Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan emosi
Siang itu cukup terik, namun suasana hati Camelia terasa jauh lebih dingin dan hampa dari cuaca di luar sana. Ia tak pernah membayangkan bahwa seseorang yang bukan bagian dari keluarganya justru datang dengan kepedulian yang begitu tulus.
Beberapa saat sebelum ia turun dari kamarnya, seorang maid muda bernama Sari mengetuk pintu pelan.
“Masuk,” ucap Camelia pelan dari balik selimut tebal yang membungkus tubuhnya.
Sari membuka pintu perlahan. “Non, maaf mengganggu. Di bawah ada tamu... mohon maaf, saya lupa namanya. Tapi tadi Mbak Rara bilang, dia teman kampus Non Camelia.”
Camelia mengerutkan kening. Teman kampus? batinnya. “Giovani?” gumamnya pelan.
Siapa lagi kalau bukan lelaki jangkung itu? Hanya Giovani yang sempat menjalin interaksi dengannya belakangan ini.
Tanpa berkata apa pun, Camelia langsung bangkit dari ranjang. Ia melepas selimut dan melangkah turun, masih mengenakan piyama burgundy dan plester kompres di keningnya. Langkahnya tergesa, seperti ingin segera memastikan tebakan hatinya benar.
Begitu sampai di ruang tengah, matanya langsung menangkap sosok yang tengah duduk di sofa. Giovani tampak kikuk, matanya sibuk mengamati interior rumahnya yang luas. Seketika, senyum tipis mengembang di wajah Camelia, dan jantungnya berdetak sedikit lebih hangat.
“Maaf ya, lama,” ucapnya pelan saat berdiri di samping sofa.
Giovani sontak menoleh, lalu berdiri cepat. “Mel, kamu sakit?” tanyanya dengan sorot khawatir.
Camelia mengangguk kecil sambil tersenyum, lalu duduk di sisi sofa. “Duduk, Gio,” katanya, memberi isyarat agar Giovani kembali duduk.
“Sakit apa?” tanya Giovani cemas.
“Demam... sama bapil,” jawab Camelia.
“Habis minum es, ya?” tebak Giovani sambil menaikkan sebelah alis.
Camelia terkekeh. Ada tawa dalam matanya, seolah rasa sakitnya memudar hanya karena kehadiran satu orang ini. Rasanya hampir tak masuk akal. Tapi Camelia bisa merasakannya—bahwa ia sedang benar-benar dianggap.
“Omong-omong, kok kamu tahu rumahku?” tanya Camelia, memiringkan kepala penasaran.
“Tau dong, Giovani~” jawabnya bangga. Namun sedetik kemudian ia teringat sesuatu. “Oh iya, hampir lupa,” ucapnya sambil mengangkat kantong kresek bening yang sedari tadi ia genggam erat. “Maaf ya, Mel. Mungkin menurutmu nggak seberapa, tapi ini oleh-oleh buat kamu. Tadi aku pilih yang ada bungkusnya, biar higienis. Warungnya juga bersih, kok... sumpah.”
Camelia menatap kantong itu dengan rasa ingin tahu. Lalu matanya membulat senang saat melihat isi di dalamnya. “Donat, ya?” serunya antusias.
Tanpa basa-basi, ia membuka kresek itu dan segera mengambil satu. Ia menggigit dengan lahap, pipinya menggembung karena penuh.
“Hm! Enak banget, Gio. Beli di mana?” tanyanya dengan mulut masih penuh.
Giovani menatapnya tak percaya. Ini anak nggak makan setahun apa gimana sih? batinnya. “Mel, pelan-pelan makannya. Aku nggak minta, kok,” katanya khawatir.
Camelia terkikik, “Tau aja aku suka donat.”
“Itu... tadi beli karena dikasih tahu Pak Sena. Katanya kamu suka donat.” ujar Giovani jujur.
Sepersekian detik kemudian, Camelia langsung terbatuk. “Uhukk! Uhukkk!”
Beberapa maid yang berdiri agak jauh segera berlari menghampiri sambil membawakan air mineral.
“Ini, Non, minum dulu,” ucap salah satu maid.
Camelia menyambar gelas itu dan langsung meneguknya. Giovani hanya bisa duduk canggung, khawatir tapi tak tahu harus berbuat apa. Ingin menepuk punggungnya pun rasanya tak pantas.
“Tadi... apa kamu bilang?” tanya Camelia setelah tenang. Suaranya lebih pelan.
“Pak Sena. Alamat rumahmu juga aku tahu dari beliau.”
Detik itu juga, ekspresi Camelia berubah. Senyum tadi sirna. Ia meletakkan kantong kresek donat di sampingnya.
“Mel, kenapa? Kok tiba-tiba bad mood gitu?” tanya Giovani heran.
Camelia menggeleng, mencoba tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Cuma nggak nyangka aja kamu nyempetin waktu buat jenguk aku. Jujur... selama aku hidup, baru kali ini ada orang yang benar-benar peduli.”
“Mel, kok gitu ngomongnya?” ucap Giovani lembut.
“Itu fakta, Gio. Bahkan mungkin kalau aku tiba-tiba menghilang atau mati, nggak akan ada yang nyariin...” kata Camelia, terkekeh pelan. Tapi tawanya tak terdengar bahagia.
“Mulai saat ini, aku harus tahu, kamu nggak boleh berpikir kayak gitu. Kita teman, kan?” ucap Giovani serius.
Camelia menatap matanya. “Ya... kita teman,” bisiknya. Lalu tersenyum lebih tulus. “Dan sekali lagi, makasih ya. Donatnya enak banget.”
Giovani tersenyum kecil. “Syukurlah kamu suka.”
“Omong-omong, bagaimana keadaan ibumu?” tanya Camelia, lebih tenang.
Giovani menarik napas. “Ya gitu deh, Mel. Tapi doain beliau panjang umur, ya. Biar bisa lihat anaknya ini lulus... dan datang ke wisudanya nanti.”
Camelia menatapnya dalam. Lalu ia mengangguk pelan, tulus. “Aku doakan.”
Ruangan itu kembali sunyi, dan Camelia duduk bersandar menatap kresek donat yang kini terbuka di atas sampingnya. Tak ada kartu ucapan, tak ada pesan, hanya sekantong kresek donat kecil dengan topping sederhana dan aroma manis yang entah kenapa terasa sangat hangat di dada.
Giovani datang dengan jaket yang sedikit basah oleh peluh, membawa kehangatan dan donat, kemudian berkata. “Itu... tadi beli karena dikasih tahu Pak Sena. Katanya kamu suka donat.”
‘Katanya.’
Kata itu bergema pelan dalam benak Camelia. Bukan 'aku', tapi 'katanya'.
Bibirnya mengatup. Rasa donat itu biasa saja, tidak istimewa, tapi membuat matanya panas, bukan karena rasa, tapi karena perhatian yang terselip ragu, ia tidak tahu apa maksud sebenarnya.
Kenapa bukan orang itu sendiri yang datang? Kenapa harus melalui orang lain? Apakah karena semua sudah tahu, aku Malika? Sehingga ia enggan datang kesini?
Pertanyaan-pertanyaan itu menari di benaknya, saling bersahutan. Tapi ia tidak berniat mencari tahu jawabannya.
Camelia, ia tahu ada banyak hal yang tidak akan pernah bisa ia tanyakan secara langsung. Karena mungkin jawabannya pun tidak ingin diberikan. Tapi satu hal yang ia tahu pasti, meski bukan dari tangannya langsung, perhatian itu cukup membuat dadanya sesak.
Satu rasa yang ia benamkan jauh-jauh, kini perlahan tumbuh, meski ia sendiri belum tahu, apakah ia ingin membiarkannya hidup atau segera mematikan sebelum tumbuh lebih jauh.
......................
Memang, apa salahnya merayakan kesendirian dan kesunyian seorang diri? Menangis diam-diam, hanya mengadu pada malam yang tak pernah menghakimi. Camelia masih bersyukur karena diberi kehidupan, tetapi tidak pada kesendirian yang selalu mengikutinya seperti bayangan.
Banyak orang mengidam-idamkan kekayaan, ingin bisa membeli apapun yang mereka mau. Tapi Camelia justru sebaliknya. Ia muak. Bahkan saat ini, yang ia inginkan bukan lagi barang mahal, melainkan pelukan yang tulus. Ia ingin pergi jauh, bukan liburan, tapi benar-benar lenyap dari dunia yang terasa terlalu sempit untuk hatinya yang sesak.
Terlebih, teman virtual yang telah beberapa bulan menemani dan membuatnya merasa tidak sendirian, kini juga telah menghilang. Gray, sosok asing yang mampu membaca isi hatinya hanya dari pesan-pesan singkat. Kini hilang, tanpa pamit.
Andai malam itu aku nggak mengiyakan ajakan Gray … andai aku nggak pernah tahu kalau Gray itu Sena, batinnya tercekat.
Mungkin, malam ini ia bisa menangis sepuasnya. Tapi bahkan untuk bernapas pun rasanya berat. Ada beban yang menggantung di dadanya, tak terlihat, tapi nyata. Camelia menengadah ke langit-langit kamar yang remang, seakan bertanya kepada Tuhan.
Tuhan, kenapa Kau memberiku takdir sepicik ini? Sampai kapan aku harus bertahan sendiri seperti ini?
Hatinya menjerit dalam diam. Camelia menunduk, memeluk lutut yang ia tekuk rapat, membiarkan air mata jatuh perlahan di antara bisu yang panjang.
“Gray … aku kangen.” gumamnya pelan, seperti bisikan untuk semesta.
Kali ini, Camelia jujur pada dirinya sendiri. Ia rindu. Bahkan jika itu berarti merindukan Sena. Karena kini ia tahu, Gray adalah Sena. Tapi hatinya tidak merindukan Sena yang dikenal di dunia nyata. Hatinya merindukan sosok Gray, bayangan yang ia temukan di balik layar yang mendengar, memahami, dan tak pernah menghakimi.
Dengan Gray, Camelia bisa menjadi dirinya sendiri. Bisa meluapkan luka yang selama ini mengendap dan kehilangan Gray terasa seperti kehilangan bagian dari jiwanya yang tenang. Kini, yang tertinggal hanyalah sunyi dan Camelia hanya bisa memeluk malam yang dingin.
......................
Hari-hari yang berat, bahkan malam-malam panjang, tak membuat Sena mampu memejamkan matanya. Ia lebih sering duduk termenung di ruang tamu, membiarkan waktu berlalu tanpa melakukan apa pun.
Rindu.
Satu kata penuh makna yang kini menyelimuti hatinya. Beberapa hari tak menyapa Camelia atau dirinya sebagai Gray, terasa seperti ada satu keping puzzle yang hilang dari hatinya.
Hampir seperti orang gila, Sena terus bertarung dengan isi kepalanya sendiri. Memikirkan Camelia yang selalu membuatnya candu, tetapi kini justru terasa seperti zat adiktif yang bisa meracuni dirinya pelan-pelan.
"Mel, aku rindu. Bolehkah aku menjengukmu? Memelukmu?" gumamnya lirih.
Sena tidak pernah berniat menjauh dari Camelia, meski kini ia tahu bahwa gadis itu adalah sosok di balik nama Malika. Namun, hatinya belum cukup kuat. Ia takut. Khawatir akan penolakan, bahkan sebelum sempat mengucapkan niat.
......................
Pagi itu, saat Sena hendak berangkat ke kampus untuk memenuhi kewajibannya sebagai dosen, pikirannya masih dipenuhi oleh bayang-bayang Camelia.
Apa hari ini dia akan hadir? Atau masih absen? pikirnya sambil membenarkan lengan kemejanya yang tampak sedikit kusut.
Ting!
Suara notifikasi ponsel yang tergeletak di nakas samping tempat tidur membuatnya menoleh cepat. Karena mengira pesan itu penting, Sena buru-buru meraih ponsel dan membuka layar.
Mama: Sena, nanti pulang dari kampus datang ke rumah, ya. Ada yang mau Mama bicarakan sama kamu.
Sena membaca pesan itu dengan alis mengernyit. Ada apa, ya? batinnya.
Alih-alih membalas, ia segera menutup layar pesan dan membuka kontak adiknya, Jeno. Tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol telepon.
“Halo, Jeno...” sapanya sesaat setelah panggilan tersambung.
“Iya, Mas, ada apa?” jawab Jeno dari seberang.
“Di rumah oke?” tanya Sena.
“Oke, Mas. Emangnya kenapa?” tanya Jeno, terdengar bingung.
“Ah, nggak apa-apa. Cuma tanya aja. Ya udah, Mas mau berangkat ke kampus dulu.”
Setelah itu, panggilan berakhir.
Berarti memang nggak ada apa-apa. Kalau ada yang penting, Jeno pasti kasih tahu. Ini dia nggak bilang apa-apa, gumamnya, mencoba berpikir positif.
Sebab selama ini, setiap kali ada hal yang tidak beres, Jeno selalu menjadi orang pertama yang memberitahunya. Termasuk ketika Sasa—mantan kekasihnya—dengan tiba-tiba datang ke kampus, Jeno langsung mengabarkannya tanpa menunggu waktu.
......................
Suasana Universitas Avanya tampak seperti biasanya, ramai dan padat oleh mahasiswa yang berlalu-lalang dengan semangat pagi. Sena, dosen muda yang menjadi favorit banyak mahasiswa, baru saja datang dan memarkirkan mobilnya di area parkir dosen. “Selamat pagi, Pak Sena.” sapa salah seorang mahasiswi cantik dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan.
Ya, seperti itulah pagi seorang Sena—selalu disambut ramah, meski diam-diam ia merasa risih dengan sikap beberapa mahasiswa yang terkesan ‘menggoda’ dirinya.
Meskipun begitu, ia tetap memilih untuk membalas semuanya dengan hal positif, cukup dengan senyuman yang hangat. Tak hanya sapaan dan perhatian, hadiah-hadiah kecil seperti setangkai bunga dan coklat pun menjadi pemandangan biasa di meja kerjanya.
Seperti pagi ini, beberapa kotak kecil berpita, tiga coklat batangan, dan beberapa bunga mawar tampak memenuhi mejanya, bersanding dengan tumpukan dokumen yang sukses membuat kepalanya terasa berat.
“Hm, selalu kayak gini.” gumam Sena sembari mulai merapikan meja kerjanya.
Namun, tenang saja, hadiah-hadiah itu tidak dibuang—hanya disisihkan agar tidak mengganggu ruang kerjanya, sedangkan bunga-bunga mawar akan ia simpan di pojok ruangan untuk mempercantik suasana.
Ia tahu benar rasanya ditolak dan dibuang begitu saja, dan karena itu pula, Sena selalu berusaha menghargai setiap bentuk pemberian, sekecil apa pun itu, sebab baginya, menjaga perasaan orang lain adalah hal yang penting—terutama bagi mereka yang mungkin diam-diam menaruh harap, walau ia sendiri tak pernah benar-benar membalasnya.
Beberapa jam setelahnya, dalam sibuknya pekerjaan, berkali-kali ponselnya berdering yang membuat Sena berdecak kesal. Sebab, ia paling tidak suka jika ada yang mengganggu kerjanya. Di layar, nama yang muncul membuatnya makin jengah. “Sasa,” gumamnya pelan, menahan kesal.
“Mau apa lagi sih dia?” Meski berat, akhirnya Sena menjawab panggilan itu.
“Akhirnya diangkat juga,” kata Sasa dari seberang dengan nada ceria.
“Ada apa? Aku jam segini itu sibuk, Sa. Tolong ngertiin kesibukan orang lain dong,” kata Sena, berusaha menahan kekesalan.
“Tapi kamu angkat juga kan, Mas?” sahut Sasa sambil tertawa kecil. “Iya iya, maaf,” lanjutnya, mencoba terdengar manis. Sena memilih diam, tak ingin memperpanjang percakapan.
“Jadi, nanti malam bisa, kan?” tanya Sasa tiba-tiba.
“Apanya?” Sena mengernyit bingung. “Loh, Mama Rumi nggak bilang toh, Mas? Nanti kita dinner,” jelas Sasa santai.
Deg!
Tubuh Sena seketika tertegun. Jadi ini alasan Mama menyuruhnya pulang? Hanya untuk makan malam? Batinnya mulai panas.
“Mas?” panggil Sasa, menyadari hening dari seberang.
“Kayaknya aku nggak bisa datang. Aku sibuk.” jawab Sena singkat.
Tut.
Telepon pun terputus sepihak. Sena menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas panjang dan mengusap wajahnya. Ia berusaha mengendalikan emosi yang mulai meletup. Ia benar-benar marah karena Sasa lagi-lagi berulah.
Sena tahu pasti, ini semua hanya cara Sasa mencari simpati dari ibunya lagi. “Sabar, sabar.” ucapnya pada diri sendiri, sambil mengelus-elus dadanya seolah tengah menenangkan badai kecil di dalam hati.