ADRIAN PRATAMA. Itu nama guru di sekolah gue yang paling gue benci. Karena apa? Karena dia udah membuka aib yang hampir tiga tahun ini gue tutup mati-matian.
“Dewi Mantili. Mulai sekarang kamu saya panggil Tili.”
Nyebelin banget kan tuh orang😠 Aaarrrrggghhh.. Rasanya pengen gue sumpel mulutnya pake popok bekas. Dan yang lebih nyebelin lagi, ternyata sekarang dia dosen di kampus gue😭
ADITYA BRAMASTA. Cowok ganteng, tetangga depan rumah gue yang bikin gue klepek-klepek lewat wajah ganteng plus suara merdunya.
“Wi.. kita nikah yuk.”
Akhirnya kebahagiaan mampir juga di kehidupan gue. Tapi lagi-lagi gue mendapati kenyataan yang membagongkan. Ternyata guru plus dosen nyebelin itu calon kakak ipar gue😱
Gue mesti gimana gaaeeesss???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anger
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Nenden terkejut melihat Dewi sudah kembali ke rumah, padahal waktu masih belum tengah hari. Dewi mendekati Nenden kemudian mencium punggung tangannya.
“Kok sudah pulang?”
“Iya, bu. Hari ini cuma try out aja, terus disuruh pulang. Mulai besok libur, minggu tenang sampai ujian.”
“Oh gitu. Ya udah ganti baju dulu sana.”
Dewi segera masuk ke dalam rumah. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju kamar untuk berganti pakaian. Tak lama dia keluar dengan mengenakan pakaian rumah dan kembali ke teras, menemui sang ibu yang sedang melayani pembeli.
“Gimana bu, loteknya laku?”
“Alhamdulillah.”
Nenden memindahkan campuran sayuran dengan bumbu kacang ke dalam kertas nasi kemudian membungkusnya. Setelah mengikat dengan karet lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik. Tak lupa dia memasukkan kerupuk yang terbungkus plastik putih kemudian menyerahkan pada pembelinya.
“Berapa bu?”
“Sepuluh ribu.”
Pembeli lotek tersebut mengeluarkan sejumlah uang yang dimaksud kemudian meninggalkan tempat tersebut. Nenden menutup kembali dagangannya kemudian mengajak Dewi duduk di teras.
“Neng.. kamu sudah putuskan mau kuliah di mana begitu lulus nanti?” Nenden membuka pembicaraan.
“Masih aku pikirin, bu. Ada beberapa universitas yang masuk daftar pilihan sih.”
“Eh bukannya kalau kamu masuk 10 besar bisa ngajuin ke universitas negeri lewat jalur prestasi?”
Sebenarnya Nenden memiliki otak yang encer saat sekolah dulu. Dia sempat ditawari masuk kuliah lewat jalur prestasi di salah satu universitas yang ada di kota Yogyakarta. Namun sayang karena keterbatasan biaya, dia terpaksa menolaknya.
“Ada bu, tapi di luar Jawa Barat semua. Aku ngga mau, kalau aku merantau, nanti yang bantu ibu siapa?”
“Emang kamu mau ambil jurusan apa nanti kuliah?”
“Pengennya komunikasi, bu.”
“Daftar aja ke Unpad. Ibu yakin kamu bisa lolos tesnya, kamu kan pintar, neng.”
“Ngga ah, bu. Kalau komunikasi itu kuliahnya di Jatinangor. Aku kan ngga mungkin bolak balik kuliah, kalau kost malah biaya lagi. Mending aku kuliah di universitas swasta aja, yang penting bisa dekat sama ibu terus.”
“Kamu yakin, neng?”
“Yakin, bu.”
“Kalau itu maumu, ibu akan dukung. Kuliah bisa di mana saja, yang penting sesuai dengan minat kamu dan serius menjalaninya.”
“Aamiin..”
Nenden tersenyum melihat Dewi yang kini bersikap lebih dewasa sejak ditinggal suaminya. Sejujurnya, dia bersyukur Dewi memutuskan tetap tinggal dengannya alih-alih mengambil kuliah di kota lain yang jauh darinya. Dengan begitu, dia bisa tetap mengawasi dan menjaga amanat suaminya itu.
“Bu.. ibu punya nomer hp Riska ngga?”
“Riska?”
“Iya. Itu yang diselamatin bapak.”
“Pu.. punya. Kamu mau apa neng?” terdengar sedikit kecemasan dalam nada suaranya.
“Aku mau telepon dia, bu. Mau minta maaf, soalnya waktu itu aku udah ngomong kasar sama dia. Padahal itu bukan salah dia juga. Dia juga sama terpukulnya kaya kita. Pasti terus dilanda perasaan bersalah walau ibu udah memaafkannya.”
“Masya Allah, neng. Ibu bangga sama kamu. Ini, telepon aja pake hp ibu.”
Nenden merogoh saku celemeknya dan mengeluarkan ponsel miliknya kemudian memberikan pada Dewi. Dengan cepat gadis itu membuka ponsel tersebut kemudian mengirimkan nomor Riska ke ponselnya.
“Biar pake hp Dewi aja, bu. Biar kita bisa terus komunikasi. Siapa tahu kita bisa jadi teman nantinya.”
Dalam hati Nenden tidak henti mengucapkan kalimat syukur melihat sikap sang anak. Entah siapa yang telah berhasil memberikan penerangan pada gadis semata wayangnya itu. Namun dalam hati wanita itu hanya terbetik nama Adrian saja.
“Assalamu’alaikum. Benar ini dengan Riska?” terdengar suara Dewi setelah Riska menjawab panggilannya.
“Waalaikumsalam. Iya betul, maaf ini dengan siapa?”
“Ini aku, Dewi. Anaknya pak Herman.”
“Oh.. De.. Dewi. A.. ada apa ya?” nada suara Riska terdengar gugup begitu mendengar nama Dewi, anak dari pria yang mengorbankan hidup demi menyelamatkan dirinya.
“Ngga ada apa-apa. Aku cuma mau minta maaf sama kamu. Maaf ya, waktu itu aku emosi dan ngomong macem-macem sama kamu. Harusnya aku ngga bilang begitu. Bukan salahmu juga bapakku sampai meninggal. Soal kamu yang naik angkot bapak, memang itu sudah diatur Allah. Maaf ya, Ris. Aku harap kamu ngga terus merasa bersalah.”
Hati Nenden seperti dibasahi embun pagi, terasa begitu sejuk mendengar kata-kata sang anak. Begitu pula dengan Riska. Gadis itu hanya tergugu mendengar ucapan Dewi, ada perasaan lega dan bahagia.
“Seseorang bilang sama aku, kalau apa yang bapak lakukan bukan untuk menyelamatkanmu, tapi bapak sedang menyelamatkanku. Bapak berharap dengan menolongmu, maka Allah akan mengirimkan seseorang untuk menolongku kalau aku berada dalam kesulitan.”
“Dewi.. kamu baik banget,” terdengar suara Riska dari seberang yang mulai serak. Gadis itu tak bisa menahan rasa haru hingga menangis.
“Jangan nangis, Ris. Aku tulus minta maaf sama kamu. Aku harap ke depannya hubungan kita tetap baik. Mungkin aja kita bisa jadi teman baik.”
“Iya, Wi. Makasih. Aku senang punya teman baru sebaik kamu.”
“Kapan-kapan kita ketemuan ya. Jalan atau ngobrol bareng.”
“Iya, Wi. Aku save nomer kamu, ya.”
“Ok.. eh udah dulu, ya. Assalamu’alaikum..”
“Waalaikumsalam.”
Percakapan keduanya berakhir. Wajah Dewi nampak tersenyum setelahnya. Perasaannya lega begitu menyelesaikan kesalahpahaman dengan Riska.
“Memang siapa yang bilang ke kamu, neng?”
“Bilang apa bu?”
“Itu soal bapak nyelamatin Riska sama dengan bapak nyelamatin kamu.”
“Oh itu.. pak Adrian yang bilang.”
“Oh wali kelas kamu nu kasep tea (yang cakep itu).”
“Kasepak kuda kali, bu.”
“Hahaha… ulah kitu neng. Ngke kumaha mun bogoh? (Jangan gitu neng. Nanti gimana kalau suka?).”
“Ish amit-amit jabang bayi,” Dewi mengetuk buku jarinya ke meja di dekatnya.
Nenden menggelengkan kepalanya sambil tak henti tersenyum melihat tingkah anaknya. Percakapan keduanya terhenti ketika kedatangan seorang pembeli. Nenden segera kembali ke meja dagangannya dan Dewi ikut untuk membantu.
🌸🌸🌸
Dewi baru saja selesai menunaikan ibadah shalat dzuhur ketika terdengar notifikasi di ponselnya. Sebuah pesan dari Riska baru saja masuk. Dengan cepat Dewi membukanya. Dia terkejut membaca pesan tersebut.
From Riska :
Wi.. siang ini ada reka adegan kasus bapakmu di TKP
Awalnya Dewi ingin membalas pesan itu, namun karena tidak sabar, akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi langsung. Tak sampai deringan kedua, Riska langsung menjawab panggilannya.
“Halo Wi..”
“Di mana TKP nya?”
“Di jalan Bahureksa.”
“Loh kok angkot bokap bisa nyasar sampe ke sana?”
“Ngga tau juga, Wi. Waktu itu aku lagi nyari ojek yang lewat, soalnya udah dua kali orderan aku dibatalin. Kamu tahu sendiri daerah situ kan sepi. Angkot juga ngga ada yang lewat. Makanya aku heran pas lihat angkot bapakmu. Malah bapakmu yang nawarin aku naik.”
“Ehmm.. mungkin bapak abis dapet borongan. Ya udah aku ke sana deh, pengen lihat reka adegannya. Kamu ke sana juga?”
“Ngga, Wi. Jujur aku masih trauma.”
“Ngga usah kalau masih trauma. Makasih ya infonya.”
Dewi segera mengakhiri panggilannya. Bergegas dia masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Sebenarnya tujuan gadis itu datang bukan untuk melihat reka adegan. Tapi dia ingin melihat secara langsung wajah orang yang sudah menghabisi nyawa bapaknya. Tak sampai sepuluh menit, gadis itu sudah siap. Dia menghubungi ojek langganannya untuk mengantarnya ke sana.
“Neng.. mau kemana?” tegur Nenden yang melihat sang anak nampak tergesa.
“Mau ke jalan Bahureksa, bu.”
“Mau ngapain?”
“Mau lihat reka adegan kasus bapak.”
“Ya Allah, ngga usah neng,” Nenden berusaha mencegah.
“Dewi mau lihat bu, orang yang udah tega nusuk bapak sampai meninggal.”
“Ya, Allah, neng. Neng.. neng..”
Dewi tak mempedulikan panggilan ibunya. Gadis itu segera naik ke belakang motor yang ditunggangi Sanip, ojek langganannya. Nenden hanya bisa terpaku melihat kendaraan roda dua itu membawa pergi anaknya. Dia lalu tersadar dan mengambil ponselnya. Segera saja wanita itu menghubungi Adrian. Untung saja wali kelas Dewi itu pernah meninggalkan nomor ponselnya pada Nenden.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.. maaf pak, ini dengan ibunya Dewi.”
“Oh ibu Nenden. Ada apa bu?”
“Maaf pak. A.. apa saya bisa minta tolong?”
“Apa itu bu?”
“Dewi pak.. Dewi sekarang sedang pergi ke TKP tempat bapaknya ditusuk. Kataya mau lihat reka adegan di sana. Saya takut pak, kalau Dewi khilaf dan mengamuk.”
“Di mana lokasinya bu? Biar saya susul ke sana.”
“Kalau tidak salah di jalan Bahureksa.”
“Baik, bu. Saya akan langsung susul Dewi sekarang.”
“Terima kasih, pak. Maaf sudah merepotkan.”
“Tidak apa-apa bu. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Panggilan segera berakhir begitu Adrian memutuskan panggilannya. Nenden memeluk ponselnya erat, berharap sang wali kelas berhasil menemukan Dewi dan mencegahnya melakukan tindakan yang mungkin bisa membahayakan dirinya.
🌸🌸🌸
Jalan Bahrureksa merupakan salah satu jalan terkenal yang ada di kota Bandung. Jalan ini terkenal karena di salah satu rumah ini terdapat mobil ambulance fenomenal yang sempat menggegerkan warga kota Bandung. Konon katanya mobil tersebut selalu kembali ke rumah tersebut walau sudah dipindahkan berkali-kali. Saking fenomenalnya sampai diangkat ke layar lebar.
Banyak anak muda yang menyukai hal mistis sering mengunjungi rumah tersebut. Ingin melihat langsung mobil ambulance yang katanya berhantu itu. Suasana mencekam juga mendukung karena sepanjang jalan tersebut memang ditumbuhi pohon besar nan rindang. Ditambah jarang sekali kendaraan berlalu lalang dan bukan rute trayek angkot, membuat jalan tersebut cukup menyeramkan.
Kondisi siang ini berbanding dengan keadaan sehari-hari. Banyak orang yang sudah berkumpul untuk menyaksikan reka adegan yang akan dilakukan dua tersangka pembunuhan Herman. Dewi yang baru saja tiba, langsung menyeruak ke tengah kumpulan penonton untuk melihat dari baris terdepan.
Matanya menatap nanar saat kedua tersangka itu memperagakan adegan saat memukuli Herman, dengan salah satu anggota polisi sebagai peraganya. Di leher petugas itu tergantung papan nama yang terbuat dari karton yang bertuliskan nama sang ayah.
Dewi tak bisa menahan airmatanya ketika melihat salah satu tersangka tersebut menusukkan pisau mainan ke perut aktor peraga Herman. Emosinya seketika bangkit, membayangkan bagaimana kesakitannya sang ayah saat menerima tusukan tersebut. Gadis itu tiba-tiba menerobos pita kuning sebagai pembatas dan langsung merangsek pada dua orang tersebut.
“Brengsek!!!”
BUGH
Sebuah tendangan mendarat di perut tersangka yang tengah memegang pisau mainan. Kemudian Dewi juga menendang tersangka yang lainnya, hingga keduanya terjatuh. Tentu saja hal tersebut memicu kehebohan. Seorang petugas segera menghalangi Dewi, mencoba menarik gadis itu menjauh.
Didorong perasaan marah dan sedih yang terpendam di alam bawah sadarnya, tiba-tiba saja kekuatan Dewi jadi berkali lipat. Petugas polisi tersebut tak kuasa menahan Dewi yang terus memberontak. Dia kembali menghampiri sang tersangka dan menghujani keduanya dengan pukulan dan tendangan yang dia kuasai dari hasil berlatih taekwondo selama empat kali pertemuan.
“Amankan gadis itu!!” seru pemimpin yang bertugas. Namun Dewi terus mengamuk dan melancarkan serangannya. Bahkan dua orang petugas yang mencoba mencegahnya juga terkena pukulan dan tendangannya.
Adrian yang baru saja tiba, bergegas menuju kerumunan begitu mendengar keributan. Secepat kilat dia merangsek pada Dewi kemudian menahan pergerakan anak didikya itu. Dewi yang kalap berusaha melawan Adrian. Sebisa mungkin Adrian menangkis pukulan Dewi tanpa menyakitinya. Kemudian dengan cepat dia memeluknya.
“Lepas!!! Lepas!!!”
Adrian tak melepaskan pelukannya, didekapnya erat gadis itu hingga Dewi kehabisan tenaga. Kemarahan Dewi kemudian berubah menjadi tangisan. Dengan pelan Adrian mengusap punggung gadis itu.
“Tenangkan dirimu. Emosi seperti ini hanya akan merugikan dirimu,” ujar Adrian pelan.
Setelah merasakan Dewi sudah bisa menguasai dirinya, pria itu mengurai pelukannya. Adrian kemudian meminta maaf pada semua petugas dan membawa Dewi pergi dari sana. Dia membukakan pintu mobil dan meminta Dewi untuk masuk.
Saat Adrian duduk di belakang kemudi, nampak Dewi hanya duduk mematung dengan mata menatap lurus ke depan. Adrian mendekat lalu memasangkan sabuk pengaman ke tubuh gadis itu. Tak lama kemudian, dia segera melajukan kendaraan meninggalkan tempat kejadian perkara.
Selama dalam perjalanan tidak ada perbincangan sama sekali. Dewi sudah seperti patung saja. Bahkan dia tidak tahu kemana Adrian membawanya. Lima belas menit kemudian mobil yang dikendarai Adrian berhenti di depan Dojang Hero.
“Ayo turun,” ucapan Adrian membawa kembali kesadaran Dewi.
Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, gadis itu mengikuti saja ketika Adrian membawanya masuk ke dalam dojang. Doni yang terkejut melihat kedatangan Adrian dan Dewi tak berani menanyakan apapun begitu melihat wajah serius mereka. Keduanya segera melangkah naik ke lantai dua.
“Pakai ini,” Adrian menyodorkan dobok di tangannya.
Dewi menerima dobok tersebut kemudian berjalan menuju ruang ganti. Saat dia kembali ke tempat latihan, Adrian sudah berada di sana dengan mengenakan doboknya. Keduanya berdiri berhadapan.
“Sekarang serang saya.”
“Apa?”
“Serang saya. Anggap saja saya adalah orang yang sudah menyiksa dan menusuk bapakmu. Bayangkan saya yang memegang pisau dan menusukkannya ke perut bapakmu. Bayangkan kalau saya yang sudah membuat bapakmu meregang nyawa. Bayangkan saya adalah pembunuh bapakmu!!
“Aaaaaarggghhhh!!!”
Terpancing mendengar kata-kata Adrian, emosi Dewi kembali berkobar. Gadis itu langsung merangsek dan menyerang Adrian dengan membabi buta. Tak ada perlawanan sama sekali dari Adrian. Pria itu membiarkan Dewi menjadikannya samsak hidup untuk melampiaskan semua amarahnya. Pukulan dan tendangan mendarat di tangan, kaki, perut hingga dadanya. Namun Adrian bergeming.
Doni yang penasaran naik ke atas. Pria itu tertegun melihat pemandangan di depannya. Pria itu kembali ke lantai dasar karena tak ingin mengganggu keduanya. Dan Dewi terus saja melampiaskan amarahnya dengan memukuli Adrian, sampai akhirnya gadis itu terjatuh karena kehabisan tenaga.
Dewi jatuh terduduk dengan nafas memburu dan keringat bercucuran. Selain kelelahan, tangannya juga terasa nyeri. Tubuh Adrian yang tegap membuat tangannya juga terasa sakit ketika melayangkan pukulan ke tubuh pria itu.
Adrian menuju sudut ruangan lalu mengambil sebotol air mineral dingin dari dalam chiler. Dia kembali ke tempatnya semula sambil memijat lengan dan dadanya yang terasa sedikit nyeri akibat pukulan Dewi. Walau masih pemula, namun emosi tinggi yang melingkupi gadis itu membuat tenaganya menjadi lebih besar dan kuat.
Pria itu mendudukkan diri di samping Dewi seraya menyodorkan minuman di tangannya. Dewi mengambil botol plastik tersebut, kemudian menghabiskan isinya sampai setengah. Adrian terus memperhatikan wajah gadis di sampingnya.
“Bagaimana perasaanmu? Sudah puas atau masih mau melakukannya?”
Tak ada jawaban dari Dewi, gadis itu hanya terdiam seraya menundukkan kepalanya. Dia tak berani menatap Adrian yang tengah melihatnya dengan mata tajamnya. Nyalinya seketika hilang begitu pria itu mulai bersikap serius.
“Saya tahu bagaimana perasaanmu, kamu pasti marah melihat reka adegan yang membuat bapakmu meninggal. Wajar kalau kamu emosi. Tapi sikap kamu yang membabi buta seperti tadi sama sekali tidak menguntungkanmu. Jika sesuatu terjadi pada mereka, maka kamu sendiri yang akan menanggung akibatnya. Apa kamu pikir dengan caramu tadi bisa mengembalikan bapakmu? Apa kamu pikir bapakmu senang melihatmu seperti itu? Orang yang hebat bukanlah orang yang bisa mengalahkan musuhnya, namun orang yang bisa mengendalikan emosi dan memaafkan musuhnya. Saya harap kamu bisa mengambil hikmah atas kejadian ini. Kamu belajar bela diri bukan untuk membalas dendam, tapi untuk melindungi diri dan orang-orang di sekitarmu. Tenangkan dirimu lalu bersihkan dirimu. Saya akan mengantarmu pulang kalau kamu sudah tenang.”
Adrian beranjak dari duduknya kemudian menuju lantai tiga. Pria itu memilih membersihkan tubuhnya. Sedang Dewi masih tetap terpaku di tempatnya, merenungi penuturan panjang lebar Adrian.
🌸🌸🌸
Mudah²an up hari ini cepat reviewnya ya. Episode kemarin hampir 8 jam direview sama emteh🤧
Seperti mamake bilang, Adrian dan Aditya masuk dalam kehidupan Dewi dengan cara yang berbeda. Jadi gaslaw kan, dua²nya keren dan sweet banget. Kabooorrr aaahh🚴🚴🚴🚴
kanebo nya masih gak thor.. aku mau 1 aja...😞
kanebo nya masih gak thor.. aku mau 1 aja...😞
dari bab awal dak comed...
krn mengulang baca dan gak ada bosen nya yang ada malah bikin kangen😍😍
lagu "bring me to life" teringat karya mu thor🙈