Namanya Diandra Ayu Lestari, seorang perempuan yang begitu mencintai dan mempercayai suaminya sepenuh hati. Baginya, cinta adalah pondasi rumah tangga, dan persahabatan adalah keluarga kedua. Ia memiliki seorang sahabat yang sudah seperti saudara sendiri, tempat berbagi rahasia, tawa, dan air mata. Namun, sebaik apa pun ia menjaga, kenyataannya tetap sama, orang lain bukanlah darah daging.
Hidupnya runtuh ketika ia dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai, suaminya, dan sahabat yang selama ini ia anggap saudara.
Di tengah keterpurukannya ia bertemu ayah tunggal yang mampu membuatnya bangkit perlahan-lahan.
Apakah Diandra siap membuka lembaran baru, atau masa lalunya akan terus menghantui langkahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengenang masa lalu
Diandra, wanita itu masih saja terisak di balik pintu. Air matanya tidak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Sesak di dada benar-benar membuatnya hampir kehilangan kesadaran. Perlakuan baik yang ia terima hari ini bukannya menenangkan hati malah menambah luka.
"Aku sudah katakan jangan bertemu mereka lagi!" omel Grace ketika melihatnya menangis.
"Kenapa? Kenapa semua orang baik dan peduli padaku saat menginginkan sesuatu saja?" tanya Diandra, mengenggam tangan sahabatnya yang berusaha menghapus air mata yang terus berjatuhan.
"Dulu mama terus menghinaku. Wanita nggak berguna. Wanita mandul. Beban mas Ramon. Semua penghinaan itu hampir aku dapatkan setiap hari." Diandra menatap sahabatnya.
"Bahkan mama terang-terangan menyambut calon istri mas Ramon di hadapanku, Grace. Dan sekarang mama datang bersikap baik. Meminta aku kembali pada mas Ramon."
"Cup-cup bayi besar aku sini peluk." Grace memeluk tubuh Diandra erat.
"Bahkan kalian pun ada di sekitarku karena ada maunya kan?" lirih Diandra.
Grace mengangguk, membenarkan tuduhan sahabatnya. "Benar aku baik padamu karena menginginkan sesuatu. Aku mau kamu jadi kakak iparku dan ibu untuk Abian." Ia melepaskan pelukannya dan tersenyum pada Diandra.
Menghapus air mata sahabatnya. "Jangan buat dirimu goyah hanya karena kedatangan bu Helena. Mungkin saja dia punya niat buruk apalagi besok adalah sidang ketiga kamu. Jika berjalan lancar dan kamu berhasil membuktikan Ramon selingkuh dan membantah fitnah, maka sidang ke empat adalah putusan perceraian." Grace merapikan rambut Diandra yang berantakan tanpa peduli pada anak kecil yang berdiri tidak jauh dari mereka.
Anak kecil itu adalah Abian, baru bangun tidur dan mencari ayahnya. Akan tetapi malah menemukan ibu guru baiknya menangis di dekat pintu. Di tangan anak kecil itu ada ponsel sang Buna dan sedang tersambung pada ayahnya.
"Akhirnya kamu menghubungi kakak Grace. Pulanglah kita bicara baik-baik."
"Ayah ini Bian bukan Buna. Buna sama ibu menangis."
"Kok bisa Nak?"
"Bian nggak tau."
"Ayah ke sana sekarang."
***
"Putar balik!" perintah Gerald.
"Loh Pak?"
"Saya bilang putar balik Hansen!"
"Baik Pak."
Hansen pun memutar setir kemudi padahal mereka hampir tiba di tempat tujuan yaitu bertemu Alice untuk membicarakan hal sangat penting sebelum sidang di mulai. Namun, Gerald membatalkannya begitu saja usai menerima telepon, entah sepeting apa hal tersebut.
"Ke apartemen Diandra."
"Oh jadi hal yang lebih penting dari mantan istrinya adalah bu Diandra," batin Hansen dan semakin menambah laju mobilnya.
Setelah pembicaraan mereka beberapa hari lalu, sikap Hansen tidak berubah. Masih bekerja seperti biasanya, hanya saja hubungannya dengan Grace tidak lagi sedekat dulu. Hansen memilih untuk menjauh dan memikirkan solusi dari hubungan mereka.
Dia lebih tahu bagaimana kerasnya seorang Gerald jika tidak menyukai sesuatu. Saat keputusannya adalah A, maka selamanya tetap A.
"Nggak perlu ikut, Grace ada di sana," ucap Gerald turun dari mobil.
Pria itu berjalan terburu-buru menuju unit Diandra. Memencet bel tidak sabaran sampai akhirnya dibuka oleh pemiliknya.
"Kamu baik-baik saja?"
"Saya baik-baik saja." Diandra mengangguk dan menatap bingung kuasa hukumnya.
"Kata Abian kamu dan Grace menangis. Jadi saya datang karena khawatir."
"Grace baik-baik saja Pak."
"Begitu." Gerald mengaruk tengkuknya padahal tidak gatal sama sekali.
Lagi pula kenapa dia datang secepat ini hanya karena mendengar Diandra menangis? Padahal Diandra bukan urusannya jika di luar ranah hukum.
"Pak Gerald datang mau jemput Bian?"
"Iya," jawabnya cepat. "Saya mau mengajaknya jalan-jalan mumpung hari libur."
"Kalau begitu ayo, kita juga berencana mau jalan-jalan buat hibur calon janda," celetuk Grace dengan senyuman.
"Yey Bian jalan-jalan sama Buna dan Ibu!" seru Abian dengan binar bahagia.
"Ayah?"
"Ayah juga."
Diandra tersenyum tipis melihat Abian yang begitu bahagia.
"Maaf tapi sepertinya saya nggak bisa ikut." Tolak Diandra.
"Ih kok nggak? Tadi udah sepakat loh buat pergi barengan." Grace langsung menyenggol lengan Gerald, seolah menyuruh pria itu untuk membujuk Diandra.
Namun, kakaknya tidak sepeka itu untuk mengartikan kode-kode dari adik kesayangannya.
Bujuk kak Jovin! Kalau Diandra ditinggal sendiri yang ada nangis mulu. Ih dasar cowok nggak peka!
Andai tidak mendapatkan pesan dari adiknya mungkin Gerald akan membiarkan Diandra tinggal di apartemen sendirian.
"Demi Abian bolehkan kalau bu Diandra ikut? Hitung-hitung kita senang-senang sebelum sidang penentuan di mulai."
"Itu saya benar-benar nggak bisa Pak. Saya ...."
"Ayo bu Diandra."
Tanpa meminta izin lebih dulu Gerald mengenggam tangan Diandra dan berjalan menjauhi unit apartemen. Untung saja Diandra sudah rapi karena memang tadinya akan mengajak Abian jalan-jalan, tetapi ia urungkan saat bertemu mama mertuanya.
Sesampainya di basemen, Gerald tanpa sadar melepaskan genggamannya akibat melihat pemandangan tidak mengenakkan hati. Di mana Grace duduk di jok depan tepat di samping Hansen.
"Ayo masuk tunggu apa lagi kak?" tanya Grace menurunkan kaca mobil.
"Siapa yang menyuruhmu duduk di depan? Turun!"
"Nggak mau, orang pacar aku yang nyetir."
"Grace!"
"Pak Gerald bisa duduk di belakang bersama saya," ujar Diandra.
"Ayah ayo masuk!" perintah Abian yang duduk tenang di jok belakang.
Gerald menghela napas panjang. Mengikuti keinginan Diandra dan putranya.
"Sayang, enaknya kita kemana?" tanya Grace tanpa peduli keberadaan kakaknya.
"Pak Gerald mau ke mana?" tanya Hansen melirik Gerald melalui spion.
"Bukannya kamu ada urusan?" tanya balik Gerald.
"Benar Pak, saya akan pergi setelah mengantar anda ke tempat tujuan."
"Biar saya yang menyetir." Gerald kembali membuka pintu begitupun dengan Hansen padahal sudah dicegah oleh Grace.
Sedangkan Diandra dan Abian yang menyaksikan hal tersebut menghela napas panjang secara bersamaan.
"Keras kepala," gumam Abian dan Diandra akan tetapi bisa di dengar oleh Gerald.
"Kamu bisa mengejarkannya nanti, kita liburan dulu."
***
Kali ini bukan laut yang menjadi tempat tujuan mereka, meski begitu selalu saja terhubung dengan lautan sebab mereka mengunjungi akuarium raksasa. Awalnya mereka berjalan bersama-sama tetapi lama kelamaan mereka berpencar untuk melihat kesukaan masing-masing
"Ih lucu banget," seru Diandra menempelkan tangannya pada kaca seolah menyentuh kura-kura."
"Masih suka kura-kura ternyata."
"Huh?" Diandra menatap Gerald yang berdiri di sampingnya.
"Kamu suka kura-kura?" Gerald buru-buru mengubah kalimatnya, jangan sampai sandiwaranya yang pura-pura tidak mengenali Diandra terbongkar.
"Hm, suka banget."
"Sejak kapan?"
"Kok saya perhatikan dialog pak Gerald mulai informal ya?"
"Lebih suka yang formal?" tanya balik Gerald.
"Nggak, saya suka yang mana saja."
"Kalau begitu informal saja. Toh kita kenal bukan hanya dalam ranah pekerjaan saja."
"Boleh." Diandra menganggukkan kepalanya dengan senyuman, kembali fokus pada kura-kura yang menurutnya lucu entah orang lain.
"Belum jawab pertanyaan saya_sejak kapan kamu suka kura-kura?"
"Sejak punya tetangga yang suka kura-kura. Awalnya biasa saja, tapi karena sering berkunjung ke rumahnya dan melihat kura-kura bersama di akuarium, saya jadi suka. Ternyata semengemaskan itu."
"Tetangganya kemana sekarang?"
"Pak Gerald kenapa nggak merestui hubungan Grace dan Hansen?" Kini yang mengalihkan pembicaraan adalah Diandra, tidak mungkin wanita itu mengatakan yang sebenarnya.
"Saya nggak mau ikut campur urusan keluarga kalian, saya hanya ikut campur sebagai sahabat saja."
"Karena saya nggak mau Grace punya pacar yang berada di bawah saya."
"Artinya bukan karena dia Hansen kan?"
"Bukan."
"Oke, saya mengerti." Diandra tersenyum.
"Jadi kamu membatalkan janji begitu saja denganku, karena wanita ini?" tanya seorang wanita membuat Diandra dan Gerald menoleh.
"Saya mencari Abian dulu," ujar Diandra hendak pergi, memberikan waktu untuk Gerald dan mantan istrinya bicara. Namun, langkahnya tertahan karena tangannya di genggam erat oleh Gerald.
.
.
.
.
.
.
Huh, nggak sabar nunggu sidang ke tiga🙈
Ayo mana nih semangat nya. Kita senang-senang dulu ya🥰
sabar pak Gerald mungkin Diandra masih butuh waktu untuk meyakinkan dirinya sebelum dia jawab iya