NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:373
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 — Darah di Tanah Hujan

Rendra berdiri di ambang bencana. Batu penutup Sumur Tua telah bergeser, membuka lubang gelap yang mengeluarkan uap dingin dan suara tangisan yang menusuk—tangisan Laras, Yang Basah. Aroma besi yang pekat menyergapnya, membuatnya mual dan pusing.

Ia mencengkeram tepi lubang yang berlumut, menyorotkan senternya ke bawah. Kegelapan sumur itu tampak tak berdasar, tetapi ia tahu Rani ada di sana, di suatu tempat di bawah air.

Tepat saat Rendra hendak melompat, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Bukan gemericik air yang menyeramkan. Itu adalah langkah kaki manusia, bergerak cepat.

Rendra berbalik.

Ia melihat Pak Darmo, Kepala Desa, berlari ke arahnya, wajahnya dipenuhi horor yang nyata. Di belakang Pak Darmo, ada sekelompok kecil penduduk desa, ekspresi mereka tegang dan panik.

“Rendra! Jangan! Tutup kembali lubangnya!” teriak Pak Darmo, suaranya parau.

“Terlambat, Pak Darmo!” balas Rendra, suaranya keras dan penuh kemarahan. “Aku tahu semua! Rani, Dimas, dan ratusan orang yang kau kubur! Aku sudah menemukan jalan masuk ke rahasia kalian!”

Pak Darmo menghentikan langkahnya, tangannya memegang tasbih kayunya erat-erat, matanya menatap lubang Sumur Tua yang terbuka. Keputusasaan di wajahnya begitu mendalam.

“Kau telah membangunkannya sepenuhnya, Nak Rendra! Kau tidak mengerti! Dia tidak lagi puas dengan satu jiwa per malam! Dia akan menuntut semua!”

Tiba-tiba, suara petir menyambar.

Bukan petir biasa yang menggelegar. Petir ini adalah kilatan cahaya putih-merah yang begitu terang, menyinari seluruh Desa Waringin untuk sesaat.

Dan di bawah kilatan cahaya itu, Rendra melihatnya:

Langit telah berubah.

Warna kelabu keruh yang konstan, yang telah menjadi kanvas hidup desa, kini disiram warna baru. Bukan lagi merah muda pucat yang ambigu. Itu adalah merah pekat. Merah darah yang sesungguhnya.

Hujan turun. Hujan merah.

Cairan kental berwarna merah gelap mulai menetes dari langit, mengenai atap, jalanan, dan wajah penduduk desa. Aroma besi yang amis kini menjadi bau darah segar yang menyengat, begitu kuat sehingga Rendra harus menutup mulutnya agar tidak muntah.

Para penduduk desa yang tadi mengikuti Pak Darmo berteriak. Mereka jatuh ke lutut, menutup wajah mereka, menangis histeris.

“Sudah datang… dia datang!” teriak salah satu wanita tua. “Yang Basah marah! Ini darah kita!”

Pak Darmo menatap hujan merah itu, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia mengangkat wajahnya ke langit.

“Ini hukuman! Ini hukuman untuk semua kebohongan!” raungnya.

Tiba-tiba, dari arah gubuk yang berjarak cukup jauh, Rendra melihat sebuah sosok bergerak. Sosok yang berjalan tenang, tidak terpengaruh oleh hujan merah yang menggila.

Itu adalah Nyai Melati.

Ia berjalan lurus ke tengah lapangan, ke arah Sumur Tua. Kain hitam yang menutupi mata kirinya basah kuyup oleh hujan merah, membuat kain itu terlihat seperti perban yang direndam darah. Ia tidak lagi tampak tenang dan penuh teka-teki. Ia tampak seperti seorang nabi yang telah mencapai batas kesabarannya.

Nyai Melati berhenti beberapa meter dari Rendra dan Sumur Tua yang terbuka. Ia menatap Rendra dengan mata kanannya yang tajam.

“Aku sudah memperingatkanmu, Nak Rendra,” kata Nyai Melati, suaranya tenang namun bergema, mampu menembus deru hujan darah. “Jangan keluar saat hujan berubah jadi merah. Itu bukan pertanda. Itu adalah pintu masuk.”

Nyai Melati kemudian berbalik, menghadapi Pak Darmo dan penduduk desa yang meringkuk dalam ketakutan.

Ia mengangkat kedua tangannya ke udara, ke arah langit merah. Kain hitam di matanya meneteskan cairan merah pekat.

“Kalian semua berhutang darah!” teriak Nyai Melati, suaranya berubah menjadi jeritan profetik yang memilukan.

“Kalian membiarkan Laras dikorbankan! Kalian membunuh ratusan orang yang menentang! Kalian berbohong kepada Tuhan dan kepada arwah yang haus! Kalian menyembunyikan kebenaran di bawah akar pohon, dan membiarkan anak-anak yang tidak bersalah seperti Dimas membayar hutang kalian!”

Nyai Melati menunjuk ke Sumur Tua yang terbuka.

“Sekarang, Yang Basah sudah bangun! Dia tidak akan puas hanya dengan pembersihan! Dia akan mengambil seluruh desa! Dia akan mengambil darah baru untuk menggantikan yang lama! Dia akan mengambil kembali semua yang telah kalian curi!”

Sambil berteriak, Nyai Melati tiba-tiba meraih kain hitam di mata kirinya dan merobeknya.

Di balik kain itu, mata kirinya tidak buta. Matanya terbuka lebar, tetapi tidak seperti mata kanan yang normal. Mata kirinya adalah bola mata yang sepenuhnya putih susu, tanpa pupil, dan memancarkan cahaya redup.

Saat mata itu terbuka, Nyai Melati jatuh berlutut, kejang hebat, seolah-olah ia baru saja merobek batas antara dunia.

Dari lubang Sumur Tua yang terbuka di samping Rendra, suara tangisan Laras semakin keras, semakin mendesis, dan kini bercampur dengan suara gemericik air yang menyeramkan. Uap dingin yang keluar dari sumur itu kini tampak berputar dan membentuk pusaran kecil.

Rendra tahu, ini adalah klimaksnya. Yang Basah telah diundang keluar oleh Rendra, dan sekarang, ia akan menjemputnya.

Ia melihat ke belakang, ke penduduk desa. Mereka semua meringkuk, wajah mereka yang basah oleh hujan merah menunjukkan ketakutan yang tak tertahankan. Mereka tidak akan membantunya.

Rendra melihat ke Sumur Tua. Ia memegang kunci kuningan di tangannya. Ia harus masuk ke bawah. Ke tempat adiknya menunggu. Ke tempat ia harus menghadapi kebenaman yang disembunyikan ayahnya.

Ia menghela napas, mencium bau amis darah yang menyengat. Ia mengambil langkah ke depan, ke tepi lubang Sumur Tua.

Saat ia melihat ke bawah, ia tidak lagi melihat kegelapan. Di dalam sumur itu, di permukaan air yang berputar, ia melihat refleksi Rani.

Rani tersenyum, dengan mata yang kini sepenuhnya gelap dan basah.

“Selamat datang, Kak Rendra. Kita akan melihat kebenaran bersama, di bawah air.”

Rendra memejamkan mata, membiarkan hujan darah membasuh wajahnya untuk terakhir kali. Ia mencengkeram kamera ayahnya, alat yang akan ia gunakan untuk menyelesaikan kebenaran yang tidak pernah diungkapkan ayahnya.

Rendra melompat.

Ia terjun ke dalam lubang gelap Sumur Tua, ke dalam air dingin yang mematikan, meninggalkan hiruk pikuk penduduk desa dan jeritan Nyai Melati. Ia terjun ke dalam inti kutukan Desa Waringin.

Air dingin menyambutnya, segera menelannya, dan kegelapan total menyelimutinya, diselingi oleh suara tangisan Laras dan gemericik air yang kini menjadi satu-satunya suaranya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!