Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 17
Meghan duduk menghadap pria asing itu, rasa penasaran membuncah dalam dirinya, bagai ombak yang tak sabar menerjang pantai. Ia tak sabar ingin mendengar cerita apa yang sebenarnya terjadi.
"Aku menemukanmu di depan toilet di hotel London, tepatnya di The Green Room di The Londoner Hotel. Di sana, kamu menabrakku, tubuhmu limbung, kudengar napasmu sudah tidak beraturan, tersengal-sengal," ucap pria itu, memulai ceritanya.
"Kamu hanya berkata 'tolong aku', setelahnya kamu pingsan. Dari dalam toilet wanita, kulihat ada lima orang pria sudah babak belur, wajah mereka lebam. Apa kamu yang menghajar mereka?" tanya pria itu, menyelidik.
Mendengar cerita pria itu, ingatan Meghan langsung berputar kembali ke malam itu, bagai kaset yang diputar ulang. Setelah ia berhasil menyelamatkan Regina, beberapa pria masuk, mata mereka berbinar liar bagai serigala yang melihat mangsa. "Wah, tinggal satu. Nggak papa lah, dia juga seksi," ucap salah satu pria itu, suaranya serak dan menjijikkan.
Meghan menatap para pria itu dengan tatapan meremehkan, bagai seorang ratu yang memandang rendah rakyat jelatanya. Ia mengelung rambut hitam panjangnya, memperlihatkan betapa mulus punggungnya yang terbuka. Ia mengenakan dress dengan bagian punggung yang terbuka hingga ke pinggang, juga ada belahan di bagian paha hingga ke bawah, memperlihatkan kakinya yang jenjang dan indah.
Bugh... bugh... prang... brak...
Suara pukulan, tendangan, dan pecahan kaca menggema di dalam toilet, menciptakan simfoni kekerasan yang memekakkan telinga.
Meghan mulai berkelahi dengan kelima pria itu, saling memukul dan menendang, bagai badai yang mengamuk. Namun, ia mulai kehabisan tenaga, tubuhnya terasa semakin berat, bagai batu yang ditarik ke dasar laut. Hingga akhirnya, ada seorang pria dari belakang menyuntikkan sesuatu ke bagian pundaknya, cairan itu mengalir deras bagai racun yang mematikan. Dengan sisa tenaga yang ada, ia menendang pria itu hingga terpental, lalu berlari keluar dari toilet setelah berhasil merusak kuncinya, meninggalkan jejak kehancuran di belakangnya.
Meghan memang ingat, setelah ia keluar dari toilet itu, ia menabrak seorang pria yang tengah berjalan dengan kelompoknya, sosoknya tinggi dan tegap bagai pohon yang kokoh. Setelahnya, pandangannya mengabur, dan gelap.
"Mau tahu apa yang terjadi selanjutnya?" tanya pria itu dengan raut wajah genit yang membuat Meghan jijik melihatnya, bagai melihat lintah yang menempel di kulit. "Sebelumnya, bolehkah aku tahu namamu, Nona?"
"Meghan," ucapnya singkat, tanpa senyuman. "Meghan?" ucap lirih pria itu, seperti tengah mengorek ingatan yang lama terkubur. "Lanjutkan," pinta Meghan, tak sabar.
"Sepertinya kamu diberi obat perangsang. Malam itu, setelah menghadiri acara, aku berniat langsung pulang ke Indonesia dengan pesawat pribadi. Aku juga bingung, akan kuapakan kamu," ucapan pria itu membuat Meghan terbelalak, matanya membulat sempurna. "Emangnya aku barang, kok mau diapakan?" pikir Meghan, geram dalam hati.
"Dengan jet pribadi? Pantas saja aku tak merasakan apa pun," pikir Meghan, otaknya berputar mencari jawaban atas kebingungannya.
"Jadi, kubawa saja kamu ke Indonesia. Tenang, nanti akan kuantar kembali ke London, tapi setelah pekerjaanku di sini selesai," ucapnya, seolah memberikan janji yang tak pasti.
"Khm..." pria asing itu berdeham, seolah tengah mengendalikan sesuatu yang besar dalam dirinya. "Kamu memperkosa ku," ucap pria itu, tatapannya lurus menusuk mata Meghan.
Bugh... bugh... bugh...
Meghan langsung memukuli pria itu dengan bantal kecil di pangkuannya, amarahnya meledak bagai gunung berapi yang memuntahkan lava panas. Ia geram dan marah, sesuatu yang ia jaga mati-matian justru malah dinikmati oleh pria tak dikenal seperti dirinya.
"Heiii... tunggu, tenanglah! Aku akan bertanggung jawab," ucap pria itu, sembari merentangkan tangannya seperti sebuah tameng, melindungi kepalanya dari pukulan Meghan.
Gerakan Meghan terhenti, mendengar ucapan pria itu, jantungnya berdebar kencang bagai genderang perang. Dadanya masih bergerak naik turun, napasnya tersengal-sengal.
"Maaf," ucap pria itu lirih, suaranya bagai bisikan angin. Ia menggenggam tangan Meghan, menariknya pelan hingga kembali duduk di sofa.
"Maaf, aku nggak punya pilihan lain. Sebelumnya, aku sudah membuatmu berendam di air yang dingin, dan menguncimu di kamar mandi," ucapnya, mencoba menjelaskan tindakannya.
"Entah kamu itu manusia beneran atau mutan, kamu beneran kuat banget sampai bisa menjebol kunci kamar mandi di jetku," sambung pria itu, tatapannya menyelidik.
Mata Meghan terbelalak, terkejut dengan pengakuan pria itu. Apa benar ia sekuat itu?
"Tapi..." ucap pria itu ragu, menggantungkan kalimatnya di udara. "Kamu seksi," lanjutnya, setelah mengatakan itu, wajahnya seolah memancarkan kepuasan dan kebanggaan yang aneh.
Meghan mengerutkan keningnya, bingung dan jijik dengan perkataan pria itu. "Maaf, awalnya kupikir kamu wanita bayaran, dilihat dari pakaianmu juga ada lima pria sekaligus di dalam toilet," lanjut pria itu, mencoba membela diri.
Bugh... bugh... bugh...
Meghan kembali memukulinya dengan bantal, amarahnya kembali tersulut bagai api yang disiram bensin. "Heiii... stop! Iya, iya, maaaf, iya! Kamu cantik kalau lagi birahi," teriak pria itu, berusaha menghentikan serangan Meghan.
Bukannya berhenti, Meghan justru menambah kekuatan pukulannya, melampiaskan seluruh kekesalan dan amarahnya.
Pria itu bangkit dan berlari, tertawa puas, meninggalkan Meghan di kamar bersama amarahnya yang membara.
Meghan terduduk dengan napas tersenggal, dadanya naik turun dengan cepat. "Kamu memperkosa ku," ungkapan itu terus mengganggu pikirannya, bagai duri yang menusuk-nusuk hatinya.
Kilas ingatan itu kembali menghantuinya, seperti pecahan-pecahan kaca yang tajam, disusun menjadi gambaran yang memalukan. Mulai dari ia yang mencumbu pria itu dengan liar, membuka paksa kemejanya, membuka gespernya, dan suara desahannya yang memohon lagi dan lagi.
"Akh..." Meghan berteriak frustrasi, ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Mungkin saat ini wajahnya sudah merah padam seperti tomat yang matang, ia sungguh malu akan kebrutalannya semalam, merasa dirinya seperti wanita malam saja.
Ia menggelengkan kepalanya cepat, berusaha menyingkirkan ingatan itu sejauh mungkin. Ia memilih merebahkan tubuhnya, berbalik, dan menutupi wajahnya dengan bantal, berharap bisa menghapus semua yang terjadi.
Sungguh, jika ia bisa memutar waktu, ia lebih baik terjun dari lantai paling tinggi dan berteriak sekencang mungkin, daripada harus mengalami kejadian memalukan ini.
Tak terasa malam tiba. Bagi Meghan, waktu di Indonesia melesat lebih cepat daripada di London, seolah jarum jam berpacu tanpa henti. Terdengar ketukan pintu. "Nyonya, Tuan meminta Anda keluar dan makan malam bersama," ucap suara pelayan setengah baya itu, terdengar sopan namun tegas.
Meghan dengan enggan bangkit dari ranjang dan keluar dari kamar. Perlahan ia menuruni tangga yang sedikit memutar, bagai labirin yang menyesatkan. Ia melangkah dengan pasti, namun suara pelayan itu mengejutkannya, "Nyonya, maaf, itu pintu keluar. Meja makannya ada di sana," tunjuk pelayan itu dengan tubuh setengah membungkuk sebagai tanda hormat.
Meghan tertegun, wajahnya memerah, bagai kepiting rebus. Ia segera berbalik, menutupi wajahnya, dan berlari kecil dengan kaki telanjangnya, seolah ingin menghilang ditelan bumi.
Di meja makan, sudah duduk pria itu ya, pria yang membuat kekesalan Meghan memuncak. Pria itu tersenyum tipis, senyumnya bagai seringai iblis, seolah sedang mengejek dirinya yang salah jalan.
Bukan Upik Abu
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, like mu semangat ku 🩷