Thalia Puspita Hakim, perempuan berusia 26 tahun itu tahu bahwa hidupnya tidak akan tenang saat memutuskan untuk menerima lamaran Bhumi Satya Dirgantara. Thalia bersedia menikah dengan Bhumi untuk melunaskan utang keluarganya. Ia pun tahu, Bhumi menginginkannya hanya karena ingin menuntaskan dendam atas kesalahannya lima tahun yang lalu.
Thalia pun tahu, statusnya sebagai istri Bhumi tak lantas membuat Bhumi menjadikannya satu-satu perempuan di hidup pria itu.
Hubungan mereka nyatanya tak sesederhana tentang dendam. Sebab ada satu rahasia besar yang Thalia sembunyikan rapat-rapat di belakang Bhumi.
Akankah keduanya bisa hidup bahagia bersama? Atau, justru akhirnya memilih bahagia dengan jalan hidup masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAKIT TAK BERDARAH
"Mau makan siang apa, Tha?" Julian muncul dari luar.
Sedangkan Thalia sedang duduk di bangku teras studio. Menunggu Bhumi yang sejak satu jam lalu masih di jalan. Seperti yang sudah dikatakan Bhumi, siang ini ada pertemuan dengan Eyang dan Mama Indri–Mama Bhumi.
"Ada janji. Kamu sama yang lain aja, ya," jawab Thalia mengulas senyum ramah.
Julian menatap Thalia bingung. Tidak biasanya Thalia pergi siang-siang begini.
"Sama Bhumi?" Seingat Julian hanya Bhumi yang memiliki potensi untuk itu.
Meskipun penampilan Thalia terlihat berbeda dari biasanya. Wanita itu mengenakan terusan berwarna biru. Rambut panjangnya tergerai dengan rapi.
Cukup formal dibandingkan saat dengannya.
Thalia mengangguk. "Ketemu Eyang dan mamanya."
Julian tak bereaksi. Kemudian melangkah menghampiri Thalia. Duduk di samping wanita itu. Tatapan Julian begitu serius. Membuat Thalia balas menatapnya bingung.
"Kamu sama dia gimana, Tha? Yakin tetap mau dilanjutin? Dia aja masih sering sama Mbak Adel loh. Nggak mau hidup bahagia sama Jemia aja?"
"Tiba-tiba banget nanya begitu. Kenapa? Beneran nungguin aku jadi janda, ya?" Thalia menggelengkan kepalanya, sembari tersenyum kecil.
"Kamu tinggal jawab aja. Sejak awal aku juga bilang kan kalau hutang keluarga kamu bisa aku bantu. Nggak perlu sampai menyerahkan diri kamu ke Bhumi Datar itu!"
Thalia tertawa. Tangannya mendarat di bahu Julian. "Menggebu-gebu banget bicaranya. Santai dong. Kenapa sih?"
Thalia mengenal Julian sebagai pria yang sangat pandai mengatur emosinya. Ia adalah pria yang hangat dan banyak mengalah daripada harus bertengkar panjang.
Sungguh beruntung wanita yang menjadi istrinya nanti.
"Jemia telepon aku semalam." Julian menatap lurus Thalia. Tidak ada senyum hangat dari pria itu. Terlihat sekali Julian sedang marah dan kecewa.
Thalia terlonjak kaget. Seingatnya Jemia izin mau tidur semalam.
"Dia cerita kalau ada Om Galak yang mengaku Papanya. Bhumi sudah tau rumah itu?" tanya Julian dingin.
Thalia mengangguk. "Dia juga menginap semalam."
Wajah Julian mengeras. Sorotnya dingin tak seperti biasa. Thalia jadi tidak nyaman.
"Jemia nggak suka ada Bhumi di situ. Kamu seharusnya bicara ke Bhumi agar tidak langsung ke sana. Jemia butuh adaptasi. Dia butuh waktu juga untuk memahami semua ini. Jangan memaksakan kehendaknya begitu."
"Aku juga nggak tahu Bhumi ke sana, Jul. Semuanya terjadi begitu aja." Thalia tahu ia salah, tetapi ia sendiri benar-benar tidak tahu Bhumi akan senekat kemarin. "Kami akan baik-baik aja. Bhumi terlihat menyayangi Mia kok."
Julian meraih tangan Thalia. Ia genggam tangan halus tersebut.
"Jangan mudah percaya, Tha. Bisa aja tujuannya masih sama. Kita nggak pernah tahu isi hati seseorang. Yang jelas, tanpa dia, aku masih bisa melindungi dan menyayangi Mia."
Thalia tertegun. Kalimat Julian membuatnya bingung. Tidak biasanya sahabatnya ini mengutarakan hal seperti ini. Entah Thalia yang sensitif atau memang kenyataannya memang seperti itu, Thalia merasa Julian terdengar keberatan jika Bhumi dekat dengan Jemia.
Julian menggenggam tangan Thalia semakin erat. "Begitu pula dengan kamu. Aku akan selalu ada untuk kamu. Menjadi pria yang bisa kamu andalkan dalam setiap sulitnya kamu."
"Saya masih hidup. Kamu jangan lancang mengambil alih tugas saya!"
Mata Thalia membulat. Julian pun terkejut. Keduanya menoleh ke arah suara.
Lebih tepatnya pria yang melangkah semakin mendekat ke arah mereka. Bhumi dengan wajah datarnya, melirik Julian dengan sinis. Kemudian, menarik tangan Thalia, membuat genggaman tangan Julian itu terlepas.
Thalia tertarik ke samping Bhumi. Tangan Bhumi memeluk pinggang Thalia dengan posesif.
"Dia masih istri saya. Jangan tunggu jandanya dia. Karena saya tidak melepaskan ibu dari anak-anak saya ini. Apalagi pada pengecut seperti kamu!"
Tangan Julian terkepal. Namun, ia sadar bahwa status Thalia memang masih istri Bhumi.
"Bhumi!" tegur Thalia karena kalimat kasar Bhumi.
Bhumi menoleh. Satu alisnya terangkat naik. "Iya, Sayang? Ayo pergi. Eyang dan Mama sudah menunggu."
'Sayang gundulmu!' batin Thalia.
"Aku duluan ya, Jul. Omongan Bhumi jangan diambil hati." Thalia melambaikan tangan pada Julian.
Bhumi berdecih sinis. Namun, melihat raut Julian yang frustasi itu membuat Bhumi mengulum senyum-sengaja mengejek pria itu.
***
"Bhumi bilang ini makanan favorit kamu. Dia sengaja reservasi tempat ini untuk kita bertemu. Tapi nggak apa-apa ya untuk berat badan kamu? Bukannya model itu sangat menjaga pola makan, ya?""
Thalia tercengang. Ia kira restoran mewah yang menawarkan khas Makanan Padang ini adalah pilihan Mama Indri atau Eyang.
Siang itu terlihat sangat ramai. Posisi restoran ini begitu strategis. Berada di antara kantor swasta. Tidak heran jika banyak pelanggan yang datang, terutama saat makan siang.
Ia sungguh tidak menyangka bahwa ini pilihan Bhumi.
"Kaget, ya?" Mama Indri tertawa. "Sebenarnya kalau bukan karena keras kepalanya Bhumi mau menikahi kamu, Mama sebenarnya nggak mau berurusan dengan keluarga kalian lagi. Hilangnya kamu dulu membuat Mama kecewa."
Thalia terdiam. Gerakan tangannya yang sedang menyendokkan nasi berikut lauknya itu terhenti.
"Tidak hanya Bhumi, Mama juga merasakan kehilangan akan janin kamu. Kalau saja Adelia tidak memiliki kekurangan seperti itu, Mama rasa hanya Adelia yany pantas untuk Bhumi." Mama Indri menyuapkan makanan dengan santai.
Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanyalah denting garpu sendok yang bertabrakan dengan piring.
Thalia merasa tidak nyaman hanya berdua dengan Mama Indri. Wanita yang dulunya sangat hangat itu seketika membuat Thalia kehilangan nafsu makan. Tangannya melepas sendok garpu perlahan. Kemudian, saling memeluk jarinya di pangkuan.
Diam-diam untuk menghalau rasa tidak nyaman dan canggung ini. Thalia berharap Bhumi dan Eyang segera kembali dari toilet. Setidaknya kehangatan dan keramahan Eyang membuat Thalia lebih tenang.
"Kamu nggak ada niat untuk punya anak dari Bhumi, Lia?"
Thalia menelan ludahnya. Kemudian, memaksakan senyum hangat pada mertuanya. Pertanyaan itu membuat Thalia semakin tidak betah duduk di kursi makan.
"Kita masih belum membicarakan itu, Ma," jawab Thalia apa adanya. Setidaknya jawaban ini lebih baik daripada terang-terangan mengatakan bahwa Bhumi meminta Thalia mengkonsumsi pil kontrasepsi.
Mama Indri menghela napas panjang. "Pasangan muda itu begitu ya sekarang. Suka menunda-nunda anak."
Thalia tidak menjawab. Makanannya pun tidak lagi ia sentuh.
"Ini nggak ada hubungannya dengan pekerjaan kamu, kan?" Mama Indri menatap Thalia penuh selidik.
"Maksud Mama?" Thalia benar-benar tidak mengerti.
"Wanita muda kayak kamu pasti menolak punya anak karena nggak siap dengan perubahan tubuh kamu. Hamil, melahirkan lalu menyusui. Semuanya butuh pengorbanan."
Tangan Thalia semakin mengepal di pangkuannya.
"Kejadian lima tahun lalu contohnya. Kamu pasti menggugurkan kandungan itu karena nggak siap menjadi seorang ibu...."
Thalia menahan sesak dadanya. Ia tidak menyangka wanita yang ia kenal lemah lembut ini akan mencercanya dengan kalimat yang menyakiti hatinya.
Namun, seakan tidak berhenti di situ. Mama Indri melanjutkan kalimatnya.
Dengan senyum sinis dan tatapan meremehkan, ia pun berkata, "Sama seperti mami kamu dulu. Yang beberapa kali ingin menggugurkan kamu."
*
*
*
Udah tahu kan bibit judesnya Bhumi dari siapa? wkwkwk
Maaf kemaleman yaa. Semoga nggak membuat kalian berpaling.
Terima kasih atas dukungan kalian, yaaa.
ga ngaku kl mereka dah punya anak.
minimal Bhumi ngaku kl selama ini Bhumi yg suruh Thalia yg minum obat KB., Sebel banget sama Bhumi ,
bikin kesel reader
selalu menghina Thalia dengan menyebut JALANG, tapi tetep doyan tubuh Thalia, sampai fitnah punya anak hasil hubungan dengan Julian, giliran udah tau kl anak itu anak kandungnya sok pengin di akui ayah.
preet, bergaya mau mengumumkan pernikahan, Kemarin " otaknya ngelayap kemana aja Broo.
Yuu mampir, nyesel dh kalo gak baca..
maksa bgt yaa, tapi emang ceritanya bagus ko.. diksinya bagus, emosi alur sesuai porsinya, gak lebay gak menye-menye...
enteng sekali pengakuan anda Tuan,
amnesia kah apa yg kau lakukan sebelum tau tentang Jemia..??
Masiih ingat gak kata ja lang yg sering kau sematkan untuk Thalia..?? dan dg tanpa beban setitikpun bilang Thalia dan Jemia hal yg "paling berharga" dihidupmu.. 😏
sabarrrr