Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Melawan Arus di Laut Flores.
Suara tembakan kedua merobek keheningan malam, lebih dekat dari yang pertama. Peluru itu bersiul di udara sebelum menghantam permukaan air dengan bunyi thwack yang tajam, hanya beberapa sentimeter dari perahu nelayan reyot mereka. Sasha menunduk, secara naluriah melindungi ransel Bara di dadanya. Bau solar, lumpur, dan garam laut memenuhi hidungnya.
“Mereka tidak menembak untuk menakut-nakuti, Sasha! Mereka menembak untuk melumpuhkan mesin!” teriak Zega, suaranya tercekat karena angin. Ia memutar kemudi dengan keras, membuat perahu kecil itu melompat liar di atas ombak yang diciptakan oleh kapal patroli di belakang.
Kapal patroli itu, meskipun jauh lebih besar, kesulitan mengikuti manuver tajam perahu kecil Zega. Namun, kecepatan dan tenaga kapal itu tak tertandingi. Lampu sorotnya yang kejam terus memindai, mengunci mereka seperti predator.
“Kenapa mereka begitu agresif? Ini hanya gugatan warisan!” Sasha balas berteriak, bingung. Skala pengejaran ini jauh melebihi upaya Paman Hadi untuk mengamankan perusahaan.
“Ini bukan hanya Hadi. Ini Express Teknologi dan yang lainnya!” Zega menjelaskan sambil menstabilkan kemudi. “Mereka tahu apa yang ada di laptop itu. Data pengguna lama Bara—itu adalah bom waktu bagi seluruh industri teknologi! Jika kita mengeksposnya, bukan hanya DigiRaya yang runtuh, tapi puluhan perusahaan yang didanai dengan cara yang sama. Mereka ingin laptop itu tenggelam, bersama kita.”
Zega menekan gas sepenuhnya. Mesin diesel tua itu meraung, memuntahkan asap tebal. Mereka bergerak menjauhi garis pantai Lombok dan masuk ke perairan yang lebih dalam, yang dikenal sebagai ‘Gerbang Flores’—jalur laut yang terkenal ganas dengan arus yang tidak terduga.
“Kita harus menyamarkan sinyal panas kita,” kata Zega, menyadari bahwa kapal patroli itu kemungkinan menggunakan teknologi pencitraan termal canggih untuk melacak mereka di tengah kegelapan. Ia mengeluarkan sebuah kaleng aluminium dari saku jaketnya, yang ternyata berisi bubuk kimia khusus.
“Apa itu?” tanya Sasha.
“Sodium bikarbonat yang dimodifikasi. Aku menggunakannya saat aku dulu harus bersembunyi dari agensi keamanan pemerintah. Ketika bereaksi dengan air laut, ia menghasilkan lapisan tipis di permukaan air yang mengganggu sensor termal dan radar. Tapi kita harus bergerak lambat untuk menyebarkannya.”
Ini adalah risiko. Memperlambat perahu berarti memberi kapal patroli kesempatan untuk mendekat. Zega melirik Sasha, yang kini memegang tali dengan erat, menahan rasa sakit di pergelangan kakinya yang terkilir.
“Tahan perahu ini tetap stabil sebentar,” perintah Zega. Ia merangkak ke buritan, mencungkil tutup kaleng itu, dan mulai menaburkan bubuk putih ke belakang perahu. Bubuk itu menghasilkan buih halus, menciptakan jejak yang berkilauan di air hitam.
Tembakan lain meleset tipis, suara ledakan kecil di air terasa memekakkan telinga. Namun, Zega tidak berhenti sampai kaleng itu kosong. Ia kembali ke kemudi, terengah-engah.
Saat mereka melanjutkan pelayaran, Zega mematikan lampu navigasi kecil yang dimiliki perahu itu. Mereka sekarang sepenuhnya buta di tengah lautan yang gelap, hanya dipandu oleh kilatan cahaya bulan yang sesekali menembus awan badai yang bergerak menjauh.
“Bagaimana kau tahu semua ini, Zega? Mengapa seorang ethical hacker sepertimu menyimpan bubuk anti-radar?” tanya Sasha, ingin memahami lebih dalam tentang pria yang kini menjadi satu-satunya pelindungnya.
Zega menghela napas panjang, bau garam bercampur kelelahan. “Aku tidak hanya membenci korporasi, Sasha. Aku adalah produk dari kehancuran korporasi. Ayahku... dia adalah seorang insinyur sipil yang mencoba mengungkap skema suap besar-besaran di proyek infrastruktur sepuluh tahun lalu. Mereka membunuhnya dan membuat itu terlihat seperti kecelakaan.”
Sasha terdiam. Kesamaan dengan kisah Bara begitu mencolok.
“Mereka tidak hanya membunuh ayahku. Mereka menghancurkan reputasinya, dan kemudian mencoba menghancurkan keluargaku. Aku bersembunyi di jaringan, hidup dari satu server ke server lain, mengumpulkan bukti, dan belajar bagaimana melarikan diri dari sistem yang diatur oleh uang. Aku tahu cara kerjanya. Aku tahu cara mereka melacak. Dan aku tahu cara menghilang.”
“Jadi, tempat yang kau tuju di Laut Flores… itu tempat persembunyianmu?”
Zega mengangguk, matanya fokus pada horizon. “Pulau Komodo. Tepatnya, pulau kecil di timur Komodo, dekat perairan dangkal yang penuh karang. Tempat itu tidak memiliki sinyal seluler, dan arus di sana terlalu kacau untuk pelayaran komersial. Jika mereka mengirim kapal patroli besar, mereka akan kandas sebelum mencapai pelabuhan kecil di sana.”
“Kau yakin kita akan aman di sana?”
“Seaman yang kita bisa di tengah pengejaran lintas negara. Aku punya beberapa kontak di sana. Orang-orang yang tidak peduli dengan uang atau politik Jakarta. Mereka hanya peduli pada laut.”
Sasha bersandar, memejamkan mata sejenak. Adrenalinnya mulai mereda, digantikan oleh rasa sakit yang menusuk di kakinya dan kelelahan yang luar biasa. Dia membuka matanya dan melihat Zega. Di bawah cahaya rembulan, wajahnya tampak kelelahan, tetapi matanya memancarkan fokus yang intens.
“Terima kasih,” bisik Sasha.
Zega tidak menoleh. “Aku tidak melakukan ini untukmu, CEO. Aku melakukannya untuk kebenaran. Dan karena aku benci melihat DigiRaya jatuh ke tangan parasit seperti Hadi.”
Meskipun kata-katanya dingin, Sasha tahu bahwa di balik sikap anti-korporasinya, Zega memiliki kode etik yang kuat. Dia telah mengambil risiko besar untuknya. Sasha langsung memeluk Zega dengan haru dan penuh ucapan terima kasih. Sasha mencuri ciuman di bibir Zega yang sedikit pucat dan membiru karena dingingnya udara saat itu. Zega segera membalas ciuman itu menjadi ciuman intens dan memeluk pinggang Sasha sebagai tanda kepemilikan yang tiba-tiba, hubungan dekat mereka dan bahaya yang mengincar mereka telah menimbulkan percikan api yang lain untuk keduanya....
Mereka melaju selama beberapa jam. Kecepatan mereka stabil, dan yang paling penting, dengungan mesin kapal patroli di belakang mereka mulai memudar. Bubuk anti-radar Zega, dikombinasikan dengan arus kuat yang mendorong mereka lebih jauh ke timur, tampaknya berhasil membuat mereka menghilang dari mata elektronik pengejar.
Sasha mencoba merawat kakinya yang terkilir. Ia meremas kain robekan kaus Zega yang membalut pergelangan kakinya. Zega, tanpa mengatakan apa-apa, mengambil jaket tahan air yang lusuh dari bawah bangku dan melemparkannya ke Sasha.
“Kau akan terkena hipotermia jika terus basah kuyup seperti itu,” katanya singkat.
Sasha menerima jaket itu, kehangatan kecil itu terasa sangat berarti. “Kau tidak akan kedinginan?”
“Aku sudah terbiasa dengan laut. Aku juga punya pekerjaan yang lebih penting, yaitu membuat kita tetap hidup.”
Sasha menyarungkan jaket itu. Aroma samar keringat dan garam Zega menempel di kain, ironisnya memberinya rasa aman. Mereka berbagi keintiman yang aneh dan intens, terjalin bukan oleh gairah, tetapi oleh kawat tegang yang berbahaya.
Ketika fajar mulai menyingsing, mewarnai langit timur dengan gradasi oranye dan ungu, Zega melambat. Mereka telah melewati Selat Sape yang berbahaya dan kini berada di perairan yang lebih tenang di timur Nusa Tenggara.
“Kita sudah hampir sampai,” bisik Zega, menunjuk ke horizon. Sebuah siluet gunung berapi kerucut terlihat samar di kejauhan. “Itu Pulau Komodo. Tujuan kita adalah pulau kecil di bayangannya.”
Sasha merasakan lonjakan harapan yang sudah lama hilang. Mereka berhasil melarikan diri dari pengejaran yang paling intens dalam hidupnya.
Zega membelokkan perahu, melewati karang-karang dangkal yang hanya bisa dinavigasi oleh penduduk lokal. Ia mematikan mesin, membiarkan arus membawa mereka ke sebuah teluk tersembunyi yang dilingkari oleh bukit hijau tebal.
“Selamat datang di rumah keduaku,” ujar Zega, nada suaranya sedikit lebih ringan. “Di sini, kita bisa memulihkan diri, dan yang terpenting, menyelesaikan ‘Final Code’ Bara.”
Mereka meluncur perlahan ke pantai berpasir putih. Teluk itu sunyi, hanya suara ombak kecil yang menyambut. Zega turun ke air dangkal dan menarik perahu ke pasir.
“Tunggu di sini. Aku akan memeriksa apakah ada orang di gubuk nelayan yang biasa aku tempati,” kata Zega, bergerak cepat ke arah hutan bakau kecil di tepi pantai.
Sasha mengamati sekeliling. Tempat itu benar-benar terpencil, tampak murni dan tak tersentuh oleh modernitas Jakarta.
Namun, saat matanya menyapu vegetasi lebat di puncak bukit di atas teluk, ia melihat sesuatu yang aneh. Itu adalah kilatan cahaya logam yang terlalu simetris untuk menjadi pantulan alami dari daun. Tampaknya itu adalah teleskop, atau lensa kamera jarak jauh.
“Zega, tunggu!” Sasha berbisik, panik.
Zega berbalik, raut wajahnya berubah dari lega menjadi waspada. Ia mengikuti pandangan Sasha, dan mata Zega melebar saat ia melihat kilatan kedua, lebih jelas kali ini, dari posisi pengintaian yang sangat baik.
“Bagaimana bisa… Tidak ada sinyal di sini. Mereka tidak seharusnya tahu—” Zega memutus perkataannya, menyadari kengerian situasinya.
Mereka tidak dilacak melalui radar atau sinyal. Mereka dilacak melalui cara lain, mungkin sejak mereka meninggalkan Jakarta.
Saat Zega bersiap untuk kembali ke perahu, sebuah helikopter hitam, tanpa tanda pengenal, muncul tiba-tiba dari balik bukit. Suara baling-balingnya memecah kedamaian pagi dengan raungan brutal. Helikopter itu tidak terbang tinggi; ia terbang rendah dan cepat, langsung menuju teluk.
Di bawah perut helikopter, Sasha bisa melihat siluet beberapa orang, tergantung pada tali, bersiap untuk turun. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, peralatan tempur yang canggih, dan senjata otomatis. Ini bukan lagi tim Paman Hadi. Ini adalah pasukan khusus.
Mereka terjebak. Zega menarik Sasha ke balik lambung perahu, membiarkan pasir dan kayu menjadi perlindungan yang sia-sia.
“Mereka tidak hanya melacak kita dari Bali. Mereka mengantisipasi rute tersembunyimu!” desis Sasha, rasa takut membekukan darahnya.
“Mereka pasti menanam perangkat pelacak pada ransel atau pada kita saat di Lombok,” Zega menyadari dengan marah. “Kita harus meninggalkan perahu! Cepat, ke dalam hutan bakau!”
Mereka mulai merangkak menjauhi perahu. Namun, saat Sasha mengangkat kepalanya, ia melihat helikopter itu kini melayang tepat di atas teluk. Dari megafon di bawah helikopter, sebuah suara, dingin dan asing, terdengar jelas dalam bahasa Inggris, meskipun dengan aksen Eropa Timur yang kental.
“We know who you are, Zega. Drop the evidence. This is your final warning. Express Technology doesn't negotiate with thieves.”
Zega menarik napas tajam. Express Teknologi tidak hanya tahu bahwa mereka membawa bukti, mereka tahu nama asli Zega. Mereka tahu segalanya.
Tiba-tiba, helikopter itu menurunkan sesuatu yang besar, bukan manusia, melainkan sebuah kotak logam yang berat. Kotak itu mendarat di atas pasir, beberapa meter dari mereka. Sebelum Sasha sempat bertanya, Zega menatap kotak itu dengan ngeri.
“Bukan, jangan…” Zega memohon.
Kotak itu terbuka. Dari dalamnya, seekor anjing robot berkaki empat, seukuran serigala, melangkah keluar. Permukaan logamnya memantulkan cahaya pagi, dan lensa optiknya bersinar merah.
“Pelacak anjing robot generasi terbaru,” bisik Zega, suaranya dipenuhi kengerian. “Mereka tidak perlu orang untuk menangkap kita. Mereka akan menggunakan teknologi untuk memburu kita.”
Anjing robot itu mengeluarkan suara mendesis rendah, memindai panas tubuh mereka. Mereka tidak lagi aman. Tempat persembunyian rahasia Zega telah berubah menjadi jebakan berteknologi tinggi....