Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan orang yang sangat ia sayangi, membuat seorang Fiorella harus merelakan sebagian kebebasan dalam kehidupannya.
"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya ditempat itu, kamu tenang saja. Gajinya sangat cukup untuk kehidupan kamu."
"Pengasuh? Apakah bisa, dengan pendidikan yang aku miliki ini dapat bekerja disana bi?."
"Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Dio, yang mereka lihat adalah kenerja nyata kita."
Akhirnya, Fio menyetujui ajakan dari bibi nya bekerja. Awalnya, Dio mengira jika yang akan ia asuh adalah anak-anak usia balita ataupun pra sekolah. Namun ternyata, kenyataan pahit yang harus Fio terima.
Seorang pria dewasa, dalam keadaan lumpuh sebagian dari tubuhnya dan memiliki sikap yang begitu tempramental bahkan terkesan arogan. Membuat Fio harus mendapatkan berbagai hinaan serta serangan fisik dari orang yang ia asuh.
Akankah Fio bertahan dengan pekerjaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Era Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCC. 30.
Kekacauan yang terjadi dalam perusahaan Mega Satya, telah diketahui oleh Elio sejak sebelum ia mengalami kecelakaan. Hanya saja, saat itu ia masih disibukkan dengan hubungannya bersama dengan Arabella yang selalu memintanya untuk menemani.
Dan kini, setelah semuanya ia lalui. Elio perlahan mulai bangkit kembali untuk mengurus perusahaan nya yang telah cukup lama ditinggalkan, karena terlalu lama membiarkan para pelaku akan membuat perusahaan nya semakin kacau.
"Ambil kursimu dan bawa kemari." Elio memberikan perintah kepada Fio.
"Baik tuan, ada yang lain lagi?" Tanya Fio.
"Huh, apa salahnya menurut saja Fio." Langsung Elio menatap Fio dan menghela nafasnya.
"Siapa tahu, ada yang lainnya tuan. Biar sekalian jalan." Fio tidak ingin harus mondar mandir, karena Elio seperti sedang mengerjainya.
Isyarat tangannya yang melayang di udara, membuat Fio segera mengerjakannya. Awalnya Fio ragu akan apa yang diperintahkan oleh Elio padanya, namun ternyata. Pria itu memberikan arahan serta contoh untuk Fio dalam mengerjakan tugasnya, Fio pun dengan cepat menyerap arahan tersebut.
Dibantu oleh Max, yang dimana memang saat itu Elio sedang membutuhkan segera laporan mengenai perusahaannya.
"Tuan, apa tidak istirahat dulu?" Karena sudah sangat lama mereka mengerjakan laporan yang ada, suara perut pun sudah terdengar.
"Jam berapa?" Tanya Elio yang masih fokus.
Max melihat ke arah jam tangan yang ia kenakan, terlihat waktu menunjukkan pukul tiga sore. Itu tandanya, mereka sudah melewatkan jam istirahat siang.
"Jam tiga, tuan. Wah, pantas saja cacing diperutku sudah memberontak. Pesan makanan kan tuan?" Max menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang ia tempati.
Elio tidak langsung memberikan jawaban, hanya saja. Keduanya nampak seperti sedang menunggu sesuatu, yang kemudian terjadi adalah keduanya saling bertatapan satu sama lain.
"Apa tuan?" Max menangapi tatapan itu.
"Mana Fio?" Elio mencari keberadaan wanita itu dengan kedua matanya.
"Ah iya, kelupaan ada nona Fio. Lah, dimana dia? Perasaan tadi ada di meja ini, tapi kemana ya?" Max pun kaget karena Fio tidak terlihat.
Mereka mengira jika Fio terlalu fokus dengan tugas yang diberikan oleh Elio, akan tetapi mereka tidak sadar kalau Fio tidak berada disana.
"Cari max." Ucapan bernadakan kepanikan, membuat suasana menjadi sedikit tegang.
"Ya ampun, kemana tu anak. Kok nggak kira ya dia hilang begini, nona Fio." Max memanggil Fio dan mencari keberadaannya.
Sedangkan Elio, pria itu menggerakkan kursi rodanya mencari keberadaan Fio. Setelah beberapa waktu, tidak sengaja roda dari kursi roda itu menyentuh sesuatu. Hingga membuat roda itu tidak bisa berputar, dan terlihat kedua kaki manusia disana.
"Fio!" Elio menemukan keberadaan wanita itu.
Max mendengar nama itu dipanggil, segera ia menghampirinya. Alangkah sungguh romantisnya pemandangan yang Max lihat saat itu, jika orang tidak tahu. Maka, keduanya akan dikira sebagai pasangan kekasih atau sebagai suami dan istri.
Maksud dari apa yang Max lihat adalah, dimana Elio tanpa sadar turun dari kursi rodanya dan kini ia berada di lantai. Lalu ia meraih tubuh Fio yang ternyata sudah tergeletak di lantai, tepat dibelakang kursi yang semula ia tempati.
"Hei, bangun!" Elio menepuk-nepuk pipi Fio.
Tubuh Fio terasa dingin, ternyata disaat kedua pria itu terlalu fokus mengerjakan berkasnya. Fio sendiri sudah merintih dengan menahan rasa perih di perutnya, Fio memiliki riwayat asam lambung yang cukup berat. Melalaikan dan melewatkan jam untuk makan, maka rasa sakit itu mulai menyerang tubuhnya.
Tangan Elio terus menepuk-nepuk pipi Fio, berharap wanita itu segera membuka kedua matanya. Max menyusul dengan membawa sebotol kecil minyak angin dan memberikannya kepada Elio, tidak tahu sudah berapa banyak ia memberikan cairan itu.
"Mmm, perih." Suara halus terdengar.
"Hei, bangun." Elio menyadari suara itu berasal.
Sementara itu, Max sudah merinding saat melihat botol berisikan minyak angin itu sudah habis. Dari aroma yang terhirup dari indera penciumannya saja sudah begitu menyengat, apalagi itu menyentuh kulit manusia.
Perlahan kedua mata Fio terbuka, terasa begitu perih dan membuat wajahnya seperti menebal.
"Tuan, bisa jaga jarak?" Fio sadar akan jarak yang terjadi diantara mereka berdua.
"Kenapa?" Kening itu berkerut.
"Nanti ada yang salah menilai, tuan Max. Bisa bantu?" Fio malah mengulurkan tangannya pada Max untuk meminta bantuan.
Cukup hening sesaat, hati Elio terasa sangat begitu perih ketika mendengar perkataan itu. Sungguh aneh, perasaan yang dulu pernah ia rasakan pada saat masih bersama Arabella. Namun, ketika melihat penolakan dari Fio dan memilih untuk meminta pertolongan pada Max. Tanpa disadari, tangan Elio menepis tangan Max yang hendak membantu Fio.
"Eh..." Max kaget.
"Jauhkan tanganmu itu, kamu duduk saja disini. Max, hubungi dokter perusahaan untuk datang kemari." Titah Elio.
"Ngapain panggil dokter, tuan?" Max melirik Elio.
Tukh!
"Ya!! Kenapa enteng bener tu tangan main pukul, sakit ni kepala." Tangan itu mengusap kepala yang terasa sakit.
"Lama-lama, otakmu semakin lamban. Cepat sana." Elio meninggikan suaranya.
"Iya iya, huh. Untung saja tuan itu bosnya, kalau nggak sudah saya pelintir tangannya." Max merutuki sikap Elio padanya.
"Max!!"
"Iya! Siap." Max langsung kabur dari amukan Elio.
Sementara itu, Fio memilih menyandarkan tubuhnya pada dinding dibelakangnya. Kedua matanya terpejam, dan kedua tangannya menekan perutnya yang masih terasa perih.
"Kamu sakit? Kenapa tidak bilang, hah? Kalau begini kan menyusahkan saja, aish!" Elio mengomeli Fio tanpa tahu yang sebenarnya.
"Sstthh, anda berisik sekali tuan." Kepala Fio ikut pusing ketika mendengar omelan dari pria dihadapannya.
"Apa kamu bilang, hah!"
"Aaaa, ssshhh." Fio semakin merintih, membuat Elio menjadi semakin panik.
"Kenapa lama sekali, Max. Sebenernya, kamu ini kenapa?" Tanya Elio dengan sedikit panik.
Tak sanggup untuk menjawabnya, Fio memilih diam saja. Karena berbicara apapun pada Elio, hanya akan membuatnya kesal dan lebih memilih untuk mengabaikannya hingga Max datang.
Dan benar saja, ketika Max tiba bersama salah satu dokter perusahaan. Ia segera membantu Fio untuk segera diperiksa dan membawa Fio berbaring di ruangan pribadi milik Elio. Aneh, karena Elio tidak akan pernah membiarkan orang lain masuk ke dalam ruangan peribadinya. Bahkan disaat ia masih bersama Arabella dahulu, tapi kini berbeda.
"Tuan, tuan sakit?" Tanya Max yang sudah membantu Elio kembali di kursi rodanya.
"Apa maksudmu, hah? Jangan asal bicara yang tidak-tidak, kamu semakin kurang ajar Max." Elio semakin geram.
"Itu tuan, itu. Mmmm apa ya, tuan ada perasaan sama nona Fio?" Akhirnya, pertanyaan yang sudah ditahan itu terungkapkan.
Elio terdiam mendengarnya, tidak ingin membantah atau mengiyakan ucapan tersebut. Bagi Elio saat ini, ia juga tidak bisa menilai perasaan yang sedang ia rasakan. Akan tetapi, ada sebuah perasaan yang masih belum ia ketahui jawabannya.
...Apa iya yang dikatakan Max itu? Ah, mana mungkin aku menyukai dia. Elio....