Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 MAKAN MALAM DAN TAWA KEMENANGAN.
Senja mulai turun, menyapu langit ibu kota dengan semburat jingga keemasan. Jalanan macet, lampu-lampu mulai menyala, menambah hiruk pikuk kehidupan malam.
Alya baru saja keluar dari gedung kantornya ketika sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan lobi. Jendela turun, memperlihatkan wajah Arga dengan senyum hangat.
“Aku jemput,” katanya singkat.
Alya sedikit terkejut. “Arga? Bukankah aku sudah bilang aku bisa pulang sendiri?”
Arga keluar dari mobil, menghampiri Alya, lalu membuka pintu untuknya. “Aku tahu. Tapi izinkan aku menculikmu sebentar. Aku janji kamu tidak akan menyesal.”
Alya menghela napas, namun tak kuasa menolak. Ada sesuatu di tatapan Arga yang membuat pertahanannya goyah. Akhirnya ia masuk, dan mobil pun melaju meninggalkan gedung.
Arga membawanya ke sebuah restoran mewah di tepi kota, dengan suasana hangat dan tenang. Lampu-lampu gantung berkilauan, lilin kecil menyala di atas meja, menambah kesan intim.
“Arga… ini terlalu mewah,” bisik Alya ketika pelayan menuntun mereka ke meja pribadi dengan pemandangan kota dari balik jendela kaca.
Arga menarik kursi untuknya, lalu duduk berhadapan. “Tidak ada yang terlalu mewah untukmu, Alya. Kamu pantas mendapatkan ini.”
Alya menatapnya lama, hatinya berdesir. Ia berusaha menutupinya dengan memandang keluar jendela, seakan pemandangan malam lebih menarik. Tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang pelan-pelan melembutkan luka lama.
Malam itu, mereka berbincang ringan. Tentang pekerjaan, masa kecil, hingga hal-hal sepele yang membuat Alya tertawa. Tawa yang membuat Arga terpesona, seolah ia melihat Alya yang dulu—gadis sederhana dengan mata penuh cahaya.
“Kalau aku bisa memilih…” kata Arga tiba-tiba, serius. “Aku ingin setiap malam seperti ini. Hanya ada kamu dan aku. Dunia boleh bising, tapi kita cukup tenang di sini.”
Alya terdiam. Kata-kata itu begitu tulus, namun juga berbahaya. Ia menunduk, menggenggam gelas anggur. Arga…" jangan membuatku semakin sulit menjauh darimu." Gumam hati Alya.
...----------------...
Di tempat lain di sebuah rumah mewah keluarga Darma suasana jauh berbeda.
Aluna duduk anggun di ruang tamu, ditemani kedua orang tuanya. Di tangannya segelas wine, bibirnya tersenyum puas. Tawa kecil sesekali pecah dari bibirnya, membuat suasana terasa penuh kemenangan.
“Lihatlah, Mah, Pah…” katanya sambil mengangkat gelas. “Sebentar lagi, Alya akan jatuh ke dalam permainan kita.”
Mama tersenyum bangga, menepuk tangan putrinya. “Kamu memang anak yang pintar, Aluna. Cantik, cerdik, dan tahu bagaimana menguasai keadaan.”
Papa Darma ikut terkekeh, sorot matanya penuh kebanggaan. “Alya itu hanya ilusi. Gadis itu tidak pernah tahu tempatnya. Kau, Aluna, kau adalah masa depan keluarga ini. Dan aku akan pastikan Arga memilihmu, apa pun caranya.”
Aluna menyesap wine-nya, matanya berkilat penuh intrik. “Biarkan Alya menikmati sedikit kebahagiaan sekarang. Tapi pada akhirnya, semua akan runtuh. Dia akan hancur, dan akulah yang berdiri sebagai pemenang.”
Tawa mereka bertiga bergema di dalam rumah besar itu tawa penuh keangkuhan, seakan mereka sedang merayakan kehancuran yang bahkan belum terjadi.
...----------------...
Suasana makan malam terasa begitu hangat. Namun di balik tawa ringan dan obrolan kecil, hati Alya bergejolak. Tatapan Arga terlalu tulus, terlalu nyata, membuatnya hampir lupa tujuan awalnya kembali ke ibu kota.
Sampai akhirnya, Alya meletakkan gelasnya dan menatap Arga dengan serius.
“Arga… ada sesuatu yang ingin aku minta darimu.”
Arga berhenti menyentuh garpunya. Tatapannya penuh perhatian. “Apa itu? Katakan saja.”
Alya menarik napas panjang. Suaranya terdengar pelan, namun tegas.
“Putuskan kerja sama dengan Papah Darma. Aku tidak ingin lagi ada hubungan apa pun antara kamu dengan keluarga itu.”
Arga sempat terdiam. Kalimat itu bukan permintaan kecil. Keluarga Darma punya pengaruh besar, kerja sama bisnis itu bernilai tinggi. Namun tatapannya tidak bergeser dari Alya.
“Kalau itu yang kamu mau…” suara Arga tenang, “aku akan melakukannya.”
Alya terbelalak, tidak menyangka jawabannya semudah itu. “Arga… kamu sadar kan, kontrak itu—”
Arga menyela lembut. “Aku sadar betul. Tapi aku juga sadar satu hal… kamu lebih penting daripada bisnis apa pun. Kalau memutuskan kerja sama dengan Papah Darma bisa membuatmu lebih tenang, maka itu yang akan aku lakukan.”
Alya terdiam. Dadanya berdegup kencang. Kata-kata Arga menusuknya, bukan karena janji itu, tapi karena ketulusan yang nyata.
Senyum tipis terbit di bibir Arga. “Selama ini aku tidak pernah punya alasan untuk menolak keputusan keluargamu. Tapi sekarang… aku punya. Kamu, Alya.”
Alya menunduk cepat, menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya mengepal di bawah meja. Tidak… ini tidak seharusnya seperti ini.
Rencananya jelas sejak awal. ia mendekati Arga hanya untuk menghancurkan Aluna dan kedua orang tuanya. Menggunakan Arga adalah bagian dari permainannya.
Namun sekarang, dengan mudahnya Arga berjanji memenuhi keinginannya… Alya merasa justru terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri.
Ia meneguk sisa minumannya, mencoba menenangkan diri. Dalam hati, suara itu berbisik lirih " Alya, jangan goyah… jangan sampai kau benar-benar jatuh hati lagi pada lelaki ini."
Tapi senyum Arga di seberang meja membuat hatinya semakin sulit dikendalikan.