Jika perselingkuhan, haruskah dibalas dengan perselingkuhan ...
Suami, adalah sandaran seorang istri. tempat makhluk tersebut pulang, berlabuh dan tempat penuh kasih nan bermanja ria juga tempat yang sangat aman.
Namun, semua itu tak Zea dapatkan.
Pernikahannya adalah karena perjodohan dan alasannya ia ingin melupakan cinta pertamanya: Elang. teman kecilnya yang berhasil meluluh lantahkan hatinya, yang ditolak karena sifat manjanya.
Namun pernikahan membuat zea berubah, dari manja menjadi mandiri, setelah suaminya berselingkuh dengan wanita yang ternyata adalah istri dari teman kecilnya.
Haruskah zea membalasnya?
Ataukah ia diam saja, seperti gadis bodoh ...
Novel ini akan membawamu pada kenyataan, dimana seorang wanita bisa berubah, bukan saja karena keadaan tapi juga karena LUKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan sebenarnya.
Beberapa hari kemudian ...
Langit pagi ini begitu indah, aku bisa merasakan hangatnya matahari tapi semua terasa hampa. Hanya ada angin yang berhembus menyentuh kulitku, tak ada tangan yang bisa kupegang saat ini, aku hanya bisa memegang tanganku sendiri.
Seseorang menghampiriku, membawakan sesuatu yang menggantung ditangannya. Dari jauh kulihat ia masih seperti dulu, wajah tampan itu masih saja membuatku terpana. Namun, seketika itu ucapan mantan suamiku semalam terlintas kembali.
"Perceraian kita dilakukan secara verstek, itu semua adalah karena Elang mengancamku. Itu saja yang harus kamu tahu."
"Benarkah Elang melakukan itu?" gumamku.
Rasanya tak percaya ia akan melakukannya, disaat aku berada diambang hidup dan mati. Padahal aku sudah menyiapkan segalanya, ternyata Tuhan mempermudahku untuk bisa lepas dari mas Reza lewat Elang.
Tapi, kenapa ia membantuku untuk bercerai dari Reza?
Padahal bisa saja aku koma selamanya atau pada akhirnya aku mati, sehingga semua itu tak perlu dilakukan.
"Kamu disini ternyata?" ucap Elang, yang sudah didepan mataku sekarang.
Ia menutupi tubuhku dengan cardigan rajut berwarna burgundi, warna yang mengingatkan aku pada masa hujan-hujanan bareng sepulang sekolah. Saat itu aku sakit flu dan dia yang menjagaku, karena orang tua kami pergi keluar kota.
Sialnya, aku mendadak mengingat hal yang gila. Kami tak sengaja jatuh dari tangga dengan posisi berciuman dan itu adalah ciuman pertamaku.
Aku memejamkan mataku, lagi dan lagi kemunculan Elang membuat otakku ngelag. Mengingat masa itu rasanya jadi pahit.
"Ngapain kesini lagi?" tanyaku sinis,
"Kamu terlihat sudah lebih baik sekarang, sepertinya besok juga bisa pulang. Aku akan katakan pada doktermu nanti," katanya sok peduli.
Aku memutar bola mataku, muak.
"Iya, lebih baik pulangkan saja, aku tak mau menambahkan beban kamu juga pake uang kamu terus," gerutuku, aku memutar kursi rodaku untuk meninggalkannya.
Tapi, bukannya muak karena sikapku atau setidaknya membiarkan aku pergi, lelaki itu malah menghalangiku untuk pergi. Aku membelok dan ia kembali menghalangi, aku kembali kearah yang tadi dan lagi-lagi ia menghalangiku.
Bibirnya tersenyum manis, seperti sang Elang yang puas mendapatkan mangsanya.
"El, kamu apa-apaan, sih. Minggir!" geramku.
Alih-alih minggir, dia malah berdiam diri menjadi penghalang kemana aku ingin pergi.
Ia duduk berjongkok dihadapanku, merapikan anak rambutku lalu menyelipkannya pada daun telingaku. Seperti yang pernah Elang lakukan padaku dulu, saat sebelum aku menyatakan cinta padanya.
Perhatian seperti ini saja mampu membuat jantungku berdegub kencang, tapi ini bukan cinta satu rasa melainkan sepihak. Perasaan ku tak pernah terbalaskan dan kami masih saling tatap, makin lama makin membuatku menderita oleh rasa yang tak dianggap.
Aku mengalihkan pandanganku, tapi ia justru terkekeh pelan.
"Kamu masih seperti dulu, Ze. Kamu imut dan juga ... cantik," ucapnya dengan mata yang penuh damba.
Ia menggenggam jemariku, namun segera aku tarik.
"Lebih baik jelaskan sama ibu tentang hubungan kita, aku gak mau dia makin salah paham. Juga kamu tenang saja aku akan ganti uang kamu, setelah aku punya uang," ucapku menggenggam tanganku menyembunyikannya dari Elang.
"Emang kamu siap buat kerja lagi?" tanya Elang.
Aku baru memikirkan itu, aku tanya pada diriku sendiri. Apa aku bisa bekerja dikantor dengan kaki lumpuh ini?
Kulihat kakiku, entah kapan aku bisa jalan lagi?
Rasanya seperti mimpi yang tak pernah bisa tergapai dengan mudah bahkan terbilang mustahil.
"Beneran kamu gak pecat aku?" tanyaku memastikan perkataannya waktu itu.
Elang mengangguk, "Iya, posisi kamu masih kosong." ujarnya.
"Ok, besok lusa aku mau kerja. Tapi, aku butuh kendaraan yang bisa antar jemput aku kekantor. Bagaimana?" ucapku.
"Gak masalah, aku akan siapkan semuanya," ujar Elang dengan senyum yang tak bisa kubaca, kala aku ingin masuk kerja lagi demi bisa bayar utang ku padanya bekas perawatan selama di Rumah sakit.
Anehnya yang kupikirkan, aku merasa seperti masuk kedalam jebakan yang terlihat murni akan setiap waktu kejadian yang sudah tersusun rapi.
........
Malam harinya ...
Aku yang tengah melihat catatan pekerjaanku mendengar suara ketukan pintu. Aku sudah pulang dan sedang berada dirumah ibuku, kami tinggal bersama sedangkan rumah bekasku yang menjadi kenangan saat tinggal bersama mas Reza, sudah ibu kontrakan pada orang lain.
Kudengar suara tante dibjo yang datang kerumah kami, sepertinya sendirian karena hanya suaranya dan suara ibuku yang bisa kudengar dari ruang tamu.
Aku mengabaikannya, karena aku sendiri pun sibuk untuk mempersiapkan pekerjaan besok lusa.
Ibu masuk kekamarku, "Zea, ada ibunya Elang kemari, ayo temui dia!"
Aku mengangguk, menghentikan pekerjaanku dan ibuku mendorong kursi rodaku hingga keruang tamu. Kulihat tante dibjo tersenyum, ia memang cantik menawan dan masih muda.
"Gimana keadaan kamu, Ze?" tanyanya.
"Baik tante," jawabku tersenyum seramah mungkin.
"Kata Elang, kamu akan kerja lagi di Perusahaan kami. Jadi tante bawain ini buat kamu." Tante memberikan paperbag kecil padaku.
"Ayo dibuka!" kata mamah Elang itu.
Aku membukanya, ternyata isinya sebuah ponsel bermerk apel digigit, Handphone mahal yang dipakai para sultan. Aku terkejut, karena ini terlalu berlebihan.
"Tante, Maaf. Aku gak bisa terima, ini terlalu mahal buat aku," aku ingin menolaknya, karena memang harganya yang bisa mencapai puluhan juta per unit sangat tak cocok dengan kondisiku yang sekarang.
"Tante mohon terima, kalau enggak Elang nanti marah. Gaun waktu itu juga sangat cocok sama kamu, Elang marah kalau tante ganti gaunnya dengan yang lain." Ibunya Elang tersenyum.
Aku tak paham, sungguh.
"Maksud tante?" tanyaku meminta beliau menjelaskan detailnya.
"Itu loh, gaun yang kamu pake saat ultahnya Elang. Itu Elang yang beliin tapi minta review tante, tante juga pengen dan minta dia beliin buat tante aja, ternyata dia kasih buat kamu. Sayangnya gaunnya cuma satu, tapi tante senang deh kalian bisa berteman lagi kayak dulu," tutur tante Dibjo.
Aku mematung, jadi gaun itu emang Elang yang beliian bukan mamanya. Aku pikir bukan Elang yang belikan, jadi aku salah paham selama itu.
"Tante, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku.
"Apa aja boleh, mau tanya soal Elang atau apapun juga gak masalah," sahutnya.
"Anu, kenapa Elang dan Alana berpisah?" tanyaku, aku ingin tahu apa alasannya karena selingkuh atau memang ada alasan lain.
Kulihat raut muka ibunya Elang berubah, seolah tak ingin membahas masalah yang masih hangat bagiku atau memang ada sesuatu yang tak aku tahu.
"Sebenarnya, mereka itu dijodohkan. Elang sama Alana, ya ... terpaksa ngikut aja karena keinginan para papanya untuk berbesanan. Tapi, ternyata Alana gak bisa lupain mantan pacarnya jadilah seperti itu," kata Tante Dibjo.
dia diancam apa sehingga seorng Reza akhirnya menalak Zea disaat sedang koma??