Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan Saat Sidang
Di Rumah Sakit Medika Sejahtera, meskipun lukanya telah dijahit dan pendarahan dihentikan, kondisi Dinda tidak membaik. Suntikan penenang hanya meredakan histeria fisiknya, tetapi kekacauan di benaknya kian menjadi-jadi. Setelah observasi singkat, Dokter Surya, psikiater yang menangani Bu Hanim, memberikan rekomendasi tegas: Dinda harus segera dirujuk ke rumah sakit jiwa untuk penanganan lebih lanjut.
Satria dan Soraya mengikuti proses itu dengan hati hancur. Soraya, dibebani rasa bersalah, hanya bisa menangis melihat putri Hanim yang seharusnya menjadi pengantin, kini harus mengenakan baju pasien rumah sakit jiwa.
"Aku yang salah, Satria. Aku yang membuatnya membenci Mulia," bisik Soraya, memegang lengan Satria.
Satria hanya menggeleng, matanya menatap Dinda yang terbaring kaku di tandu. "Ini ulah mereka, Ma. Bukan salah Mama sepenuhnya."
Ketika tandu Dinda didorong menuju ambulans, Mulia dan Ikhsan berdiri di dekat jendela, memperhatikan dari kejauhan. Mulia merasakan percampuran rasa ngeri dan iba. Dinda adalah korban lain dari racun kebencian Bu Hanim.
"Dia harus mendapatkan perawatan yang tepat," kata Ikhsan, memeluk bahu Mulia. "Dia butuh bantuan, bukan penghakiman."
****
Perjalanan menuju rumah sakit jiwa terasa sunyi dan menakutkan. Dinda terbangun di tengah perjalanan, matanya langsung terbuka liar. Ia melihat langit-langit ambulans, bau disinfektan, dan ia segera menyadari bahwa ia sendirian, tanpa perlindungan orang tuanya.
Kepanikan dan amarah meledak dalam dirinya.
"Di mana aku! Lepaskan aku!" teriak Dinda.
Dua petugas medis segera mendekat. "Nona, tenang. Kami akan merawat Anda."
"Tidak! Aku tidak butuh perawatan! Aku harus keluar! Aku harus mencari Mulia!"
Dinda meronta di atas tandu. Tangannya yang lemah berusaha melepaskan tali pengaman yang mengikatnya. Air mata histeris mengalir deras membasahi pelipisnya. Dalam pikirannya yang kacau, semua penderitaannya, semua kehancuran keluarganya, adalah kesalahan satu orang: Mulia.
"Mulia! Wanita sialan! Kamu pembawa masalah!" Dinda menjerit, suaranya melengking tajam, memantul di dinding ambulans.
"Dia yang membuat Mama dan Papa ditangkap! Dia yang merusak pernikahanku! Dia yang membuat kami hancur!"
Dinda terus menuduh, kata-katanya penuh dendam yang menggebu-gebu, persis seperti apa yang Bu Hanim ajarkan kepadanya selama ini.
"Aku akan membalas! Aku akan membalas Mama dan Papa! Aku akan menghancurkanmu, Mulia!"
Salah satu petugas medis mencoba memegang bahunya. "Nona, hentikan. Tarik napas."
Dinda melawan, ia menendang dengan kuat. "Jangan sentuh aku! Aku tidak gila! Aku tidak gila! Mulia yang gila! Dia iblis yang harus dibasmi!"
Ia terus mengulang-ulang tuduhan dan ancaman itu, mengutuk Mulia dengan segala kata-kata penuh kebencian yang pernah ia dengar. Di tengah rontaannya, ia bahkan berhasil menggigit tangan seorang petugas.
"Aduh!" petugas itu meringis.
"Aku akan membalas dendam! Aku bersumpah!" Dinda meraung, matanya terpejam kuat menahan rasa sakit dan amarah yang meletus. "Aku akan membusuk di sini, tapi aku akan pastikan kamu tidak akan pernah hidup tenang, Mulia!"
****
Ketika ambulans tiba di gerbang rumah sakit jiwa, jeritan Dinda masih terdengar dari dalam. Dokter yang menyambut sudah disiapkan dengan dosis penenang yang lebih kuat.
Soraya dan Satria mengikuti di belakang. Mereka melihat petugas rumah sakit jiwa harus berjuang keras untuk mengeluarkan Dinda.
"Dinda! Tante di sini, Nak!" Soraya menangis, berusaha mendekat.
"Pergi! Jangan sentuh aku! Kalian semua bersekongkol dengan iblis itu!" Dinda mendorong Soraya dengan kekuatan terakhirnya. "Aku benci kamu! Aku benci Mulia! Aku benci kalian semua!"
Soraya terduduk di lantai, menangis tanpa suara. Ia melihat kehancuran Dinda, menyadari bahwa kebencian yang Bu Hanim tanamkan telah tumbuh menjadi penyakit mematikan.
Satria berlutut di samping ibunya, tangannya menggenggam tangan Soraya. Ia melihat kepergian Dinda ke dalam gerbang besi, membawa serta dendam yang mengerikan. Ia tahu, Dinda harus mendapatkan bantuan, tetapi ia juga tahu, bayangan ancaman Dinda dan Bu Hanim akan terus menghantui Mulia.
"Dendam ini terlalu kuat, Ma," bisik Satria. "Kita harus pastikan Mulia aman. Kita harus melindunginya dari bayangan-bayangan ini."
Di sisi lain, Mulia mendengar laporan singkat dari Ikhsan mengenai jeritan Dinda. Ia tidak terkejut. Ia tahu, dendam tidak akan pernah mati semudah itu.
"Dia harus sembuh, Ikhsan," kata Mulia. "Aku tidak ingin ada lagi yang menjadi korban. Tapi aku tahu, bahkan di sana, dia akan tetap membenciku."
"Maka kita akan kuat, Lia," Ikhsan membalas, matanya penuh tekad. "Kita akan menghadapi kebencian itu dengan kebenaran dan cinta. Itu satu-satunya cara untuk menang."
****
Gedung pengadilan negeri dipenuhi hiruk pikuk. Puluhan kamera wartawan berdesakan di lorong, semua menanti dimulainya sidang perdana Pak Wibowo—suami dari Bu Hanim, tersangka utama dalam serangkaian kasus teror, pembunuhan, dan kini didiagnosis sakit jiwa. Skandal ini telah menjadi berita utama nasional selama berminggu-minggu.
Di ruang sidang utama, suasana terasa mencekam. Di kursi terdakwa, Pak Wibowo duduk dengan punggung tegak, wajahnya terlihat tua dan lelah, namun sorot matanya yang kini tampak waras dan tenang menunjukkan kesiapan untuk menghadapi kebenaran. Di sampingnya, duduk Tuan Darma, pengacara barunya, seorang ahli hukum pidana yang terkenal berani dan tanpa kompromi.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) memulai pembacaan dakwaan, fokus pada kasus penggelapan pajak perusahaan dalam jumlah fantastis yang terjadi selama kepemimpinan Pak Wibowo di Menggara Group.
"Terdakwa Wibowo telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penggelapan pajak dan pencucian uang, sebagaimana tertuang dalam bukti-bukti yang diserahkan oleh saksi-saksi dan bocoran dokumen anonim ke publik," ucap JPU dengan lantang.
Ketika tiba giliran pembelaan, Tuan Darma berdiri. Ruangan seketika hening.
"Yang Mulia Hakim, kami dari pihak terdakwa mengakui dan tidak menyangkal adanya tindak pidana penggelapan pajak yang dilakukan oleh klien kami," ujar Tuan Darma dengan suara berat. "Klien kami, Bapak Wibowo, mengakui kesalahannya atas penggelapan pajak yang terjadi murni karena ambisi bisnis yang salah."
Wartawan di belakang ruangan segera mencatat pengakuan tersebut.
"Namun," lanjut Darma, menoleh ke arah JPU dan Majelis Hakim. "Kami memohon Majelis Hakim membedakan antara kesalahan finansial klien kami dan tindakan gila yang dilakukan oleh Nyonya Hanim Wibowo."
****
Tuan Darma mendekat ke podium, tangannya memegang beberapa lembar dokumen penting.
"Yang Mulia, klien kami telah hidup di bawah tekanan yang luar biasa dari istrinya, Nyonya Hanim. Kami memiliki bukti yang menunjukkan bahwa segala bentuk teror, penyuapan kepada aparat hukum, propaganda media, hingga rencana jahat yang ditujukan kepada Nona Mulia dan Tuan Ikhsan, sepenuhnya dilakukan oleh Nyonya Hanim Wibowo."
Suasana mulai bergetar. Mulia dan Ikhsan, yang hadir sebagai saksi dan pelapor, saling pandang.
"Bahkan pada kasus penembakan Tuan Ikhsan yang pertama, klien kami dipaksa untuk memberikan alibi palsu demi melindungi Nyonya Hanim. Klien kami hanya melindungi istrinya dari konsekuensi tindakan kriminal yang tidak ia setujui, tindakan yang saat ini telah terbukti sebagai bagian dari gangguan kejiwaan akut," tegas Tuan Darma.
Tuan Darma menoleh ke arah Pak Wibowo. "Bapak Wibowo, apakah benar Anda dipaksa oleh Nyonya Hanim untuk membantah tuduhan penggelapan pajak di hadapan media beberapa waktu lalu?"
Pak Wibowo bangkit, suaranya mantap, penuh kelegaan karena akhirnya bisa berbicara jujur. "Benar, Yang Mulia. Dia mengancam akan menghancurkan saya sepenuhnya, bahkan menyebar berita bohong Dinda supaya anak kami itu ada di pihaknya. Saya dipaksa berbohong untuk membersihkan namanya."
Tuan Darma kembali ke podium. "Yang Mulia, kami ingin menunjukkan satu bukti lagi yang menggambarkan betapa klien kami tidak memiliki kendali sama sekali atas situasi dan asetnya."