Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.
Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.
Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.
Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.
"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota di Atas Magma
Jika Kawah Besi Hitam adalah neraka kecil, maka Kota Tungku Dewa adalah ibukota neraka itu sendiri.
Setelah lima hari perjalanan di dalam kereta kuda yang tertutup, rombongan dari cabang sekte akhirnya berhenti. Kusir berteriak memerintahkan semua penumpang turun.
Liang Wu melangkah keluar dari kereta. Hal pertama yang menyerangnya bukanlah pemandangan, melainkan udara.
Udara di sini berat, panas, dan terasa berpasir di lidah. Langit di atas tidak berwarna biru atau kelabu, melainkan oranye kotor yang permanen, tertutup oleh lapisan asap tebal yang dimuntahkan oleh ribuan cerobong asap raksasa. Matahari hanyalah piringan pucat yang samar di balik kabut polusi itu.
"Selamat datang di pusat dunia," gumam seorang murid lain dengan nada kagum yang bercampur ngeri.
Liang Wu memandang ke depan.
Kota Tungku Dewa dibangun melingkar, memeluk lereng sebuah gunung berapi raksasa yang jauh lebih besar dari Kawah Besi Hitam. Kota ini terbagi menjadi tiga cincin raksasa yang dipisahkan oleh tembok-tembok besi hitam setinggi lima puluh kaki.
Cincin Luar adalah pemukiman kumuh bagi jutaan pekerja fana, pandai besi rendahan, dan pedagang yang melayani kebutuhan sekte. Rumah-rumah mereka berdesakan seperti jamur di batang pohon busuk, dibangun dari sisa-sisa logam dan batu bata hitam.
Cincin Tengah adalah tempat tinggal Murid Luar dan berbagai fasilitas pendukung sekte. Bangunan di sini lebih rapi, terbuat dari batu merah yang kokoh.
Dan di puncak gunung, di balik Cincin Dalam yang dijaga ketat, berdiri Istana Utama Sekte Tungku Dewa. Bangunan itu tampak seperti mahkota duri yang terbuat dari emas dan obsidian, dengan menara-menara tinggi yang memuntahkan api suci ke langit.
Yang paling mencolok adalah sungai yang membelah kota itu.
Itu bukan air. Itu adalah Sungai Logam Cair.
Limbah dari ribuan tungku pembakaran dialirkan ke kanal-kanal raksasa yang membelah kota, membawa logam cair pijar yang mengalir lambat menuju danau pembuangan di kaki gunung. Panas dari sungai itu membuat udara di sekitarnya bergetar seperti mirage.
"Baris! Jangan bengong seperti orang udik!"
Teriakan kasar memecah lamunan mereka. Seorang pria berseragam zirah merah tembaga lengkap—seragam resmi Pasukan Pengawal Gerbang—menghampiri mereka. Dia memegang tombak yang ujungnya menyala dengan api abadi.
Mandor Besi dari Kawah Besi Hitam, yang biasanya sombong dan kejam, kini membungkuk hormat seperti anjing yang bertemu serigala.
"Lapor, Kapten. Ini adalah pengiriman bahan baku bulan ini. Bijih besi kualitas A, dan... tiga kandidat Murid Dalam hasil seleksi."
Kapten Pengawal itu melirik ke arah Liang Wu dan dua pemenang lainnya. Tatapannya penuh penghinaan.
"Cuma tiga? Dan lihat mereka..." Kapten itu menunjuk Liang Wu. "Yang satu ini memakai topeng kulit babi dan membawa golok karatan. Apa standar di cabang kalian sudah serendah ini?"
"Dia... dia yang terbaik, Kapten. Namanya Tie. Dia membunuh Serigala Api Alpha sendirian."
"Hmph. Serigala Api di kawah kalian itu kecil-kecil karena kurang makan. Jangan samakan dengan monster di sini," cemooh Kapten. "Baiklah. Masukkan mereka ke gerbang samping. Bawa ke Aula Pendaftaran. Jangan biarkan mereka mengotori jalan utama."
Rombongan itu digiring masuk melalui gerbang kecil yang kotor, terpisah dari gerbang utama yang megah tempat kereta kencana para bangsawan dan tetua lewat.
Liang Wu berjalan dalam diam. Matanya merekam semuanya.
Posisi menara jaga. Jumlah pengawal di setiap persimpangan. Pola patroli.
Dia menyadari satu hal: Keamanan di sini sangat ketat. Setiap lima puluh langkah, ada Totem Pendeteksi Qi berbentuk kepala naga yang tertanam di dinding. Totem itu memancarkan gelombang sonar spiritual yang bisa mendeteksi kultivator asing.
Untungnya, Liang Wu sekarang memiliki status resmi sebagai murid cabang. Lencananya bersinar redup saat melewati totem, menandakan dia "bersahabat".
Mereka melewati Cincin Luar yang bising dan bau. Di sini, manusia diperlakukan seperti mesin. Liang Wu melihat anak-anak kecil yang kehilangan lengan atau kaki—mungkin kecelakaan kerja—mengemis di pinggir jalan. Dia melihat pandai besi yang kulitnya hangus bekerja tanpa henti menempa pedang massal.
Inilah wajah asli Aliansi Ortodoks, batin Liang Wu. Kemewahan mereka dibangun di atas tulang orang-orang ini.
Mereka tiba di gerbang Cincin Tengah. Di sini, suasananya berubah. Udara sedikit lebih bersih berkat formasi penyaring udara. Toko-toko menjual senjata magis, pil, dan jimat berjejer rapi. Murid-murid Sekte Tungku Dewa yang mengenakan jubah merah-emas berjalan dengan angkuh, memandang rendah siapa pun yang tidak berseragam.
Rombongan Liang Wu dibawa ke sebuah lapangan luas di depan Aula Pendaftaran. Di sana, sudah ada puluhan murid dari cabang-cabang lain yang juga baru tiba.
"Berlutut!" perintah seorang Diaken berjubah abu-abu.
Semua murid baru, termasuk Liang Wu, berlutut di atas lantai batu yang panas.
Diaken itu berjalan mondar-mandir di depan mereka. Dia memegang tongkat pemukul dari besi.
"Dengar baik-baik, Sampah-sampah Cabang!" teriak Diaken. "Kalian mungkin jagoan di lubang tikus kalian masing-masing. Tapi di sini, di Sekte Induk, kalian adalah yang terendah dari yang terendah! Kalian adalah 'Besi Mentah'!"
"Untuk menjadi baja, besi harus dipukul!"
BUKK!
Diaken itu tiba-tiba memukul punggung seorang murid yang berlutut tidak tegak. Murid itu menjerit, tulang punggungnya retak.
"Tugas kalian di sini sederhana," lanjut Diaken, mengabaikan murid yang merintih itu. "Kalian akan ditempatkan di Divisi Logistik selama tiga bulan pertama. Mengangkat barang, membersihkan tungku, dan menjadi asisten pandai besi. Hanya jika kalian bertahan dan menunjukkan bakat, kalian boleh belajar teknik sekte."
Liang Wu menundukkan kepalanya. Dia tidak peduli dengan pidato ini. Dia sedang mencari sesuatu. Atau seseorang.
Matanya melirik ke arah papan pengumuman besar di sisi lapangan. Di sana tertulis daftar nama pejabat sekte yang bertugas hari ini.
Kepala Divisi Logistik: Wang Ba.
Liang Wu tersenyum tipis di balik topengnya. Wang Ba. Itu adalah nama paman dari Zhao—Diaken Wang yang disebutkan dalam surat.
Ternyata takdir mempermudah jalannya. Dia akan ditempatkan langsung di bawah pengawasan targetnya.
"Sekarang, maju satu per satu! Tunjukkan token kalian dan serahkan semua barang bawaan untuk diperiksa! Senjata tajam dilarang dibawa ke asrama kecuali sudah didaftarkan!"
Pemeriksaan.
Ini masalah. Liang Wu membawa peralatan bedah Pak Tua Ma dan parang di pinggangnya. Parang itu tidak masalah, tapi peralatan bedah mungkin akan menimbulkan pertanyaan. Dan yang lebih penting... tulang jari Han.
Liang Wu berpikir cepat.
Saat gilirannya tiba, dia maju ke meja pendaftaran.
"Nama?" tanya petugas pencatat tanpa mendongak.
"Tie," jawab Liang Wu.
"Senjata?"
Liang Wu meletakkan golok beratnya di meja. "Hanya ini."
"Barang lain?"
Liang Wu mengeluarkan buntalan kain yang berisi peralatan bedahnya. Petugas itu membukanya, mengerutkan kening melihat deretan pisau kecil dan jarum.
"Apa ini? Kau mau menyulam?"
"Saya... saya punya hobi membedah bangkai hewan, Tuan," jawab Liang Wu dengan suara bodoh dan polos. "Di Kawah Besi, saya sering membedah tikus untuk dimakan."
Petugas itu menatap Liang Wu dengan jijik. Dia melihat topeng kulit babi di wajah Liang Wu, lalu melihat tangan Liang Wu yang hitam kasar.
"Dasar orang gila," gumam petugas itu. "Simpan mainanmu. Tapi kalau kau ketahuan melukai murid lain dengan ini, tanganmu akan kupotong."
"Terima kasih, Tuan."
"Barang lain?"
Liang Wu meraba sakunya. Tulang jari Han ada di sana.
"Hanya jimat keberuntungan, Tuan. Tulang jari nenek saya."
Petugas itu melirik sekilas, lalu mengibaskan tangan dengan tidak sabar karena antrean masih panjang. "Sudah, sudah. Masuk sana. Asrama Blok C. Ranjang nomor 404."
Liang Wu mengambil kembali barang-barangnya dan berjalan masuk. Dia berhasil lolos karena satu hal: Arogansi mereka. Mereka tidak percaya seorang "kuli kasar" dari cabang bisa membawa ancaman nyata.
Asrama Blok C adalah sebuah bangunan barak panjang yang terbuat dari batu bata merah. Satu kamar diisi delapan orang. Ranjang nomor 404 ada di pojok, dekat jendela yang menghadap ke arah Cincin Dalam.
Liang Wu meletakkan barang-barangnya. Teman sekamarnya—tujuh pemuda dari berbagai cabang—menatapnya dengan waspada. Penampilan Liang Wu yang menyeramkan dengan topeng dan kulit hitam membuat mereka enggan menyapa.
Bagus. Liang Wu butuh ketenangan.
Malam itu, setelah lampu dipadamkan, Liang Wu berbaring di ranjang kerasnya. Dia menatap langit-langit.
Dari jendela, dia bisa melihat cahaya kemerahan yang memancar dari Cincin Dalam—tempat Istana Utama dan fasilitas rahasia berada.
Di sanalah "Proyek Senjata Hidup" itu berada.
Liang Wu meraba Kantong Penyimpanan Zhao yang dia sembunyikan di balik celana dalamnya. Di dalamnya ada Token Keluarga Zhao.
Besok, dia akan mulai bekerja di Divisi Logistik. Dia akan mencari cara untuk mendekati Diaken Wang.
"Satu langkah lagi," bisik Liang Wu.
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh rendah dari arah puncak gunung.
Bumi bergetar pelan.
Bukan gempa bumi. Getaran itu berirama.
DUM... DUM... DUM...
Seperti detak jantung raksasa dari dalam perut gunung.
Liang Wu bangkit dan melihat ke luar jendela.
Di kejauhan, di atas salah satu menara Cincin Dalam, dia melihat siluet sesuatu yang besar sedang dikerek naik dengan rantai raksasa.
Bentuknya... seperti manusia. Tapi ukurannya sebesar rumah.
Makhluk itu meronta, dan rantai-rantai yang menahannya menyala dengan rune mantra penekan.
Lalu makhluk itu diturunkan kembali ke dalam kawah puncak gunung.
Mata Liang Wu menyipit.
Itu bukan patung. Itu bergerak.
Proyek Senjata Hidup.
Mereka tidak membuat senjata untuk manusia. Mereka mengubah makhluk hidup menjadi senjata.
Dan melihat ukuran benda itu... Liang Wu sadar bahwa teknik Kulit Tembaga-nya saat ini masih jauh dari cukup. Jika dia harus melawan monstrositas seperti itu, dia akan diremukkan seperti serangga.
Dia harus lebih kuat. Dia harus mencapai Pembentukan Pondasi secepat mungkin.
Liang Wu kembali berbaring, memeluk tulang jari Han.
Kota ini menyimpan iblis yang lebih besar daripada dirinya. Dan itu membuatnya tersenyum dalam kegelapan.
Semakin besar iblisnya, semakin tinggi dia bisa memanjat di atas mayatnya.
Alurnya stabil...
Variatif