NovelToon NovelToon
KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

Status: tamat
Genre:Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter Genius / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..

yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 end

Bab 26 End

Kabut pagi menyelimuti Desa Tembung. Udara terasa dingin, dan angin berembus pelan di antara rumpun padi muda yang baru ditanam. Yasmin berdiri di depan gerbang kayu rumah Nek Wan, membawa tas kecil berisi pakaian dan dua lembar surat yang sudah lusuh di tepinya.

“Min, kau yakin mau berangkat sendiri?” tanya Nek Wan dengan nada khawatir.

Yasmin menatap wajah neneknya yang tampak lebih tua dari biasanya. “Aku harus, Nek. Ini bukan perjalanan biasa… aku ingin menutup sesuatu yang belum selesai,” ucapnya pelan dengan nada tegas tapi lembut.

Nek Wan mengangguk pelan, menggenggam tangan cucunya erat. “Kalau begitu, jangan lama-lama, ya. Dunia ini kadang kejam untuk hati yang terlalu jujur,” ucapnya lirih dengan nada menasihati.

Yasmin tersenyum tipis. “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padanya. Sekali saja,” ucapnya lembut dengan nada bergetar.

“Kalau begitu, pergilah, nak. Aku doakan langkahmu ringan dan hatimu tenteram,” ujar Nek Wan pelan dengan nada penuh doa.

Yasmin memeluk neneknya erat. Kehangatan tubuh itu seperti rumah yang tak tergantikan. “Terima kasih untuk segalanya, Nek,” bisiknya lirih dengan nada haru.

“Pulanglah nanti dengan hati yang sudah sembuh,” balas Nek Wan lembut dengan nada menenangkan.

Langkah Yasmin meninggalkan halaman rumah seperti mengiris udara. Setiap jejak sandal di tanah basah mengingatkannya pada langkah Ziyad di bawah payung hitam, saat pertama kali mereka bertemu di tengah hujan. Kenangan itu menempel di benaknya seperti embun yang tak pernah hilang.

Bus menuju kota datang dua jam kemudian. Yasmin duduk di kursi dekat jendela, menatap ladang yang perlahan menjauh, berganti deretan gedung dan aspal basah. Di tangannya, surat terakhir Ziyad terbuka lagi — tulisannya agak pudar, tapi setiap huruf seolah hidup.

“Jika suatu hari aku tak bisa menemuimu lagi, jangan biarkan hujan membuatmu sedih. Aku ingin kau tahu, setiap rintiknya akan jadi cara langit menyapamu atas namaku.”

Yasmin menutup surat itu dengan gemetar. Ia menatap ke luar jendela dan berbisik, “Aku datang, Ziyad,” ucapnya lirih dengan nada penuh rindu.

Perjalanan memakan waktu hampir lima jam. Saat tiba di kota, langit tampak abu-abu, seolah menyambutnya dengan duka yang lembut. Rumah sakit tempat Ziyad dulu bekerja berdiri megah di antara bangunan tinggi. Yasmin menatap papan bertuliskan RS Medika Utama, lalu menarik napas panjang sebelum melangkah masuk.

Resepsionis menyambutnya dengan sopan. “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanya wanita muda itu dengan nada formal.

“Saya… ingin tahu di mana makam dr. Ziyad Rahman. Dia pernah bekerja di sini,” jawab Yasmin pelan dengan nada gugup.

Wanita itu mengetik beberapa saat di depan komputer. “Oh, beliau dimakamkan di taman memorial rumah sakit, di belakang gedung lama. Lewat koridor kiri, nanti ada taman kecil,” ucapnya ramah dengan nada informatif.

“Terima kasih,” ucap Yasmin singkat dengan nada sopan.

Langkahnya menyusuri koridor panjang yang sunyi. Bau disinfektan bercampur aroma bunga segar dari taman di ujung lorong. Saat Yasmin sampai di sana, hujan turun perlahan, seperti menyambut kedatangannya.

Di bawah pohon kamboja putih, berdiri nisan sederhana dengan ukiran halus:

dr. Ziyad Rahman (1990–2023)

“Dalam diam, ia menyembuhkan lebih dari luka.”

Yasmin berlutut perlahan. Air matanya jatuh satu per satu ke tanah basah. “Ziyad…” ucapnya lirih dengan nada patah.

Hujan makin deras, tapi Yasmin tidak bergerak. Ia meletakkan setangkai melati di atas nisan, bunga yang dulu disukai Ziyad. “Kau tahu, aku sempat marah saat membaca suratmu. Tapi sekarang aku paham… kau tidak pergi untuk lari. Kau pergi karena ingin tenang,” ucapnya pelan dengan nada ikhlas.

Angin berhembus lembut, membuat ujung rambutnya menempel di wajah. Yasmin tersenyum samar meski air mata belum berhenti. “Kau pernah bilang, cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi memberi ruang agar yang kita cintai tenang. Sekarang aku belajar untuk melepaskanmu,” ucapnya lirih dengan nada pasrah.

Suara petir terdengar jauh di langit, seolah langit ikut menutup percakapan mereka yang terakhir.

***

Sore menjelang. Hujan mereda, meninggalkan aroma tanah basah dan udara dingin yang menggigit. Yasmin masih duduk di depan makam, menggenggam surat pertama yang pernah ia terima dari Ziyad. Kertasnya lembap, tinta nyaris pudar, tapi maknanya masih jelas di hatinya.

Langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pria berjas putih berdiri di belakangnya. “Mbak Yasmin?” tanya pria itu sopan dengan nada hati-hati.

Yasmin menoleh perlahan. “Iya, saya,” jawabnya lembut dengan nada tenang.

“Saya dr. Fadil, rekan almarhum. Saya sering dengar nama Mbak dari dia,” ucap pria itu pelan dengan nada mengenang.

Yasmin tertegun. “Dia sering menyebut saya?” tanyanya heran dengan nada bergetar.

Fadil mengangguk. “Hampir setiap malam kami lembur, dia bilang, ‘Aku harus pulang… ada seseorang di desa yang membuat aku ingin sembuh dari diriku sendiri,’” ucap Fadil lirih dengan nada tulus.

Air mata Yasmin menetes lagi. “Dia bilang begitu?” ucapnya pelan dengan nada haru.

“Ya. Sebelum dia meninggal, dia titip pesan pada saya. Katanya, kalau nanti perempuan itu datang, tolong bilang… dia bahagia pernah mengenalnya,” ucap Fadil lembut dengan nada penuh empati.

Yasmin menatap tanah basah di depannya. “Terima kasih, Dok,” ucapnya lirih dengan nada tulus.

Fadil tersenyum kecil. “Dia orang baik. Kadang Tuhan memanggil orang baik lebih cepat, agar yang ditinggalkan belajar mencintai dengan cara yang lebih murni,” ucapnya bijak dengan nada menenangkan.

Yasmin mengangguk, lalu menatap nisan lagi. Langit mulai berwarna jingga, awan perlahan memudar menjadi cahaya keemasan. Ia menutup mata dan berdoa.

“Ya Allah, kalau dia sudah tenang di sisi-Mu, biarkan aku belajar ikhlas. Jangan hilangkan cintaku padanya, tapi ubahlah menjadi doa. Jadikan kenangan ini alasan untuk berbuat baik,” ucapnya lirih dengan nada khusyuk.

Angin berhembus pelan. Bunga melati yang ia taruh tadi bergeser sedikit, lalu berhenti di pinggir nisan, seolah menjawab doanya.

Yasmin berdiri perlahan. Ia menatap langit terakhir kali sebelum melangkah pergi. “Selamat beristirahat, Ziyad. Terima kasih sudah mengajarkan arti cinta yang sebenarnya,” ucapnya pelan dengan nada damai.

Langkahnya meninggalkan taman itu perlahan. Di belakangnya, hujan kembali turun tipis — bukan deras, hanya lembut, seperti pelukan terakhir dari langit.

Saat tiba di gerbang rumah sakit, Yasmin menoleh ke belakang sekali lagi. Dalam kabut hujan, ia seolah melihat siluet seseorang berdiri di antara pohon kamboja — mengenakan jas dokter putih, tersenyum padanya.

Yasmin tersenyum balik. “Sampai jumpa,” bisiknya lembut dengan nada penuh damai.

Epilog

Seminggu kemudian, Yasmin kembali ke Desa Tembung. Langit sore itu tampak sama seperti hari ketika kisah mereka dimulai — kelabu, lembut, dan beraroma tanah basah.

Ia berhenti di pondok tua di tepi sawah, tempat dulu mereka berteduh bersama di bawah hujan.

Di tangannya, tergenggam payung hitam yang sudah pudar warnanya. Ia membukanya perlahan, membiarkan angin menerobos dari sela kainnya.

“Payung ini dulu milikmu, Ziyad… sekarang biarlah jadi kenangan yang melindungiku dari sepi,” bisiknya pelan dengan nada tenang.

Angin bertiup lembut, mengibaskan ujung selendangnya. Yasmin menatap langit yang berwarna jingga, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tersenyum tanpa air mata.

Di antara rintik hujan yang mulai turun lagi, Yasmin menatap cakrawala dan berbisik, “Cinta kita mungkin tak lagi berjalan di bumi yang sama, tapi aku tahu… doa-doa kita masih bertemu di langit yang satu,” ucapnya lirih dengan nada penuh harap.

Ia menatap payung itu sekali lagi sebelum menutupnya, menentengnya di sisi tubuh, dan berjalan perlahan pulang ke rumah Nek Wan.

Hujan terus turun lembut, membasahi jalan tanah di bawah langkahnya.

Dan di balik awan yang kelabu, seolah ada seseorang tersenyum — menatapnya dari dunia yang lain.

Karena cinta sejati, seperti hujan, tidak pernah benar-benar berhenti.

✨ TAMAT – Kisah Cinta Yasmin & Ziyad

“Cinta yang tak dimiliki, tapi tetap hidup di dalam doa.”

1
Nadhira💦
endingnya bikin mewek thorrr...
Babah Elfathar: Biar ga sesuai sangkaan, hehehe
total 1 replies
Amiura Yuu
suka dg bahasa nya yg gak saya temukan dinovel lain nya
Babah Elfathar: mkasi jangan lupa vote, like dan subscribe ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!