Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: AIR MATA YANG DITAHAN, KEKUATAN YANG DICARI
Tekanan yang Harus Ditahan
Rina berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayangannya yang sembab dan lelah. Di sekelilingnya, rumah terasa tenang setelah Arka tidur dan Mala beristirahat, tetapi ketenangan itu hanyalah kulit tipis di atas tekanan yang membara. Ia telah menahan tangis dan kelelahan selama berminggu-minggu, sejak kabar hilangnya Bara.
Ia melihat lingkaran hitam di bawah matanya. Bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Ia baru saja menenangkan Mala yang mendengar gema suara Ayahnya, dan ia masih harus berhadapan dengan Bunda Ida dan Bapak Herman yang mendesaknya untuk menjual aset.
Rina sangat ingin menangis. Ia ingin membiarkan semua beban itu luruh, membiarkan dirinya menjadi Rina yang rapuh, yang hanya ingin suaminya kembali.
Konflik internalnya berkecamuk. Aku ingin menangis, tetapi aku tidak berhak. Bara menderita jauh lebih parah, terdampar sendirian di suatu tempat. Jika aku menyerah di sini, siapa yang akan menjadi tiang rumah bagi anak-anak?
Ia merasa bersalah karena Bara menderita jauh lebih parah, sehingga ia tidak berhak menyerah. Ia menekan air mata itu dengan kuat, memaksakan ketegaran.
Ia memutar keran, membiarkan air mengalir dingin ke tangannya. Ia mengambil air wudu. Gerakan membersihkan diri itu memberinya jeda. Rina bertekad, ia tidak akan mencari pertolongan emosional dari manusia, melainkan langsung dari sumber kekuatan spiritual.
Kejadian Cermin
Rina menggelar sajadah, menghadap kiblat. Ia melaksanakan salat, berfokus hanya pada Allah. Ia tidak berdoa untuk hasil, seperti memohon Bara pulang segera. Ia hanya memohon kekuatan untuk menjalani peran yang harus ia mainkan saat ini—peran tiang rumah.
Ia menyelesaikan salatnya. Ketenangan yang ia peroleh terasa sedikit meredakan beban, tetapi bayangannya di cermin kembali memanggil.
Rina berjalan ke cermin kamar mandi, wajahnya masih basah oleh sisa wudu. Ia melihat bayangannya yang lelah, mata yang sembab, dan bahu yang merosot.
Di detik berikutnya, sesuatu yang aneh terjadi. Bayangannya tidak berubah secara fisik, tetapi ekspresinya. Bayangan itu tersenyum lembut—sebuah senyum yang sangat tenang, damai, dan asing, bukan milik Rina yang sedang kelelahan. Senyum itu memiliki aura karomah yang Rina rasakan sekilas saat Arka membuat gambar sorban di bab sebelumnya.
Rina terperajat. Ia segera mengusap matanya, berpikir itu hanyalah halusinasi karena kurang tidur. Senyum itu hilang.
Namun, ia tahu itu bukan halusinasi. Senyum asing itu seolah menjawab pertanyaan diam Rina: "Kuatkanlah hatimu."
Ini adalah keajaiban mikro, sebuah Divine Echo yang menguatkan tekadnya untuk menolak menangis dan terus berpegangan pada Tawakal. Kekuatan spiritual yang ia cari kini ia dapatkan, memberi energi untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Ia merasa dirinya kini memiliki tameng tak terlihat untuk melawan tekanan logis dari Bunda Ida.
Krisis Kekurangan Air dan Kelelahan
Ribuan kilometer jauhnya, di Pulau Sunyi, Bara berada dalam krisis fisik yang mengerikan. Ia telah menghemat air dari Mata Air 'Bisikan', tetapi persediaannya habis. Mulutnya kering, dan kepalanya sakit berdenyut, tanda dehidrasi yang parah.
Setelah menolak memakan buah yang mencurigakan, Bara tahu ia harus keluar mencari air tawar segera, meskipun ia sangat lemah.
"Jika aku tidak bergerak, aku akan mati, dan Tawakal murni ini tidak akan berguna bagi Rina dan anak-anak," gumam Bara, bergerak tertatih-tatih menuju Jurang Cermin.
Ia bergerak dengan susah payah. Kakinya yang terluka karena ranting kini terasa semakin sakit. Setiap langkah adalah perjuangan, menunjukkan kelelahan ekstrem. Bara memaksakan dirinya untuk tetap berpegangan pada nasihat Wali Allah: ikhlas dan menjalani proses. Penderitaan fisik ini adalah ujian Tawakal yang sesungguhnya.
Ujian Refleksi Diri
Bara terus berjalan hingga ia tiba di Jurang Cermin. Jurang itu adalah cekungan batu kapur yang saat air surut akan menahan air laut tenang, memantulkan bayangan dengan sempurna.
Ia tiba di bibir jurang. Ia melihat pantulan dirinya di air yang tenang. Ia terkejut melihat betapa kurus, lusuh, dan tak berdayanya ia. Janggutnya panjang dan berantakan, kulitnya terbakar matahari, dan matanya cekung. Ini adalah Titik Refleksi terendah fisiknya.
Beginikah penampakan suami yang harusnya menjadi imam keluarga? Bara merasa malu dan rendah diri. Ia telah melepaskan harapan untuk pulang, tetapi kini ia harus menerima dirinya yang tampak menyedihkan.
Ia menyentuh air di Jurang Cermin, merasakan dingin yang tajam di ujung jarinya. Ia tahu ia harus mencari air tawar, tetapi tenaganya hampir habis.
Ketenangan di Jurang Cermin
Tepat saat Bara menatap bayangannya yang tak berdaya di Jurang Cermin, ia merasakan sentuhan hangat tiba-tiba di dadanya. Sentuhan itu bukan sentuhan fisik yang nyata, melainkan sensasi kehangatan spiritual, serupa dengan kehangatan yang ditinggalkan Wali Allah.
Bersamaan dengan kehangatan itu, bayangan dirinya di air yang tenang itu berubah. Pantulan dirinya, yang sedetik lalu terlihat lusuh dan menyedihkan, kini tampak tenang. Bayangan itu tersenyum, sebuah senyum yang damai dan penuh keyakinan. Senyum itu sama persis seperti senyum asing yang dilihat Rina di cermin rumahnya.
Bara terkesiap. Senyum di pantulan itu memberinya dorongan mental yang luar biasa. Ia tidak tahu ini adalah Karomah sinkronisasi yang menghubungkannya dengan Rina, yang baru saja memohon kekuatan di rumah. Yang ia tahu, kehangatan itu menghilangkan sebagian rasa laparnya dan mengisi dadanya dengan keteguhan.
Aku tidak sendirian. Aku harus kuat. Bukan untuk pulang, tapi untuk Tawakal.
Bara memejamkan mata, membiarkan kehangatan itu meresap. Ketika ia membuka mata, senyum di pantulan itu telah hilang, digantikan oleh wajahnya yang lelah dan kurus, tetapi kini ada cahaya keyakinan di matanya. Ia mendapatkan dorongan spiritual yang ia butuhkan untuk melanjutkan perjuangannya.
Luka yang Tersimpan
Rina, kini sudah berpakaian rapi, mencoba memulai hari dengan energi baru yang ia peroleh dari momen spiritual di cermin. Ia berjalan ke kamar Mala.
Mala sudah bangun, tetapi ia memeluk bantalnya erat-erat, seolah melindungi rahasia terbesarnya. Rina duduk di sampingnya.
"Mala Sayang, Ayah pasti sayang sama kamu. Jangan pernah berpikir yang lain, ya Nak," kata Rina, membelai rambut putrinya.
Mala hanya mengangguk pelan, tetapi matanya memancarkan rasa bersalah. Mala merasa ia berbohong kepada Bunda tentang suratnya, dan rasa bersalah itu menyiksanya.
"Bunda tahu, Ayah pasti ingin Mala jadi anak yang kuat, seperti Bunda," lanjut Rina, mencoba menanamkan semangat.
Rina menyadari, meskipun ia sudah berjuang keras, ia gagal menyembuhkan luka tersembunyi Mala. Rasa bersalah itu menusuk Rina. Ia terlalu fokus pada perang spiritual Bara dan krisis fisik Arka, hingga ia mengabaikan luka emosional Nirmala.
Rina memeluk Mala erat-erat. Ia berjanji dalam hati, ia akan menemukan cara untuk meyakinkan Mala bahwa ia dicintai.
Rina bangkit. Energi spiritual yang ia peroleh dari cermin memberinya kekuatan mental, tetapi tubuhnya sendiri mulai menuntut bayaran. Ia merasakan sakit kepala yang menusuk, akibat kelelahan dan tekanan yang terus-menerus. Ia tahu, ia telah mencapai batas kekuatan fisiknya.
Ia harus menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Rina berjalan ke dapur, memaksakan diri untuk tidak menyerah pada rasa sakit kepala dan kelelahan yang mengancam.