NovelToon NovelToon
Transmigrasi Sistem Si Pewaris Terkaya

Transmigrasi Sistem Si Pewaris Terkaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita
Popularitas:21.2k
Nilai: 5
Nama Author: Madya_

Lyra hanyalah gadis biasa yang hidup pas-pasan. Namun takdir berkata lain ketika ia tiba-tiba terbangun di dunia baru dengan sebuah sistem ajaib!

Sistem itu memberinya misi harian, hadiah luar biasa, hingga kesempatan untuk mengubah hidupnya 180 derajat. Dari seorang pegawai rendahan yang sering dibully, Lyra kini perlahan membangun kerajaan bisnisnya sendiri dan menjadi salah satu wanita paling berpengaruh di dunia!

Namun perjalanan Lyra tak semudah yang ia bayangkan. Ia harus menghadapi musuh-musuh lama yang meremehkannya, rival bisnis yang licik, dan pria kaya yang ingin mengendalikan hidupnya.

Mampukah Lyra menunjukkan bahwa status dan kekuatan bukanlah hadiah, tapi hasil kerja keras dan keberanian?

Update setiap 2 hari satu episode.

Ikuti perjalanan Lyra—dari gadis biasa, menjadi pewaris terkaya dan wanita yang ditakuti di dunia bisnis!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Madya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30. Kehangatan setelah badai

Pagi itu, udara di villa Starlight terasa begitu segar. Aroma kopi hangat dari dapur bercampur dengan harum bunga melati yang ditanam di balkon. Tirai besar tersibak perlahan oleh angin, menyingkap cahaya keemasan matahari yang jatuh ke lantai marmer. Lyra berdiri di dekat jendela kaca besar, rambutnya tergerai lembut, menatap hamparan kota yang baru saja terbangun. Suasana hatinya berbeda lebih ringan, lebih lapang seperti beban yang selama ini menekan pundaknya tiba-tiba runtuh semalam.

Zen bersuara di dalam pikirannya, nada lembutnya seakan ikut merayakan pagi itu.

(Ding, selamat Lyra mendapatkan sebuah gedung pencakar langit elite di pusat kota Jakarta. Lokasi strategis, nilai properti miliaran dolar, dan potensi pengaruh besar. Kau bisa menjadikannya markas pusat, kantor bisnis, atau bahkan simbol kekuatanmu.)

Lyra menarik napas panjang, jemarinya menyentuh permukaan kaca jendela yang hangat oleh sinar mentari. Matanya berkilat, seolah memantulkan mimpi-mimpi yang semakin nyata.

“Sebuah gedung pencakar langit… Zen, sepertinya aku akhirnya bisa melihat dunia dari atas. Selama ini aku selalu berjuang di bawah, melawan arus, menghadapi fitnah dan jebakan. Tapi sekarang, aku bisa berdiri di puncak, memandang semuanya dari perspektif yang berbeda.”

Zen tersenyum samar dalam keheningan batinnya, lalu menjawab dengan nada penuh keyakinan.

“Kau pantas mendapatkannya. Gedung itu lebih dari sekadar hadiah. Itu simbol bahwa setiap langkahmu mengangkatmu lebih tinggi, bukan hanya secara bisnis, tapi juga dalam hal pengaruh dan reputasi. Kau sudah membuat sekutu Kandiswara bertekuk lutut dengan tanganmu sendiri. Mereka yang dulu meremehkanmu sekarang hanya bisa menggertak lewat pesan gelap.”

Lyra tersenyum, memejamkan mata sejenak, menikmati sinar hangat di wajahnya.

“Aku bisa merasakan itu, Zen. Semalam aku menghancurkan satu musuh, dan pagi ini dunia seolah menyambutku dengan hadiah ini. Tapi… aku tahu permainan mereka belum berakhir. Ancaman di pesan itu… hanyalah awal dari babak baru.”

Zen berbisik pelan, hampir seperti nada doa.

“Benar. Tapi sekarang, kau memiliki benteng yang lebih kokoh, sayap yang lebih luas. Kau bukan lagi gadis yang hanya bertahan. Kau adalah pemain utama di papan catur ini.”

Lyra membuka matanya, meneguk sisa kopinya, lalu melangkah ke balkon villa Starlight. Angin pagi menerpa wajahnya, membawa aroma laut yang samar dari kejauhan. Ia menatap ke cakrawala, membayangkan gedung pencakar langit yang kini menjadi miliknya. Hatinya hangat, bukan hanya karena kemenangan, tapi juga karena harapan.

“Baiklah,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya penuh tekad. “Kalau mereka menungguku di Jakarta… maka aku akan datang bukan sebagai mangsa, tapi sebagai pemilik panggung.”

...----------------...

Saat Lyra keluar dari kamar, wangi gosong samar langsung menyergap hidungnya. Ada aroma telur yang terbakar bercampur dengan mentega, membuat alisnya terangkat. Ia melangkah ke dapur dan pemandangan pertama yang dilihatnya membuatnya nyaris tertawa terbahak.

Kai berdiri di depan kompor dengan wajah serius, spatula di tangan, sementara asap tipis mengepul dari wajan. Di atas permukaan besi panas itu, sebuah omelet setengah hangus tergeletak. Bentuknya… entah lebih mirip peta dunia yang retak atau guratan abstrak seorang pelukis modern.

Kai menoleh dengan senyum kaku.

"Pagi, Nona Lyra! Aku… euh… mencoba bikin omelet. Cuma… yah… bentuknya agak abstrak."

Lyra menutup bibirnya dengan tangan, menahan tawa yang ingin pecah. Ia lalu menarik kursi dan duduk dengan elegan di meja makan, matanya berbinar jahil.

"Kai, kalau kau jadi seniman abstrak, aku yakin kau akan sukses besar. Omeletmu bisa dipajang di galeri, bukan di piring."

Dari pintu, dua pengawal lain masuk sambil menahan tawa. Salah satunya berbisik cukup keras hingga Lyra mendengarnya.

"Jangan kaget kalau nanti kita semua keracunan massal."

Kai menoleh cepat, memasang wajah serius yang jelas-jelas pura-pura marah.

"Hei! Ini karya seni kuliner, bukan makanan beracun! Kalian hanya belum punya selera tinggi."

Gelak tawa pecah di dapur. Suasana yang biasanya kaku dan penuh kewaspadaan kini berubah ringan. Lyra menyandarkan dagunya di telapak tangan, membiarkan kehangatan itu meresap. Ada rasa aneh di dadanya bukan dari makanan, tapi dari momen kebersamaan sederhana yang sudah lama tak ia rasakan.

Tak lama kemudian, Bi Asih masuk sambil menggeleng-geleng, tangannya sudah cekatan meraih spatula dari genggaman Kai.

"Astaga, Kai. Dapur ini bukan studio seni. Sini biar Bi Asih masak."

Di belakangnya, Bi Reni membawa keranjang sayur segar. Ia ikut tertawa sambil mulai menyiapkan bahan.

"Kalau Kai yang terus masak, nanti bukannya sarapan sehat, malah kita harus panggil dokter."

Kai mendengus, menurunkan spatulanya dengan dramatis seakan seorang seniman yang karyanya tak dihargai.

"Kalian semua tidak mengerti… ini revolusi omelet."

Lyra akhirnya tak bisa menahan diri. Tawanya pecah, jernih dan hangat, membuat semua orang ikut tertawa lebih keras.

Lyra menatap mereka satu per satu Kai dengan tingkah polosnya, para pengawal yang tersenyum lega, dan Bi Asih serta Bi Reni yang sibuk di dapur. Senyum tipis terbentuk di wajahnya, bukan senyum karena kemenangan bisnis atau politik, tapi senyum karena ia merasa… seperti punya keluarga kecil yang selalu ada di sisinya.

Piring-piring segera tersaji di meja makan: omelet lembut berlapis sayuran, tumis buncis bawang putih yang masih mengepul hangat, dan sepiring tempe goreng renyah berwarna keemasan. Aroma gurih itu memenuhi ruangan, menggantikan total bau gosong yang tadi sempat bikin hidung mereka meringis.

Bi Asih meletakkan piring terakhir dengan ekspresi puas.

"Ini baru namanya omelet. Bukan lukisan horor."

Kai mendengus sambil menyendok nasi ke piringnya.

"Hmph, kalian terlalu kolot soal seni kuliner. Karya avant-garde-ku tidak pernah diapresiasi."

Pengawal lain langsung menimpali sambil tertawa.

"Kai, kalau itu benar-benar seni, seharusnya ditaruh di museum, bukan di tong sampah."

Tawa pecah lagi, membuat suasana makin hangat.

Lyra mengambil sepotong omelet buatan Bi Asih dan menaruhnya di mulut. Seketika matanya berbinar.

"Hmm… lembut sekali. Rasa sayurnya segar, dan bumbunya pas. Bi Asih, Bi Reni… kalian berdua harus buka restoran sendiri."

Bi Reni tertawa sambil menepuk bahu Bi Asih.

"Dengar tuh, Bi. Kalau Nona Lyra yang bilang, berarti memang enak beneran."

Salah satu pengawal lain ikut mencicipi dan bersuara heboh.

"Astaga, ini sihir! Rasanya jauh dari yang Kai masak tadi. Kita selamat, teman-teman!"

Kai menunjuk dengan garpu, pura-pura tersinggung.

"Hei! Jangan kira aku akan lupa semua hinaan kalian. Nanti giliran kalian yang aku masakin lagi."

Mereka semua menjerit pura-pura ngeri, membuat Lyra tertawa lagi sampai matanya berkaca-kaca. Ia menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan perasaan yang mengalir hangat di dadanya.

Di tengah meja yang ramai itu, ia menyadari satu hal meski hidupnya penuh dengan intrik, serangan musuh, dan permainan politik berbahaya… momen sederhana seperti ini adalah harta berharga. Duduk, makan bersama, tertawa… sesuatu yang mungkin tak pernah ia bayangkan bisa ia miliki lagi.

Lyra menghela napas perlahan, lalu tersenyum.

"Mungkin ini yang disebut sarapan kemenangan."

Semua menoleh pada Lyra, dan meski mereka tidak sepenuhnya mengerti maksudnya, senyum mereka melebar. Saat itu juga, meja makan bukan sekadar tempat makan, melainkan sebuah pengingat bahwa di balik segala badai, selalu ada rumah kecil yang bisa menjadi pelabuhan.

...----------------...

Setelah suasana hangat di ruang makan. Lyra kembali ke kamarnya dan membuka handphonenya.

Lyra mengerjap kaget.

“Apa-apaan ini…” jemarinya gesit men-scroll layar, dan matanya semakin membesar. “Astaga, trending nomor satu dunia lagi?”

Serena yang baru saja meletakkan cangkir teh di meja, langsung mencondongkan badan.

“Trending? Jangan bilang skandal lagi, aku bisa pingsan kalau drama semalam belum selesai.”

Lyra menelan ludah, lalu menunjukkan layar ponselnya. Foto dirinya dalam gaun biru tua semalam memenuhi feed, potret paparazi yang mengambil angle sempurna saat ia berjalan masuk aula dengan tatapan dingin, ditambah senyumnya yang samar namun menawan.

Lyra bersuara kecil, seperti tidak percaya, “Ini… ini bukan karena masalah, tapi karena fotoku?”

Serena memicingkan mata, lalu tertawa. “Bukan cuma foto. Lihat ini.” Ia meraih ponsel Lyra, membaca keras-keras komentar netizen.

“Lady Azure, sang es biru dari Timur.”

“Tatapan yang bisa membekukan ruangan, tapi senyum yang bisa menyalakan dunia.”

“Kalau ini novel, Lyra pasti heroine utama.”

Serena menepuk meja dengan tangan kosong, geli. “Heroine utama, Lyra! Kau sadar nggak, ini dunia nyata, bukan novel romantis yang sering aku baca?”

Lyra buru-buru menutupi wajahnya dengan kedua tangan, pipinya merona. “Astaga… Lady Azure? Itu julukan konyol sekali.”

Dari dekat pintu, salah satu pengawal, Zane, ikut terkekeh pelan sambil menyilangkan tangan di dada. “Konyol? Bagiku cocok. Semalam kau memang terlihat seperti bangsawan dingin yang baru turun dari istana.”

Pengawal lainnya, Arven, menimpali dengan senyum lebar. “Iya, jujur saja, waktu kau melangkah masuk dengan gaun biru itu… aku sampai lupa napas. Kalau aku saja terdiam, apalagi orang-orang asing di ruangan itu.”

Lyra menurunkan tangannya, menatap keduanya dengan pura-pura kesal. “Hei! Kalian kan harusnya jaga keamanan, bukan malah jadi komentator fashion.”

Zane berdeham. “Kami tetap menjaga. Tapi maaf, penampilanmu terlalu… mematikan.” Ia menambahkan lirih, “Dalam artian yang baik, tentu saja.”

Serena mengangguk cepat. “Benar. Kau itu seperti fenomena, Lyra. Satu sisi dingin, satu sisi hangat. Orang-orang tidak bisa berhenti membicarakanmu.” Ia kembali membaca komentar dari layar, kali ini dengan ekspresi dramatis. “‘Jika tatapan Lady Azure bisa dibotolkan, aku akan membeli ratusan untuk berjaga-jaga dari musim panas.’ Hahaha, lihat! Mereka bahkan mulai bikin lelucon absurd!”

Lyra memukul bantal sofa dengan wajah merah. “Aku tidak mau dengar lagi. Cukup!”

Namun Arven malah semakin jahil. “Kalau boleh jujur, aku lebih suka ‘Lady Azure’ daripada sebutan sebelumnya… apa itu… ‘si gadis kontroversi’.”

Serena mengangguk mantap. “Betul. Lady Azure punya aura elegan. Kalau aku jadi kau, aku akan menerimanya dengan bangga.”

Lyra menggertakkan gigi, lalu menghela napas pasrah. Senyumnya muncul meski ia berusaha menahannya. “Kalian semua sama saja… menyebalkan.”

Zane mencondongkan badan sedikit, suaranya lembut. “Tidak, Nona. Kami hanya bangga. Kau semalam bukan hanya mengalahkan musuh. Kau juga mengubah cara dunia memandangmu. Itu prestasi yang tidak bisa dibeli dengan uang.”

Lyra menatap mereka satu per satu Serena dengan matanya yang berbinar, Arven yang masih menahan tawa, dan Zane dengan tatapan tulus. Dadanya terasa hangat.

Ia menegakkan punggung, tersenyum tipis. “Baiklah, kalau begitu… Lady Azure siap menghadapi hari baru.”

Serena langsung bersorak kecil, “Hidup Lady Azure!” membuat semua orang di ruangan tertawa, termasuk Lyra sendiri yang akhirnya mengibaskan tangan sambil tertawa malu.

...----------------...

Langkah Lyra dan Duchess Aurellia beriringan menyusuri jalan setapak taman kota. Matahari siang menyinari dedaunan muda yang berkilau kehijauan, dan angin musim semi mengibaskan rambut Lyra yang tergerai ringan di bahunya.

Aurellia menggandeng lengannya pelan, seperti seorang kakak perempuan yang tak ingin melepaskan adiknya dari dekapan dunia.

"Aku masih tidak percaya caramu menghadapi Valente," ucap Aurellia, matanya bersinar. "Kau begitu tenang, padahal semua orang siap menghakimimu."

Lyra tersenyum samar, jemarinya menyentuh pucuk bunga lavender di tepi jalan. "Mungkin karena aku sudah melihat akhir permainan mereka sebelum mereka sempat mulai. Semua itu hanyalah bidak dalam papan catur."

"Aku tahu," Aurellia tertawa kecil. "Tapi tetap saja... caramu memutar balik keadaan, membuat seluruh ruangan membisu... itu luar biasa."

Lyra hanya menghela napas ringan. Hatinya memang sedang damai, tetapi Aurellia tiba-tiba mencondongkan badan sedikit, seolah berniat membisikkan sesuatu yang lebih pribadi.

"Kau tahu," suara Aurellia menurun lembut, "Saat itu, di tengah semua kegaduhan... ada seseorang yang tidak pernah melepaskan matanya darimu."

Lyra berhenti sejenak, menoleh, alisnya berkerut bingung. "Maksudmu siapa?"

Aurellia mengangkat senyumnya, penuh arti. "Alessandro."

Hening singkat jatuh di antara mereka. Langkah Lyra terhenti, jantungnya berdebar pelan, meski wajahnya berusaha tetap netral. Ia mengingat kembali sorot mata itu mata kelabu dingin Alessandro yang menembus kerumunan, menatapnya seakan hanya dirinya yang ada di ruangan itu.

"Aku... aku pikir dia hanya penasaran," kata Lyra lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin. Jemarinya meremas gaunnya pelan, sebuah tanda kecil bahwa hatinya bergetar lebih keras dari yang ia ingin tunjukkan.

Aurellia tersenyum makin lebar, seakan membaca isi hati Lyra. "Kalau hanya penasaran, ia tidak akan terus berdiri di sisi ruangan, menunggu setiap kata yang keluar dari bibirmu. Kau tahu bagaimana tatapan orang yang kagum, kan? Itu berbeda dengan tatapan seorang investor yang sekadar menghitung untung rugi."

Lyra menunduk, bibirnya sedikit bergetar, lalu menghela napas. "Aku tidak tahu... aku sudah terbiasa dengan tatapan meremehkan, sinis, atau penuh kepentingan. Tapi... tatapannya..." ia terdiam, mencari kata yang tepat, "terasa berat. Seperti... ada sesuatu di balik dinginnya."

Aurellia menepuk tangannya dengan lembut. "Persis. Itulah yang kulihat. Kau berhasil menyentuh sisi dirinya yang jarang ditampakkan. Kau harus tahu, Alessandro bukan pria yang mudah kagum, apalagi pada orang baru. Tapi semalam, aku melihatnya dia bukan hanya mengamati. Dia melindungimu dengan tatapannya."

Lyra terdiam lama, menatap hamparan bunga liar yang bergoyang ditiup angin. Hatinya bercampur aduk antara rasa hangat yang menyusup perlahan dan kewaspadaan yang selalu ia genggam.

"Kalau benar begitu," ujarnya akhirnya dengan nada samar, "aku tidak tahu apakah itu sebuah kekuatan... atau justru ancaman baru."

Aurellia tertawa kecil, namun sorot matanya tajam. "Kau selalu berpikir dua langkah ke depan, Lyra. Tapi kali ini, izinkan dirimu merasa. Setidaknya, sekali saja."

Lyra tersenyum tipis, tapi di balik senyuman itu, dadanya bergemuruh. Untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa Alessandro bukan hanya sekadar pengamat asing. Ia memperhatikannya, bahkan ketika seluruh dunia mencoba menjatuhkan.

Dan kesadaran itu... entah mengapa terasa lebih menegangkan daripada seluruh konspirasi Kandiswara.

...----------------...

Malam itu udara terasa lembut. Tirai tipis bergoyang pelan tertiup angin, membawa aroma bunga dari taman hotel. Lyra berbaring di ranjang besar berseprai putih, tubuhnya masih menyimpan sisa adrenalin dari pertempuran di aula. Kemenangan itu manis, namun keheningan setelahnya membuat hatinya penuh dengan perasaan campur aduk.

Zen berbisik lembut di kepalanya, suara yang hanya ia bisa dengar.

“Lyra, aku tahu kau puas menghancurkan sekutu Kandiswara hari ini. Tapi ada hal lain yang tak kalah penting. Hidup bukan hanya soal kemenangan atau dendam.”

Lyra menoleh ke samping, menatap cahaya lampu kota dari balik jendela. “Aku tahu, Zen. Tapi terkadang aku merasa seolah aku sedang berjalan di atas pedang. Satu langkah salah, dan semua yang kubangun bisa runtuh.”

“Benar,” jawab Zen dengan nada tenang. “Tapi justru karena itu kau harus ingat sisi manusiamu. Jangan biarkan hatimu membeku. Tertawa bersama Hera, berbincang hangat dengan para pengawalmu, merasa malu karena tatapan seseorang… itu bukan kelemahan, Lyra. Itu sumber kekuatanmu.”

Lyra terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Aku ingat pernah melihat Alessandro menatapku di aula, Zen. Ada sesuatu di matanya. Bukan sekadar kekaguman… entah apa. Dan anehnya, aku malah merasa canggung. Rasanya seperti aku ini… ya, hanya gadis biasa.” Ia tertawa kecil. “Padahal, aku tahu semua orang melihatku sebagai sosok besar sekarang.”

Zen menanggapi dengan suara sedikit hangat. “Itu yang kumaksud. Kau boleh jadi pemimpin, pebisnis, bahkan ancaman bagi keluarga Kandiswara. Tapi kau tetap manusia, Lyra. Kau masih punya hak untuk merasa malu, untuk tersipu, untuk… jatuh cinta.”

Lyra menghela napas panjang. “Jatuh cinta, ya? Dunia ini terlalu berbahaya untuk itu.”

“Tapi bahaya justru membuat cinta jadi lebih berharga,” sahut Zen cepat, seperti membaca isi hatinya. “Jangan menutup pintu itu hanya karena takut. Ingat, selama masih ada tawa dan orang-orang yang peduli, kau akan tetap menjadi dirimu.”

Lyra menutup mata, membiarkan kata-kata Zen meresap. Ada hangat yang tumbuh di dadanya, sesuatu yang lebih manis dari kemenangan. “Terima kasih, Zen. Kau selalu tahu cara menarikku kembali saat aku hampir tenggelam dalam ambisi.”

Zen terkekeh kecil. “Itu tugasku. Aku adalah sistem, tapi aku juga… temanmu.”

Lyra tersenyum, kali ini lebih tulus. “Ya. Kau temanku. Dan selama aku punya teman, aku tak akan pernah benar-benar sendirian.”

Lampu kota terus berkelap-kelip, seolah ikut mendengar percakapan mereka. Untuk malam itu, Lyra membiarkan dirinya merasa damai. Tidak ada rencana, tidak ada strategi hanya ia, Zen, dan dunia yang tiba-tiba terasa lebih indah.

1
Evi Yana
kpan up lg thor ?
Anita Dewi13
/Determined//Smile//Angry//Proud/
Ressah Van Germ
sebaiknya jgn terlalu banyak menampilkan drama para pengawal, yg nbnya adalah robot, agar tidak merusak alur/ mengurangi kesukaan pembaca.
Ressah Van Germ
gimana mau komen kalo dibuat tegang terus kyk gini? 🤭💪
Ressah Van Germ
masih binun, zen ini nama sistem, tp apa berwujud manusia spt para pengawal jg?
Ressah Van Germ
sorry gak s4 komen...
lagi asyik ngikuti alurnya..🤭💪
Ressah Van Germ
sayangnya ga ada ktrampilan beladiri/ kekuatan fisik, apa belum ya?
Ressah Van Germ
coba mampir, sapatau sesuai harapan
...
Ken Dita Yuliati
tegaaanggg bacanya dan deg-degkan tau taunya nunggu bab selanjutnya.....,
Lala Kusumah
tegaaaanng degdegan banget 😵‍💫🫣🫣😵‍💫
Grey Casanova
udah tamat kah?
Lala Kusumah
cepat hempaskan mereka Lyra 💪😍😍
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTAN@RM¥°🇮🇩
pembantu/asisten rumah tangga
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTAN@RM¥°🇮🇩
hai kak mampir
Lala Kusumah
tegaaaanng 😵‍💫😵‍💫🫣🫣
Lala Kusumah
kereeeeeennn Lyra 👍👍👍
Lala Kusumah
siaaap, lanjutkan 👍👍👍
Lala Kusumah
kereeeeeennn n hebaaaaaatt Lyra 👍😍💪😍
Mimi Johan
Bagus sekali ceritanya
Lala Kusumah
siap lanjutkan Thor 🙏🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!