Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12 - Di Balik Senyumnya
Vee
Makan siang itu terasa hangat — ayam panggang, potato casserole, dan asparagus yang dimasak sempurna. Elara memimpin percakapan, bertanya tentang kelas, adaptasi di Ashenwood, bahkan makanan favoritku di asrama.
Aku mencoba menjawab santai, tapi aku tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berujung.
Thomas meletakkan garpu di piringnya. Tatapannya terarah padaku — tenang, tapi menembus. Tatapan yang sama seperti di kelas penyutradaraan, membuat siapa pun ingin duduk lebih tegak, karena takut bercampur kagum.
“Film pendekmu kemarin,” ucapnya perlahan, suaranya dalam dan penuh makna. “Cukup mengesankan. Tidak banyak mahasiswa yang bisa membuatku terkesan. Dan aku dengar kamu pindahan, baru fokus pada sinema sekitar enam bulan terakhir?”
Jantungku berdebar. Thomas Hunt sedang membicarakan aku.
Ia sedikit mencondongkan tubuhnya, suaranya lebih lembut namun tajam.
“Kalau kamu benar penggemarku, kenapa tidak mulai dari awal di Ashenwood, agar bisa belajar dasar-dasarnya?”
Aku menunduk. Di meja, semua mata mengarah padaku. Thomas, Elara, dan bahkan Tyler yang berusaha terlihat sibuk dengan gelasnya. Aku ingin bicara, tapi suaraku tertahan di tenggorokan.
“Aku…”
Tenggorokanku kering.
Akhirnya, aku memaksa diri menjawab jujur.
“Aku meninggalkan adikku di California.”
Aku menarik napas panjang. Jemariku saling bertaut di pangkuan.
“Ketika aku berusia tujuh tahun… ibuku overdosis obat penenang. Ia tidak langsung meninggal, tapi koma selama lima tahun. Saat akhirnya pergi, aku harus membesarkan adikku, karena ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya.”
Elara menutup mulutnya dengan tangan, terkejut. Thomas tetap diam, tapi sorot matanya berubah, tajam tapi lembut, seperti seseorang yang melihat potongan film yang tak bisa diulang.
“Ketika ibu meninggal, aku berumur 12 tahun,” lanjutku, “aku menemukan bukti kalau ayah punya banyak wanita bahkan saat ibu hamil Eddie. Aku marah. Aku hampir kabur dari rumah… tapi aku tidak bisa meninggalkan Eddie. Dia cuma punya aku.”
Suara kecilku menggantung di udara.
“Aku menutup diri, menghabiskan waktu di kamar, menonton film yang sama berulang kali—The Last Duchess. Film itu satu-satunya yang bisa membuatku bahagia. Mengingatkanku pada masa ketika keluarga kami masih utuh. Makan malam bersama. Tertawa.”
Aku berhenti sejenak, menatap piring kosong di depanku.
“Ayahku tidak pernah mengizinkan aku pindah ke Ashenwood. Dia yang membiayai kuliahku, jadi aku harus menunggu. Sampai Eddie masuk SMA, dan justru dia yang menyuruhku pergi. Dia bilang… aku harus mengejar impianku, agar dia juga berani mengejar miliknya.”
Suara di ruang makan menghilang. Yang tersisa hanya dengung lembut dari jam di dinding.
Thomas akhirnya bicara.
“Itulah kenapa aku mencintai film,” katanya pelan. “Karena film bisa menyentuh hati, bahkan menyelamatkan hidup seseorang. Melalui karyaku, aku bersyukur bisa memberi sesuatu yang berarti untukmu.”
Elara mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku.
“Aku bangga padamu,” ucapnya lembut. “Bisa mengubah sesuatu yang menyakitkan menjadi sesuatu yang indah.”
Aku mencoba tersenyum, tapi pandanganku mulai kabur. Air mata jatuh sebelum sempat kutahan.
Dan saat aku menoleh ke seberang meja—
Tyler tidak menatapku. Tapi rahangnya mengeras, dan tangannya menggenggam gelas terlalu kuat.
Seakan kata-kataku membuka sesuatu yang sudah lama ia kubur jauh di dalam dirinya.
\~\~\~
Tyler
Kata-katanya membelah keheningan ruangan seperti pisau tajam.
Ibunya koma selama lima tahun. Ayahnya sibuk. Ia membesarkan adiknya sendirian. Gadis ini—gadis ceria yang duduk di seberang meja—baru saja menelanjangi hatinya di depan kami semua, dan berkata satu-satunya hal yang membuatnya bahagia adalah film Thomas Hunt.
Aku tidak sadar menggenggam gelas terlalu erat sampai air di dalamnya bergetar. Aku seharusnya tidak terpengaruh. Tidak boleh. Tapi aku tidak bisa menahannya. Kata-katanya menggali luka lama yang sudah lama kukubur.
Sembilan tahun lalu, aku menerima telepon yang mengubah segalanya. Kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan di jalan tol. Tidak ada tanda-tanda, tidak ada pesan terakhir. Dan bahkan sebelum jenazah mereka dimakamkan, pengacara datang. Memberitahuku bahwa aku harus menanggung hutang mereka—hutang besar untuk seorang anak kuliah berusia delapan belas tahun.
Aku pikir hidupku berakhir di sana.
Menanggung beban yang bukan salahku, kehilangan satu-satunya keluarga yang kumiliki.
Kemudian Thomas Hunt datang. Ia menjadikanku asistennya. Memberikan beasiswa penuh. Membayar sebagian besar hutangku, memastikan aku bisa lulus. Aku tidak pernah tahu apa yang ia lihat dalam diriku, anak dingin tanpa arah yang bahkan tidak tahu bagaimana bertahan hidup. Tapi ia percaya. Dan karena itu, aku bertahan.
Dan kini, Thomas duduk di seberang meja, memperhatikan gadis itu—Vee—dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.
Sementara aku… hanya bisa diam.
Aku menarik lengan bajuku sedikit. Tulisan tinta di kulit bagian dalam lenganku terlihat samar. Only connect. Dua kata yang menahanku tetap waras sejak hari orang tuaku pergi. Satu-satunya pengingat bahwa kesepian bisa membunuh lebih pelan dari duka.
Tidak ada yang benar-benar mengerti perasaan itu—rasa kehilangan yang menggigit, sepi yang tak bisa dijelaskan—kecuali dia. Gadis dengan mata hazel berbahaya itu. Yang bahkan tidak tahu sedang meruntuhkan tembok yang kubangun selama bertahun-tahun.
\~\~\~
Meja makan kini bersih. Elara dan Vee tertawa kecil di dapur, mencuci piring sambil berbagi cerita. Suara tawa Vee menggema ke ruang tamu—mencerahkan rumah ini seperti sinar matahari menembus jendela.
Thomas bersandar di sofa, menatapku. Tatapan yang kutahu baik-baik berarti dia akan bicara hal yang tidak ingin kudengar. Dengan sedikit isyarat tangan, ia memanggilku mendekat.
“Gadis itu,” katanya pelan, tapi tajam. “Benar-benar sesuatu, ya?”
Aku menatap lurus ke depan. “Dia berbakat. Dan mencintai film seperti yang kau bilang.”
Thomas menatapku lama, terlalu lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Tyler,” katanya rendah. “Jangan pura-pura. Aku mengenalmu lebih lama dari siapa pun.”
Aku diam.
Ia tertawa—tawa lembut yang jarang sekali kudengar akhir-akhir ini—lalu mencondongkan tubuhnya. “Kau cemburu, ya?”
Aku mengangkat alis. “Cemburu dengan siapa?”
“Denganku,” jawabnya ringan, tapi tajam. “Dia hanya mengagumi karyaku, Tyler. Itu bukan cinta. Jangan khawatir.”
Aku memalingkan wajah ke jendela. Cahaya sore menembus tirai, memantul lembut di lantai kayu. “Aku tidak khawatir,” kataku pelan, tapi suaraku sendiri terdengar seperti kebohongan.
Thomas menghela napas, nada suaranya kini lebih lembut. “Kau selalu menantang dunia, sejak 18 tahun. Selalu ingin terlihat kuat. Tidak pernah membiarkan siapa pun masuk.” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Tapi ingat satu hal—tembok di hatimu itu tidak akan melindungimu selamanya. Kadang, orang yang tepat akan meruntuhkannya. Dan itu bukan kelemahan, Tyler. Itu bagian dari hidup.”
Kata-katanya menusuk dalam. Lebih dalam dari yang kuinginkan.
Dari dapur, suara tawa Vee terdengar lagi. Thomas menoleh ke arah suara itu, lalu tersenyum.
“Gadis itu… dia mengusikmu,” katanya pelan. “Tapi mungkin, itu yang kamu butuhkan.”
Sebelum aku sempat menjawab, terdengar suara Elara, riang dan penuh kehangatan “Vee, aku hamil.”
Vee terkejut, lalu tertawa bahagia, memeluk Elara erat sambil mengucapkan selamat. Tawa mereka memenuhi ruangan, tulus dan ringan.
Aku menatap Thomas. Ia tidak berkata apa pun. Hanya menatapku, seolah ingin berkata tanpa suara bahwa Kadang, kamu harus berani membiarkan seseorang masuk.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mulai percaya mungkin itu benar.
\~\~\~