Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tidak enak badan
Suasana ruang makan malam itu begitu hening, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring porselen mahal. Meja panjang itu penuh dengan hidangan mewah: steak daging sapi impor, sup krim jamur, salad hijau, dan berbagai lauk yang tampak menggoda. Namun, hanya Aurelia dan Leo yang makan dengan tenang dan anggun, sementara Arinda duduk di ujung meja, menatap semua hidangan itu dengan wajah lesu.
Sofia berdiri di belakang majikannya, memandangi Arinda dengan khawatir. Nona kecilnya sejak tadi tak menyentuh makanan sedikit pun, hanya menatap piringnya lalu memainkan garpu pelan. Hati Sofia ingin bicara, tapi ia tahu betul aturan di rumah ini: jangan memotong pembicaraan atau membuat komentar di depan Tuan Leo tanpa izin.
Leo yang sedari tadi memperhatikan akhirnya meletakkan garpunya perlahan. Tatapannya tenang namun tajam. “Kenapa, baby?” suaranya berat tapi lembut. “Apa makanannya tidak enak?”
Arinda yang sejak tadi menunduk langsung mendongak, wajahnya bingung. Ia menggeleng, lalu tiba-tiba mengangguk, lalu menggeleng lagi. Wajahnya merah karena gugup. “Bukan gitu, mas…” jawabnya lirih.
Aurelia yang duduk di sisi kanan Leo, meletakkan sendok dan garpunya dengan tenang. “Arsen,” panggilnya pada koki yang berdiri di sisi pintu. “Apa masakanmu hari ini sesuai dengan kemampuanmu?” tanyanya datar namun menohok.
Arsen menelan ludah, wajahnya pucat. “S-sudah, Nyonya. Saya pastikan semuanya sesuai permintaan Nyonya dan Tuan Leo,” jawabnya gugup, menunduk dalam-dalam.
Tatapan Leo yang dingin membuat seluruh ruangan seolah membeku. Semua pelayan menunduk, tak berani bernapas keras-keras.
Namun, sebelum suasana semakin menegang, Arinda buru-buru membuka suara. “Bukan salah om Arsen, Mas… bukan salah siapa-siapa,” ucapnya cepat, matanya membesar. “Cuma… Arinda… nggak mau makan makanan yang ini aja.”
Aurelia menaikkan satu alis, nada suaranya lembut tapi terdengar seperti menguji. “Tapi ini makanan sehat semua, Arinda. Kenapa tidak selera? Kau mau makanan yang lain?”
Arinda menunduk, jari-jarinya saling meremas gugup. “Arinda mau…” suaranya mengecil, “…mau makan yang lain, tapi takut dimarahi.”
Leo menatap istrinya dengan ekspresi sulit ditebak. “Katakan saja, baby,” katanya tenang. “Apa yang kamu mau? Nanti Arsen siapkan.”
Arinda menatap Leo sebentar, lalu menggeleng cepat-cepat. “Nggak usah, mas. Arinda makan ini aja,” katanya, berusaha tersenyum walau jelas sekali ia tak sanggup menelannya.
Aurelia hanya menatapnya, lalu kembali memakan steak di piringnya dengan elegan. “Baiklah, kalau memang begitu.”
Sofia di belakang menunduk khawatir. Ia tahu nona Arinda nya terbiasa makan sederhana — nasi hangat, sayur bening, tempe goreng. Bukan makanan mewah yang penuh saus dan aroma tajam seperti ini.
Dengan ragu, Arinda mengambil sendok. Ia mencicipi sedikit sup krim jamur yang kental itu, tapi baru satu suap, wajahnya langsung berubah. Matanya berkedip cepat, mulutnya menutup rapat-rapat, lalu ia menunduk dalam-dalam. “Arinda… mau muntah, Mas…” gumamnya lirih. Ia buru-buru berdiri, menutup mulut dengan tangan.
Semua mata langsung menatapnya.
Leo menatap tajam, sementara Aurelia menegakkan tubuhnya, menatap Arinda dengan tatapan antara khawatir.
Sofia dengan sigap maju, menepuk lembut punggung nona kecilnya. “Maaf, Tuan, sepertinya Nona kurang enak badan,” ucapnya sopan.
Arinda menunduk dalam, wajahnya memerah karena malu. “Maaf, Mas… Arinda nggak maksud buat repot…” katanya polos, matanya berkaca-kaca.
Aurelia menatap Leo sejenak, lalu bicara tenang. “Sebaiknya, bawa Nona Arinda ke kamarnya, Sofia. Sepertinya dia memang sakit. Nanti Arsen kirimkan makanan yang lebih ringan ke sana.”
Leo tak menjawab, hanya mengangguk kecil. Tatapannya mengikuti Arinda yang dituntun Sofia keluar dari ruang makan dengan langkah pelan. Setelah pintu tertutup, suasana kembali hening.
Aurelia melanjutkan makannya, tapi tatapannya tetap pada Leo. “Kau terlalu keras, Leo. Dia masih anak-anak, belum terbiasa, mungkin saja dia lagi sakit,” katanya tanpa menatap langsung.
Leo tidak menjawab. Ia hanya meletakkan sendoknya, meneguk air putih, lalu berkata datar, “Aurel, aku tunggu kau di kamarmu.”
Semua pelayan menoleh kaget. Kata-kata itu membuat mereka saling berpandangan dengan wajah tak percaya.
Selama empat tahun mereka bekerja di rumah ini, belum pernah sekalipun Tuan Leo datang ke kamar Nyonya Aurel.
Beberapa pelayan berbisik pelan di antara mereka.
“Apa Tuan mau… ya, itu…” gumam salah satu dengan nada penasaran.
“Diam, itu bukan urusan kita!” tegur yang lain cepat, takut didengar.
Sementara itu, di lantai tiga, Arinda duduk di tepi tempat tidurnya. Wajahnya masih muram, pandangannya kosong. “Mbak… Arinda tadi bikin malu, ya?” tanyanya lirih.
Sofia duduk di sampingnya, mengelus lembut rambut panjang nona kecilnya. “Nggak, Nona. Nona cuma belum terbiasa aja. Lagian, nggak semua orang bisa langsung cocok sama makanan luar negeri atau makanan mahal seperti itu.”
Arinda menggigit bibir bawahnya. “Tapi Mas Leo pasti marah…” katanya pelan, suaranya bergetar.
Sofia tersenyum lembut, menatap wajah polos yang sedang bersedih itu. “Tuan nggak marah, kok. Tuan cuma khawatir. Kalau nanti lapar, saya buatin bubur ayam aja, ya?”
Wajah Arinda langsung berbinar. “Boleh, Mbak? Bubur ayam kampung.”
“Baik nona” jawab Sofia sambil tertawa kecil.
Arinda mengangguk senang, pipinya memerah, lalu memeluk Sofia dengan lembut. “Makasih, Mbak. Arinda suka banget sama bubur ayam." ucapnya polos.
Leo berdiri diam di depan pintu kamar lantai dua itu. Pintu yang baru saja tertutup pelan—pintu kamar Aurelia. Tangannya sempat terangkat, hendak mengetuk, namun ia tak jadi. Ia menarik napas panjang, wajahnya datar tapi matanya menyimpan letupan emosi yang sulit disembunyikan.
Tak lama kemudian, pintu terbuka sedikit. Aurelia muncul dengan pakaian santai berwarna abu, rambutnya digelung rapi. Tatapannya tenang, meski dalam matanya tampak ada kegelisahan kecil.
“Kenapa datang ke sini, Leo?” tanyanya datar, namun nadanya menyiratkan kewaspadaan.
Leo menatapnya dalam, tatapan itu tajam seperti pisau yang baru diasah. “Kalau kau mau bermesraan dengan kekasihmu itu,” suaranya rendah namun tegas, “jangan di rumah ini. Lakukan di apartemenmu, Aurel.”
Aurelia membeku. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Ia menatap Leo dengan wajah kaget, mencoba membaca keseriusan suaminya. “Kau... kau lihat kami?” ucapnya setengah berbisik.
Leo tak menjawab, hanya menghela napas panjang, rahangnya mengeras. “Aku tidak perlu melihat. Arinda yang melihatmu.”
Kata-kata itu membuat darah di wajah Aurelia seolah menghilang. Ia menatap lantai, lalu Leo lagi, suaranya nyaris tak terdengar. “Arinda… melihat?”
Leo mengangguk pelan, langkahnya mendekat satu langkah hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Dia kaget. Tapi tenang saja.”
Tatapannya dingin menusuk, “Arinda tidak akan menceritakan itu ke siapa pun. Aku yang jamin.”
Aurelia mematung di tempat, bibirnya bergetar pelan. Ia tahu suaminya tak pernah bicara dua kali soal hal seperti ini.
“Leo… aku—”
Namun Leo tak memberinya kesempatan. Ia memotong cepat, suaranya tajam namun tenang, “Aku tidak ingin masalah ini meluas. Aku tidak peduli pada pilihan hidupmu, Aurel. Tapi jangan libatkan rumah ini. Aku masih punya harga diri sebagai suami di mata orang lain.”
Ia menatap dalam ke mata Aurelia untuk beberapa detik yang terasa sangat panjang. Setelah itu, tanpa menunggu balasan, Leo berbalik, langkahnya mantap meninggalkan kamar itu.
Pintu tertutup lagi.
Dan Aurelia hanya bisa berdiri memandangi punggung pria yang baru saja mengingatkannya dengan cara paling dingin sekaligus menyakitkan. Ia menggigit bibir, menahan air mata, bukan karena takut — tapi karena malu.
Sementara itu, di lantai tiga, Arinda sedang duduk di tepi tempat tidur. Ia memeluk bantal kecil berwarna putih, wajahnya tampak sendu. Sofia yang baru masuk dari dapur membawa segelas susu hangat tersenyum lembut melihat nona kecilnya itu masih terjaga.
“Nona belum tidur?” tanya Sofia pelan, menaruh susu di nakas dekat tempat tidur.
Arinda menggeleng pelan. “Belum, Mbak… Mas Leo belum datang.”
Ia melirik jam di dinding. Jarum panjang sudah melewati angka dua belas. “Padahal Arinda udah siap bobok dari tadi…” gumamnya polos.
Sofia tersenyum samar, lalu duduk sebentar di kursi dekat jendela. “Tuan masih di kamar Nyonya Aurel, Nona. Mungkin lagi bicara hal penting.”
Wajah Arinda langsung berubah murung. Tangannya yang semula memegang bantal kini menunduk pelan. “Mas Leo... di kamar Mbak Aurel?” tanyanya dengan suara kecil, seolah takut mendengar jawaban yang pasti.
Sofia mengangguk lembut. “Iya, Nona. Tapi tidak usah khawatir. Tuan cuma bicara.”
Arinda tidak menjawab. Ia hanya menatap jendela kamar yang terbuka sedikit, melihat sinar bulan masuk lewat tirai tipis. Dalam hati kecilnya, ia tak tahu kenapa terasa sesak. Ada rasa aneh di dada—campuran antara rindu, cemburu, dan takut kehilangan.
Ia memeluk bantalnya lebih erat. “Mbak Sofia,” katanya pelan, “Mas Leo sayang nggak, ya, sama Arinda?”
Pertanyaan itu membuat Sofia menatapnya iba. “Tuan sangat sayang sama Nona. Kalau nggak, mana mungkin Nona dibawa ke Swiss, dikasih kamar sebagus ini, dan dijaga sedetail itu?”
Arinda mengangguk pelan, tapi matanya tetap sedih. “Tapi kenapa Mas Leo ke kamar Mbak Aurel, bukan ke sini?”
Suaranya makin kecil, nyaris tenggelam di udara malam yang tenang.
Sofia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia tahu nona kecilnya masih terlalu polos untuk memahami hubungan serumit ini.
Akhirnya ia hanya tersenyum lembut dan berkata, “Tuan cuma sibuk, Nona. Sekarang sudah malam. Lebih baik Nona tidur, ya. Kalau Nona terus terjaga, nanti Tuan marah karena Nona nggak istirahat.”
Arinda menatap Sofia, lalu tersenyum tipis. “Iya deh, Mbak. Arinda tidur aja.”
Ia berbaring pelan, menarik selimut sampai ke dada. “Mbak Sofia juga istirahat ya, nanti capek terus dimarahi Mas Leo,” katanya polos sebelum memejamkan mata.
Sofia tersenyum, mematikan lampu, lalu menutup pintu dengan pelan.