku ke ruanganku.”
Nadya sempat hendak melontarkan kata-kata lagi di depan umum, namun tatapan tajam Adrian membuatnya terpaksa menahan diri.
Beberapa karyawan masih berbisik-bisik, suasana lobi bergetar dengan gosip yang pasti akan menyebar lebih cepat dari angin.
Sesampainya di lantai eksekutif, Adrian membuka pintu ruangannya dan membiarkan Nadya masuk lebih dulu.
Adrian menoleh singkat ke arah Revana, lalu berbisik pelan, nyaris tak terdengar, “Sayang, Pergilah ke ruang kerjamu. Biar aku yang urus ini.”
Revana mengangguk kecil, tanpa banyak kata ia segera melangkah menjauh, berusaha menenangkan degup jantungnya yang berisik.
Begitu pintu tertutup, Nadya langsung menoleh tajam pada Adrian.
“Kenapa kamu kurangi uang itu, Adrian? Kamu pikir aku bisa hidup dari uang sisa recehan yang kamu kasih kemarin?!”
Adrian menoleh perlahan, wajahnya tenang tapi matanya tajam. Ia melepas jasnya, menaruhnya di sandaran kursi, lalu berdiri berhadapan dengan Nadya.
“Pertama, turunkan suaramu. Ini kantor, bukan pasar.”
Nadya terdiam sejenak, tapi gengsi membuatnya tak mau kalah. “Aku butuh uang itu, Adrian. Kalau kamu sengaja mempermainkanku—”
“Bukan aku yang mempermainkanmu.” potong Adrian tegas. “kalau kamu ingin hidup bebas tanpa mengurus anak dan suamimu, kenapa kamu masih menggantungkan hidupmu pada uangku tanpa peduli dengan anak-anakmu. Bahkan semalam, ketika kamu menelpon, kamu bahkan tidak menanyakan kabar mereka. Di otakmu isinya hanya soal uang saja.”
Wajah Nadya memerah, bibirnya bergetar. “Itu… itu bukan urusanmu. Aku hanya—”
“Itu urusanku, Nadya!” suara Adrian meninggi, kali ini emosinya pecah. “Aku ayah mereka. Dan aku muak melihatmu mengabaikan tanggung jawabmu sebagai seorang ibu. Mulai sekarang, aku akan tetap memberi uang. Tapi hanya secukupnya. Tidak lebih.”
Nadya menatapnya dengan mata membelalak, nyaris tak percaya Adrian setega itu padanya.
Nadya melipat tangan di depan dada, menatap Adrian dengan senyum sinis yang penuh tantangan.
“Apa maksudmu? Mengurangi uangku ? aku ini istrimu, aku berhak atas semua yang kamu punya, jangan kamu lupa akan tanggung jawabmu padaku Adrian.?”
Adrian menghela napas panjang, tapi suaranya mantap dan tegas.
“Apa kamu nggak ngaca ? Kamu nggak sadar. selama ini kamu tidak pernah lagi menjalankan kewajibanmu sebagai seorang istri. Rumahmu kosong, anak-anakmu lebih memilih tinggal bersama orang tuaku, bahkan satu kali pun aku tak melihat usaha darimu untuk memperbaikinya.”
“Omong kosong!” Nadya membentak. “aku tau kamu hanya mencari alasan. Apa semua ini karena kamu ada wanita lain ? Jangan coba-coba membodohiku, Adrian!”
Adrian mendekat, tatapannya dingin menusuk.
“Terserah apa katamu Nadya, aku tidak peduli, aku lelah hidup denganmu. Kita sudah terlalu lama pura-pura. Aku ingin bercerai, Nadya.”
Nadya terdiam sejenak, lalu tawa kecil keluar dari bibirnya. Tawanya terdengar getir, bercampur sinis.
“Hah… cerai? Kamu pikir akan semudah itu kamu melepasku, apa kata Alesya dan Andrew...mereka tidak akan mau orangtuanya bercerai, mereka pasti akan malu.?”
Adrian mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Apa kamu yakin mereka akan keberatan dengan perceraian orangtuanya, apa kamu yakin mereka akan meminta kamu untuk bertahan, sekarang saja mereka tidak mau pulang kerumah, berarti memang sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Aku akan ajukan gugatan cerai secepatnya.”
Senyum Nadya semakin melebar, namun matanya menyala penuh amarah. “Silakan coba, Adrian. Tapi jangan menyesal. Aku tidak akan tinggal diam. Aku akan pastikan kamu menyesal sudah melawanku.”
Suasana ruangan terasa menegang. Hanya suara napas berat keduanya yang terdengar, seakan-akan setiap kata yang keluar adalah anak panah yang siap akan menusuk.
Adrian berdiri tegak, menatap Nadya tanpa gentar. Suaranya merendah tapi penuh dengan ketegasan yang menusuk hati.
“Kamu salah satu-satunya wanita yang beruntung punya suami yang begitu sabar bertahun-tahun. Tapi kamu sia-siakan itu semua. Aku tidak butuh istri yang hanya mengingatku ketika hanya butuh uang saja, sementara anak-anakmu bahkan lebih takut dan kecewa padamu daripada mencintaimu. Kamu gagal jadi istri, kamu juga gagal jadi ibu, Nadya.”
Mata Nadya membelalak, wajahnya menegang mendengar kalimat itu. Kata-kata Adrian seperti tamparan keras yang membuat dadanya sesak.
Adrian melanjutkan, lebih dingin lagi, “Aku tak pernah menyesali memberimu nafkah selama ini. Tapi aku menyesal sudah terlalu lama aku menutup mata. Mulai sekarang, aku tidak akan lagi hidup dengan pura-pura. Jadi pergilah, Nadya. Mulailah biasakan dirimu tanpa uangku.”
Nadya yang semula berdiri angkuh kini tampak kehilangan pijakan. Bibirnya bergetar, namun tak ada kata yang keluar. Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menegakkan kepala, menutupi luka di balik kesombongannya.
Tanpa sepatah kata lagi, Nadya berbalik. Tumit sepatunya menghentak lantai keras, meninggalkan ruang kerja Adrian dengan pintu yang ditutup begitu keras di belakangnya.
Adrian memejamkan mata sejenak, mengembuskan napas panjang, lalu menatap jendela dengan sorot mata yang mantap. Untuk pertama kalinya, ia merasa satu beban berat mulai terlepas.
...⚘️...
Adrian melangkah masuk ke ruang meeting dengan langkah tegap, meski baru saja ada badai yang ia hadapi di ruang kerjanya. Wajahnya tetap tenang, penuh wibawa, seolah tidak terjadi apa-apa.
Di ujung meja, Revana sudah siap dengan map dokumen dan laptop yang terbuka, dibantu oleh Anton yang memastikan semua presentasi tersusun rapi. Begitu melihat Adrian masuk, Revana refleks mengangkat wajahnya.
Tatapannya sedikit lama bertahan pada sosok pria itu. Ada tanya di balik sorot matanya, ada khawatir yang tidak bisa ia ucapkan langsung di depan semua orang.
Adrian yang menangkap tatapan itu hanya memberi anggukan kecil, tenang, seolah berkata "Aku baik-baik saja."
Hanya isyarat singkat, namun cukup membuat dada Revana sedikit lega.
“Selamat pagi, Tuan-tuan,” suara Adrian menggelegar penuh karisma, berganti menjadi sosok pemimpin yang tegas dan fokus. “Mari kita mulai meeting ini.”
Ruang meeting hening sesaat, semua klien dari Italia memberi perhatian penuh. Adrian membuka pembicaraan dengan bahasa Inggris yang fasih, menjelaskan konsep proyek besar yang mereka tawarkan. Anton sesekali menambahkan penjelasan teknis, sementara Revana dengan cekatan menyalin catatan penting, menyiapkan dokumen yang diminta.
Meski sibuk, sesekali pandangan Adrian melirik sekilas ke arah Revana. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuatnya kembali bersemangat.
Meeting itu berjalan intens, penuh negosiasi. Namun aura Adrian tetap menguasai ruangan, pria itu tenang, tegas, dan meyakinkan. Di balik meja, Revana menunduk, menyembunyikan senyumnya. Ia tahu, meski banyak badai menunggu di luar sana, di ruangan ini Adrian menunjukkan dirinya sebagai pria kuat yang pantas ia banggakan.
Meeting berjalan panjang dan menegangkan. Para klien dari Italia menanyakan banyak detail, mencoba menekan harga dan meminta beberapa syarat tambahan. Namun Adrian tidak goyah. Ia menjawab setiap pertanyaan dengan percaya diri, menjelaskan strategi, dan menawarkan solusi yang membuat posisi perusahaannya tetap unggul.
Anton sesekali menambahkan data teknis, sementara Revana mendistribusikan dokumen tambahan dengan cekatan, matanya terus mengikuti alur pembicaraan.
Hampir dua jam penuh perdebatan terjadi, hingga akhirnya salah satu perwakilan klien mengangguk puas.
“Mr. Adrian, I must say… your proposal is convincing. We can agree to this deal.”
Senyum Adrian merekah tipis. Ia menjabat tangan klien itu dengan tegas.
“Thank you. I assure you, this will be the beginning of a strong collaboration.”
Ruangan langsung terasa lebih ringan. Anton menyimpan napas lega, sementara Revana diam-diam ikut tersenyum kecil, bangga melihat bagaimana Adrian membawa semuanya dengan wibawa.
Setelah para klien berpamitan, Adrian masih berdiri tegak di dekat meja. Tatapannya sekilas menangkap Revana yang tengah merapikan berkas-berkas. Sekali lagi hanya isyarat singkat, mata yang berbicara, seolah ia mengatakan. "Kamu lihat kan? Aku baik-baik saja, karena ada kau di sini."
Revana menunduk buru-buru, berusaha menyembunyikan rona wajahnya.
Anton melangkah keluar lebih dulu. Dan ketika ruangan hanya tersisa mereka berdua, Adrian menghampiri Revana yang masih sibuk memasukkan dokumen ke map.
“Kerja bagus,” ucapnya rendah, suara yang terdengar berbeda dengan nada tegasnya tadi saat meeting. Lebih hangat. Lebih pribadi.
Revana mengangkat wajahnya, berusaha bersikap formal. “Sama-sama, Pak. Itu memang sudah tugas saya.”
Adrian menyipitkan mata, menyahut pelan tapi penuh tekanan, “Kamu lupa? Bukan ‘Pak’... kalau kita sedang di luar rapat seperti ini.”
Revana tersentak, tangannya hampir menjatuhkan pena yang ia genggam. Ia membalas tatapan dalam Adrian
“Maaf tapi ini masih di lingkungan kantor.”
Adrian mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Aku tidak butuh permintaan maaf yang hanya dengan ucapan, aku butuh lebih daripada itu” tatapan Adrian penuh hawa nafsu melihat istri keduanya.
Jantung Revana berdegup kencang. Ruangan itu seolah menyempit, hanya menyisakan mereka berdua.
Namun sebelum ia sempat menjawab, pintu diketuk pelan. Anton menyelipkan kepalanya, pura-pura tak melihat suasana canggung itu.
“Adrian, tim finance sudah menunggu di ruang sebelah untuk tanda tangan kontrak,” katanya sambil menahan senyum.
Adrian berdiri tegak lagi, merapikan jasnya. Ia menatap Revana sekilas dengan tatapan penuh arti, lalu melangkah keluar.
Revana hanya bisa menghela napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak dalam dirinya. Ia tahu, semakin hari, semakin sulit baginya untuk menyangkal bahwa hatinya sudah terikat kuat pada pria itu.
...⚘️...
...⚘️...
...⚘️...
...BERSAMBUNG.....
DAN UTK RANI BUAT DIA SADAR DIRI KERJA JGN NGAREPIN MANTAN KAKAK IPAR UNTUK BIAYA HIDUPNYA BUAT VIRAL👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌😈😈😈😈😈😈😈😈😈😈😈😈😈
dia jadi gembel kalau butuh uang harus kerja biar dia tau capeknya jadi adrian kayak mana
MANTAP GK THOR🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣😈