Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. Segelas Es Buah
Hujan di pagi hari memang selalu berhasil membuat banyak orang kalang kabut. Seperti Nurma hari ini, ia menggerutu sepanjang pagi dari sejak bangun dan sadar bahwa hujan dari semalam belum juga reda.
“Dimas, pastiin kakakmu berangkat naik taxi online ya. Jangan sampai kena air hujan. Mama gak bisa antar, ada pesanan bucket yang harus mama antar pagi ini.”
Nurma bersiap diri setelah selesai sarapan dan bergegas menuju garasi.
“Iya ma, khawatir banget sih ama kakak. Dimas gak dikhawatirin nih?”
Dimas pura pura merajuk, manja. Membuat Nurma yang sudah membuka pintu hendak melangkah keluar masuk lagi ke dalam rumah. Tersenyum kearah putranya yang masih asik menyantap nasi goreng di meja.
“Sini, mama peluk.”
Nurma memeluk putranya yang duduk dari belakang. Mencium kepalanya dengan sayang.
“Terimakasih banyak nak. Kamu memang bener-bener anak yang baik. Anak yang selalu bisa mama andalkan. Adik yang hebat. Sehat sehat ya sayang.”
Nurma mencium lagi kepala anaknya. Dimas hanya terkekeh dalam pelukan, merasa senang bisa menggoda ibunya.
“Kalau gitu bagi cepék dong.”
Goda Dimas yang membuat ibunya menoyor pelan kepala anaknya itu. Dimas hanya tertawa.
“Mama hati-hati nyetirnya ya.”
Dimas berseru. Nurma hanya mengangkat ibu jarinya dan berlalu menuju garasi.
“Kak, buruan! Lama banget sih? Lu dandan apa gali sumur?”
Karina tak menjawab. Membuat adiknya kesal menunggu. Dimas yang kembali menyantap sarapannya teringat akan pencariannya kemarin sore, saat ia ditugaskan oleh kakaknya untuk mencari alamat toko kue pengirim parcel ibunya. Lalu teringat juga dengan pak Bewok. Ia merenung sejenak. Apa yang akan ia sampaikan kepada Karin? Apakah perlu untuk mengatakan semuanya. Namun Dimas sendiri belum yakin untuk menceritakan dengan terus terang.
“Dim, lu yang pesen taxi online ya.”
Karina muncul bergegas ke meja makan, menyambar sandaran kursi dan menariknya sedikit untuk memberi ruang dirinya duduk.
“Hmm. Kaya gak biasanya gue yang pesen.”
Dimas hanya melirik kakaknya yang telah menikmati sarapan dengan buru-buru.
“Pelan-pelan aja napa sarapannya. Gak-gak kalau gue minta.”
Dimas menatap kakaknya heran. Ini masih pagi, jarak rumah ke sekolahnya tidak terlalu jauh. Dan tidak ada daerah rawan kemacetan yang mereka lewati. Namun Karina tampak begitu tergesa gesa.
“Gue mau ngobrol penting ama Nia, keburu bel masuk.”
“Ya elah kak. Gak abis abis bahan obrolan kalian? Kalian kan ketemu tiap hari.”
Karin melirik kesal. Mulutnya penuh dengan nasi goreng yang sedang ia kunyah, membuatnya tak berselera untuk menjawab adiknya.
“Ya udah abisin sarapannya, gue pesen taxi dulu.”
Dimas berdiri, diikuti tatapan kakaknya dengan dahi yang mengerut seolah akan mengatakan sesuatu, hanya saja mulutnya terlalu penuh untuk berbicara.
“Ambil Hp di kamaaarr...”
Dimas menjelaskan sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Karina, seolah ia tau maksut dari ekspresi Karina.
Dimas berjalan cepat menuju kamarnya, lalu segera ia memesan taxi online dari ponselnya.
“Gue tunggu diluar ya. Gue pesen sekarang taxinya.”
Dimas berlalu melewati kakaknya yang masih menghabiskan sepiring nasi goreng buatan ibunya.
“Lu masih utang laporan ke gue Dim!”
Karin berseru setelah menelan habis sarapannya.
“Tar pulang sekolah gue critain.”
Jawab Dimas tanpa menoleh.
**
Dimas mempercepat langkah kakinya siang itu. Menyusuri trotoar yang masih basah sisa hujan dari semalam hingga menjelang siang tadi. Semenjak naik transjakarta dari halte depan sekolahnya hingga turun sampai halte dekat toko bunga ibunya, pikiran Dimas merasa penat. Dipenuhi begitu banyak hal yang sangat sulit untuk ia mengerti.
Langkah kakinya berhenti beberapa meter dari gerobak jualan pak Bewok. Dari jauh ia mengamati pak Bewok yang sedang melayani pembeli. Nanti, tunggu ia selesai melayani pembeli, batinnya.
Pak Bewok yang sedang melayani dua orang pembeli, bukan tidak melihat Dimas. Dari ekor matanya, ia tahu bahwa ada yang sedang memperhatikannya. Seorang pemuda dengan baju putih biru, berdiri sedikit bersembunyi, dengan setengah badan yang terhalang tiang lampu di pinggir jalan.
Pak Bewok tersenyum, ia tahu bahwa anak laki-laki itu adalah Dimas.
“Terimakasih pak.”
Seorang pembeli menerima bungkusan plastik dan memberikan beberapa lembar uang kepada pak Bewok, yang menerima dengan senyum ramahnya.
“Sama-sama kak.”
Balas pak Bewok.
Dua pembeli selesai dilayani. Pak Bewok membersihkan meja gerobaknya dengan lap kain lembab, matanya sedikit melirik ke arah Dimas, yang nampak masih bersembunyi.
Pak Bewok diam-diam menunggu anak laki-laki itu menghampirinya. Ia tersenyum.
Dimas melangkah ragu. Satu dua langkah lalu mundur lagi. Menimbang-nimbang. Maju, atau mundur saja. Matanya belum terlepas dari sosok laki-laki yang jalan terpincang dibelakang gerobak, sibuk membereskan gerobak dagangannya.
Dimas menarik nafas dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Memantapkan hatinya untuk menghampiri pak Bewok. Ada banyak hal yang harus ia dapatkan jawabannya, hari ini juga. Ya, harus. Dimas melangkah maju. Meyakinkan diri bahwa apapun jawaban yang akan dia dapatkan, ia akan mampu menerima itu.
“Kok dari tadi diam disana Dimas?”
Pak Bewok membuat Dimas kaget dengan pertanyaannya. Ternyata pak Bewok melihatnya sejak tadi.
“Dagangannya belum habis pak?”
“Tinggal sedikit. Lima gelas lagi habis. Duduklah disini. Bapak buatkan satu buat nak Dimas.”
“Saya bukan mau beli es buah pak.”
Dimas masih berdiri, menatap pak Bewok dengan canggung.
“Bapak tau. Bapak buatkan buatmu.”
Pak Bewok meracik satu gelas es buah untuk Dimas tanpa menunggu persetujuannya. Dimas terdiam. Ia sebetulnya masih bingung harus memulai pertanyaanya dari mana.
“Pak,”
Dimas masih memperhatikan pak Bewok yang tak menoleh mendengar panggilannya.
“Bapak, Dimas mau tanya sesuatu ke pak Bewok.”
“Duduklah dulu. Bicara nanti saja kalau kamu sudah lebih tenang.”
Pak Bewok menyodorkan satu gelas es buah kepada Dimas. Minuman favoritnya yang sangat menggoda. Dimas menatap gelas itu, meneguk liurnya membayangkan nikmatnya es buah kesayangannya, disaat matahari mulai menunjukan gagahnya setelah seharian terhalang awan kelabu.
“Duduklah. Redakan dulu hausmu. Bapak selesaikan beres-beres sebentar.”
Dimas menerima gelas itu, sedetik kemudian sudah disibukan dengan kuah manis nan segar. Pak Bewok tersenyum melihat anak itu yang sumringah menyantap es buah racikannya.
***