Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Kau Salah Lawan
Tya berjalan bersisian dengan Leony. Kepala tegak, kepercayaan diri dan ketenangan terpancar di wajahnya sembari bersikap waspada. Dari awal jumpa di pernikahannya, anak perempuan satu-satunya Ayah Hilman itu sudah menunjukkan sikap angkuh. Maka sikap humble saat di ruang makan tadi wajar jika harus dicurigai. Apakah minta diantar ke toilet hanya modus untuk melakukan perundungan atau memang jujur takut sendirian?
"Pegangin tas aku! Takut kena kuman dalam toilet. Soalnya harganya 30 juta." Leony tanpa permisi menyampirkan tasnya di bahu kanan Tya.
Dih. Mulai kelihatan wujud kuntilanaknya. Oke, setelah ini mau apa lagi. Jangan remehkan yang namanya Cantya Lova, S.T. RONG.
Tya menatap punggung Leony yang masuk ke bilik toilet di ujung kiri. Pandangannya mengedar ke sekeliling. Dua pintu toilet lainnya yang tertutup dengan kode hijau di bawah handle menjadi petunjuk jika di dalamnya kosong.
Berarti aku cuma berduaan sama si kuntilanak.
Sambil menunggu, Tya berkaca di cermin besar di hadapan wastafel yang berjajar dua. Memperbaiki kerapihan pasmina warna krem yang membingkai wajahnya. Menepuk-nepuk hidung dan kening yang sedikit berminyak dengan selembar tisu. Tak berselang lama, dari pantulan cermin ia melihat Leony keluar dan menghampiri. Anak SMA tapi riasan wajah seperti dewasa dengan mengenakan rok mini dan atasan crop top mengikuti trend Korean style.
"Tahu nggak harga seporsi wagyu yang kamu makan itu harganya berapa?" Leony menekan kran air wastafel. Membasuh kedua tangannya sambil memandang Tya lewat pantulan cermin.
"Nggak tahu. Aku datang sebagai undangan bukan yang bayar. Emang kenapa tanya?"
"Biar lo tahu. Harganya satu setengah juta per porsi. Baru nyoba makanan premium gitu ya? Nggak ngaku juga udah keliatan kok dari wajah." Leony menyeringai sinis.
"Wah pantesan enak pake banget. Worth it harga sama rasa." Tya menanggapi dengan santai. "Udah selesai kan. Nih tasnya." Ia menyampirkan tas di bahu Leony. Membalas yang tadi.
Leony mendelik tidak suka. Menahan tali tas yang hampir melorot dari bahu kirinya. "Kak Diaz lihat apanya sih dari lo. Pakaian kampungan gini. Mantan-mantan Kak Diaz tuh cantik-cantik, high class. Beneran ya lo jebak Kak Diaz biar bertanggung jawab. Modus orang susah biasanya kan gitu."
Tya menaikkan satu alisnya. Sama sekali tak terpancing emosi. "Berapa umurmu, dek?"
"Gua nggak sudi dipanggil adek. Contoh tuh style Kak Gena. Itu baru kakak ipar, nggak malu-maluin. Panggil gue Leon!"
Kalimat bernada angkuh disertai tatapan tajam yang siap membunuh mental, tak membuat nyali Tya menciut. Dengan kedua tangan terlipat di dada, ia balas menatap tegas. "Kau harus panggil aku Kak Tya atau Mbak Tya. Karna suka tidak suka, aku ini kakak iparmu. Menantu kesayangan Ibu Suri. Belajar etika kan di sekolah?"
"Kau...beraninya menggurui aku." Leony menoyor kening Tya dengan telunjuknya disertai wajah memerah karena marah. "Udah miskin sok ngatur gue. Na jis punya kakak ipar gaya kampungan gini," pungkasnya sambil bergidik.
"Sudah? Silakan Leon keluar duluan ya. Aku sakit perut nih. Atau mau nungguin? Biar bareng lagi keluarnya."
"Siapa elo harus gue tungguin. Jijay." Leony bergidik. Kembali membasuh kedua tangan dan menampung airnya di telapak tangan. Dan...dengan gerak cepat airnya disiramkan ke wajah Tya. Lalu tertawa jahat.
Wajah Tya basah kuyup hingga ke dada. Blouse nya tak kelihatan basah karena berwarna hitam. Tetapi tepian kerudungnya tercetak jelas basah.
"Lo mau ngadu? Pikir ulang ya. Asal lo tahu, Ayah akan murka kalau acaranya dikacaukan oleh masalah-masalah sepele. Biarkan dia happy seolah anak-anaknya beneran akur. Karena sekalinya Ayah murka, imbasnya Ibu Suri kena amuk, Mama juga sama. Dan jika itu terjadi, lo harus tanggung jawab karna lo yang awalnya ngadu. CAMKAN!" Leony kembali menoyor kening Tya yang menundukkan kepala dengan raut wajah ketakutan dan bahu mengkerut. Barulah ia pergi dengan sisa tawa yang masih berderai.
***
Sudah dua kali Diaz melirik arloji. Mengukur waktu kepergian Tya yang mengantar Leony ke toilet. Perasaan tidak tenang karena tidak percaya jika adik durjana benar-benar hanya minta antar.
Karena sudah lewat lima belas menit belum juga kembali, Diaz berdiri hendak menyusul. Tetapi lebih dulu Leony datang seorang diri dengan sikap yang tenang dan ceria seperti saat tadi pergi.
"Tya mana?"
"Masih di toilet, Kak. Nyuruh aku duluan aja. Kak Tya mau touch up dulu, suka lama katanya."
"Bu, aku juga mau ke toilet dulu," Diaz pamit pada Ibu Suri yang ditanggapi dengan anggukan.
Bukan toilet pria yang dituju, tetapi toilet wanita sembari ponsel menempel di telinga kanan. Menghubungi Tya.
"Ya, Mas."
"Di mana?"
"Di toilet. Udah selesai kok. Sekarang otw."
"Aku nunggu di depan pintu." Akhir sambungannya bersamaan dengan tibanya langkah Diaz di depan pintu yang di atasnya bertuliskan 'Ladies Room'. Tak lama kemudian Tya muncul sambil nyengir.
"Kenapa basah gini?" Diaz menangkup kedua sisi wajah Tya untuk memastikan jika pasmina sekeliling wajah itu basah.
"Aku cuci muka kebanyakan airnya. Duh maaf ya kalau bikin malu. Apa bisa langsung pulang atau masih lama?" Tya memundurkan kepalanya. Otomatis tangan Diaz luruh ke bawah.
"Aku nggak percaya. Dikerjai si Leon ya? Jujur aja jangan takut"
"Nggak kok."
"Bohong denda!"
Tya memutar bola mata. "Apa dendanya?"
"Dicium bibir," sahut Diaz dengan enteng.
Tya mengeplak lengan Diaz. Kali ini dengan mata melotot. "Ku bilang apa, Mas Kud eh Mas Dias. Yang normal-normal aja. Perkara cium-ciuman itu udah jadi regulasi larangan aku. Melanggar, denda 2 juta. Udah ah. Bisa pulang sekarang nggak? Aku harus lepas jilbab biar nggak masuk angin." Tya mengerucutkan bibirnya.
"Oke. Tapi kau utang penjelasan, Tya. Aku yakin ini kerjaan si Leon"
"Iya nanti aku jelasin di rumah. Di sini nggak leluasa dan nggak aman." Tya lebih dulu berjalan sebelum tangan Diaz berhasil menyentuh lagi sisi wajahnya. Bukan apa-apa. Tangan yang menyentuh itu bukan hanya mengenai kerudungnya, tetapi menempel ke pipinya juga. Tidak nyaman.
Diaz mensejajarkan langkah. Menautkan jemari saat akan memasuki private room. Ia minta izin pulang sekarang dengan alasan sudah malam. Beruntung semua orang tak memperhatikan dengan jeli keadaan penampilan Tya.
"Kita udah selesai makan. Emang udah waktunya pulang." Hilman lebih dulu berdiri dari kursinya. Bill sudah dibayar saat Diaz tadi pergi. Ia memimpin paling depan meninggalkan ruangan dengan Leony yang menggelayut di lengannya.
Diaz dan Tya berjalan paling belakang setelah Ibu Suri dan Mama Selly yang berjalan bersisian. Bagi Tya ini adalah pemandangan tak biasa dan aneh. Ah, emang kelakuan orang-orangnya juga aneh semua.
"Loh, kenapa basah gini, Tya?" Selly baru menyadari saat perpisahan di lobi sambil berpeluk cium. Dua mobil sudah berjajar dengan mobil Ayah Hilman paling depan.
"Tadi cuci muka kebanyakan airnya." Tya meringis.
"Di mobil dibuka ya. Nanti masuk angin lho."
"Iya, Ma. Nanti dibuka."
Giliran Tya berhadapan dengan Leony yang memasang senyum dan tatapan berkilat kepuasan, ia pun membalas dengan senyum penuh arti lalu memeluk sambil berbisik, "Siap-siap tabur tuai. Kau salah lawan. Backingan aku Kapten Joko. Semoga tidurnya masih bisa nyenyak ya."
heeeemmmm jd penasaran bgaimn tanggapan ayah Hilman bgtu tau anak sulung ny yg manja itu telah berperilaku buruk terhadap mantu kesayangan nya itu.
bukannya lecet tapi bekasnya ntar gak ilang2.
mas kudis sdh mulai menodai kepolosan tya. sengaja amat jiwa ingin menggodanya.