Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Uap hangat masih menguar dari balik pintu kamar mandi Karmel, membawa aroma lembut shower gel bergandar lavender dan vanilla. Karmel berjalan keluar, jejak kaki basah tertinggal di lantai kayu. Sehelai handuk katun putih yang lembut membalut tubuhnya dengan erat, menutupi dari dada hingga pertengahan paha, menyerap tetesan air yang masih mengalir dari ujung rambut hitamnya yang basah dan terurai. Kulitnya yang bersinar kemerahan akibat air hangat, ditambah kilauan lampu kamar temaram, membuatnya terlihat seperti lukisan yang hidup.
Namun, kedamaian sesaat itu terusik oleh dering ponsel yang tak henti-hentinya, seperti alarm bahaya yang memecah kesunyian. Bunyinya bergema di ruangan yang minimalis itu, penuh desakan. Karmel menghela napas, lalu berjalan menuju meja riasnya dengan langkah masih basah. Tangannya yang lembab mengambil ponsel itu.
Layar menyala, memancarkan cahaya dingin yang menyoroti wajahnya. Mata hijau hazel-nya membesar. 15 panggilan tak terjawab. 43 pesan baru. Semuanya dari satu nama: RENZI. Ikon notifikasi berjejal, seperti teriakan bisu yang memenuhi layar.
Sebelum sempat ia buka satu pun, ponsel itu bergetar lagi di telapak tangannya. Kali ini, permintaan VIDEO CALL. Gambar profil Renzi yang dingin—foto profesional dengan latar belakang hitam—seolah menantang.
Jari Karmel mengetuk 'terima' hampir tanpa sadar.
Wajah Renzi langsung memenuhi layar. Latar belakangnya gelap, mungkin di dalam mobil atau ruangan yang minim cahaya. Namun, matanya—yang hitam pekat—terlihat begitu tajam dan terang di balik layar. Dia tidak langsung bicara. Tatapannya menyapu, bukan ke wajah Karmel, tetapi menuruni lehernya, ke bahu yang masih basah, hingga ke bagian handuk yang melingkar di dada. Pandangannya intens, mengonsumsi, penuh dengan kepemilikan yang gelap. Nafasnya, yang terdengar agak berat dari speaker, adalah satu-satunya suara untuk beberapa detik yang terasa panjang.
"Renzi!" seru Karmel, suaranya meninggi menggabungkan rasa kesal, malu, dan amarah. Tangannya refleks menarik handuk lebih tinggi.
Panggilan itu seolah membangunkannya dari tran. "Besok kamu ikut aku!" suara Renzi pecah, datar namun penuh tekanan baja. Tidak meminta. Memerintah.
"Nggak bisa. Aku udah ada janji," bantah Karmel, mencoba mengeras. Pipinya masih memerah karena uap, atau mungkin karena kemarahan.
"Batalin janjinya." Kalimat pendek. Tak terbantahkan. Seolah dunia harus berhenti berputar jika Renzi menghendaki.
"Kamu nggak bisa seenaknya ngatur aku, Renzi!" Karmel membentak, darahnya mendidih. Keteguhan, kecerdasan, dan keberaniannya yang biasa ia andalkan di ruang rapat, semua naik ke permukaan. "Aku bukan boneka kamu!"
Wajah Renzi di layar tampak makin gelap, ekspresinya tidak berubah tapi aura dinginnya terasa menembus layar. "Aku nggak peduli." Suaranya rendah, berbahaya, seperti es yang retak sebelum longsor. "Besok kamu ikut aku. Aku jemput jam satu siang."
Bliip.
Panggilan itu diputus begitu saja. Layar kembali ke menu percakapan, menampilkan tumpukan pesan yang belum terbaca. Gambar wajahnya yang dingin menghilang, meninggalkan Karmel terduduk di tepi tempat tidur, tubuhnya gemetar bukan karena kedinginan.
"Apa-apaan sih! Suka seenaknya sendiri aja!" teriaknya pada ponsel yang diam, suaranya pecah antara marah dan sesuatu yang hampir mirip kekecewaan yang dalam. Dengan gerakan penuh frustrasi, ia melemparkan ponsel itu ke arah kasur. Benda itu memantul lembut sebelum tenggelam di antara lipatan selimut.
Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi tangan yang mengepal di atas pangkuannya masih berkeringat. Tatapannya kosong menatap dinding. Janji besok adalah dengan Bima, untuk pameran seni yang dia sendiri yang tertarik. Lalu datanglah Renzi, dengan cara khasnya yang destruktif dan memaksa, merobek semua rencana dengan klaim kepemilikan yang tak pernah ia akui.
Cermin di seberang tempat tidur memantulkan bayangannya: seorang wanita cantik dan tangguh, terbungkus handuk, terlihat rentan dan kacau oleh satu panggilan telepon. Air mata panas—dari kemarahan, dari kebingungan, dari rasa sakit karena masih membiarkan dirinya digoncang olehnya—mengambang di pelupuk matanya, tetapi tidak jatuh. Karmel mengangkat dagunya. Di balik segala emosi itu, pikirannya yang cerdas sudah bekerja. Dia membenci caranya. Tapi dia juga mengenal Renzi. Panggilan 15 kali, puluhan pesan, dan tatapan penuh api tadi… itu bukan Renzi yang dingin dan tak tergoyahkan. Itu adalah retakan. Dan bagian dari dirinya—bagian yang masih mencintainya, yang mengenali pria licik dan manipulative itu lebih dari siapa pun—merasa getaran kecil, berbahaya, dari sesuatu yang mirip kemenangan.
Tapi di sisi lain, bayangan Bima, senyumnya yang hangat, caranya mendengarkan, dan ketulusannya yang tanpa tuntutan, muncul dengan jelas. Kontrasnya begitu menyakitkan.
Dia berbaring, menatap langit-langit. Ponsel di kasur, meski diam, terasa seperti bom waktu. Dan Karmel tahu, besok siang, ketika jam menunjukkan pukul satu, pertempuran baru akan dimulai. Bukan hanya pertempuran dengan Renzi, tapi pertempuran dalam hatinya sendiri.
***
Jam dinding di ruang tamu rumah Karmel menunjukkan pukul 10.45. Sinar matahari Sabtu yang cerah menerobos tirai kain linen, membuat debu-debu kecil berterbangan seperti emas dalam balutan cahaya. Suasana tenang pagi itu tiba-tiba pecah oleh bel pintu yang berdering tiga kali, tegas dan berjarak, seperti kode yang dikenali.
Nani, ibu Karmel, yang sedang merapikan rak buku, buru-buru berjalan ke pintu. Wajahnya yang ramah langsung berseri saat melihat siapa yang berdiri di balik pintu. "Renzi! Wah, tumben nak!" sambutnya, membuka pintu lebar-lebar.
Renzi berdiri di ambang pintu, bagai siluet sempurna yang memotong cahaya pagi. Ia mengenakan kaus hitam polos dan celana chino beige yang sederhana namun terlihat mahal, rambutnya sedikit acak tapi sengaja ditata begitu. Di tangannya, ia membawa dua kertas kado bermotif elegan yang diikat pita. Senyumnya, yang jarang terlihat, sedikit mengembang—hangat, terukur, dan sempurna untuk konsumsi seorang ibu.
"Ibu," sapanya, suaranya lembut dan penuh hormat, sangat berbeda dari nada perintahnya di telepon semalam. "Ini, cuma buah tangan sederhana. Untuk ibu." Ia menyodorkan bungkusan itu. Satu berisi scarf sutra bermerek terkenal, warna yang ia tahu favorit Nani. Satunya lagi berisi kue-kue premium dari toko yang mustahil didapat tanpa reservasi lama.
"Oh, Renzi, kamu selalu ingat ibu," ujar Nani, sumringah, matanya berbinar. Ia menerima hadiah itu seperti menerima harta karun. "Aduh, dikamar ibu isinya hadiah dari Renzi semua, nih. Dari vas antik sampai selimut wol."
Karmel, yang baru saja keluar dari kamarnya dengan rambut masih berantakan dan mengenakan piyama katun pendek serta tank top yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, langsung meremukkan wajah malas. Dia menyandar di pintu kamar, tangan di silang di dada. Matanya yang masih mengintip memancarkan sinar skeptis. Strategi, pikirnya dalam hati. Ini semua taktik liciknya untuk menguasai medan perang lewat garis belakang.
"Kayaknya aku juga sering beliin ibu hadiah deh. Kok nggak pernah dipuji gitu," sindir Karmel, suaranya serak karena baru bangun.
Nani hanya melambaikan tangan. "Iya... iya... Karmel juga anak baik, sayang," balasnya sambil tetap memandangi Renzi dengan kasih sayang. "Ayo, Renzi masuk! Jangan berdiri di pintu." Dengan gesit, Nani menarik lengan Renzi, membawanya masuk ke ruang tamu yang nyaman dan penuh tanaman hias itu.
Renzi melangkah masuk, dan saat melewati Karmel, matanya yang hitam itu melirik ke arahnya. Hanya sepersekian detik. Tapi di dalamnya, terbaca jelas sebuah pesan: Aku selalu menang. Senyum tipis, hampir tak terlihat, melintas di bibirnya sebelum ia segera kembali ke ekspresi santunnya.
"Tumben main ke sini, Renzi? Biasanya sibuk banget, telepon aja jarang," ujar Nani sambil bergegas ke dapur kecil untuk membuat kopi.
Renzi duduk di sofa, posturnya rileks tapi tetap penuh kewibawaan. "Mau ajak Karmel keluar, Bu," ujarnya, langsung to the point, memanfaatkan momentum.
"Iya... iya, boleh banget!" Nani berseru dari dapur, suara cerincing panci terdengar. "Ibu denger juga Karmel sekarang udah pindah ke kantor kamu lagi, kan? Bagus, tuh. Deket, jadi kamu bisa jagain."
Renzi mengangguk pelan sambil menyeruput kopi hitam yang baru dihidangkan. "Betul, Bu. Lebih efisien."
"Terpaksa, Bu! Karena dipaksa!" tegur Karmel, yang kini duduk di kursi berlawanan, menarik selimut kecil untuk menutupi kakinya. Suaranya mengandung letupan kecil.
Nani hanya tertawa ringan. "Ah, dipaksa apanya. Kalau perlu dipaksa nikah aja sama kamu, Renzi," kekehnya, seperti melontarkan lelucon yang dianggapnya sangat lucu.
"Bu!" Karmel meradang, pipinya memerah karena kombinasi malu dan marah.
Renzi menempatkan cangkirnya di atas nampan dengan perlahan. "Yang penting ibu setuju," ucapnya santai, seperti sedang membicarakan cuaca.
"Asal sama Renzi, ibu setuju," ulang Nani dengan keyakinan penuh, duduk di samping Renzi dengan sikap memihak yang jelas.
Karmel mendengus keras, matanya menyipit menatap Renzi yang duduk tenang seperti raja yang baru saja memperluas wilayah kekuasaannya. Di balik ketenangannya, Renzi tahu betul kekuatan sosok seorang ibu yang menyukainya. Ini adalah langkah catur yang brilian.
"Kalau gitu," Renzi mulai lagi, suaranya seperti madu yang tumpah, namun bermuatan listrik. "Nanti kalau Karmel deket sama cowok lain, ibu larang ya." Matanya, yang seolah tak bersalah, berpindah ke Karmel. Tatapan itu panas, penuh klaim, dan peringatan.
"Pasti, Renzi! Tenang aja," jawab Nani dengan semangat, tak menyadari permainan psikologi yang sedang terjadi.
"Ibu! Aku bukan anak kecil, ya!" Karmel membentak, bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang seksi terlihat tegang. "Dan kamu, Renzi! Jangan ngomong yang macam-macam ke ibu aku!" jarinya menunjuk-nunjuk ke arah Renzi, suaranya meninggi namun getar di ujung nadanya menunjukkan betapa goyahnya pertahanannya.
Renzi tak bergeming. Dengan gerakan halus, ia membungkuk sedikit seakan mengambil sesuatu, dan berbisik hanya untuk didengar Karmel yang jaraknya beberapa langkah, "Aku serius, kok."
Empat kata itu, yang diucapkan dengan nada rendah namun mendalam, seperti pukulan langsung ke jantung Karmel. Wajahnya yang sudah memerah tadi, kini menjadi merah padam. Dadanya naik turun cepat. Di dalam kemarahan itu, ada getaran aneh—sebuah pengakuan liar dari hatinya bahwa ancaman licik ini, klaim posesif ini, justru membuat darahnya bergerak lebih kencang daripada semua kebaikan lembut Bima. Dia membencinya. Dia sangat membencinya. Dan dia tahu itu sangat tidak sehat.
"Udah, sana, Mel, siap-siap!" perintah Nani, memecah ketegangan yang hampir meledak.
Karmel menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa-sisa harga diri dan logikanya. "Lagian mau kemana sih? Semalem bilangnya siang. Jam segini udah nongol," gerutunya, berusaha terdengar kesal dan tidak terpengaruh.
Renzi hanya tersenyum, senyum lega seorang pemenang yang tahu bidaknya sudah bergerak sesuai rencana. "Persiapan butuh waktu," jawabnya singkat, matanya tak lepas dari Karmel, menikmati setiap detil reaksinya—dari kerutan di dahinya, hingga cara bibirnya mengatup rapat menahan protes.
Matahari semakin tinggi, menerangi ruang tamu dan tiga orang di dalamnya: seorang ibu yang bahagia melihat calon menantu idaman, seorang pria jenius yang licik sedang memenangkan pertempuran tanpa satu pun tembakan, dan seorang wanita cantik dan cerdas yang terjepit antara amarah, cinta yang dalam, dan kenyataan pahit bahwa hati memang sering kali lebih bodoh daripada pikiran.
Yahh begitulah pemirsaa benci tp cinta ya begini, kalo ada yg nyalahin Karmel mungkin blm pernah ngerasain benci tp cinta ya