karya tamat, novel ini hanya pembentukan world-building, plot, dan lore kisah utama
kalian bisa membaca novel ini di novel dengan judul yang lain.
Karena penulisan novel ini berantakan, saya menulisnya di judul lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 - Batasan Mana Dan Fisik (6)
Menatap Ryan yang bermandikan darah Bercula membuatku terkesima.
Melawan Bercula dalam hitungan detik itu bukan lagi tingkatan anak berusia empat tahun...
Siapa sangka Ryan dapat membelah leher seekor beruang besar bercula, hanya bermodalkan pedang kayu.
Ilmu berpedangnya melebihi apa yang aku bayangkan, Ryan berhasil menyinkronisasi pengalaman bertarungnya ditubuh anak-anak.
Seharusnya Ryan yang menjadi tokoh utama Pe and Kob.
Kami mendekati Silvanna yang terkapar lemas ditanah
“Lala... Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”
Aku menatap Ryan yang terlihat penasaran pada diriku.
“Untuk itu, mari kita sembuhkan Sebertan ini Ryan.”
Aku tahu Sebertan tersebut adalah Silvanna yang aku temui sebelum pengulangan waktu.
Bersama Silvanna memang dirasa hanya setengah hari sebelum waktu terulang, dan berpisah dengannya terasa seperti seminggu berlalu.
Masa depan berubah...
Gumamku dalam batin pada situasi saat ini.
Kamu benar, bertemu Silvanna lebih awal bukankah lebih bagus?
Agoy menenangkan diriku.
“...Ryan, aku tidak punya skill heal.”
Diantara protagonis kecil, mungkin Natasya lah yang menguasai semua skill sihir, namun latar waktu yang terjadi sekarang hanya mempersulit kami dalam batasan Mana dan Fisik.
Belum tentu Natasya menyadari bakatnya diusia sekarang.
Didalam hutan kecil dekat tanah lapang hanya aku dan Ryan saja, namun wajah Ryan tampak tenang.
“Aku tidak mengerti kenapa kamu ingin menyelamatkan monster ini.”
“Tapi akan aku turuti keinginanmu kali ini...”
Ryan mengeluarkan sesuatu dari selempang kulit yang terikat pada pinggangnya.
“...Ini jamu kelas atas.” Ryan menyodorkan botol berisi air jejamuan padaku, “Jamu ini dari dedaunan langka, Daun Sirih Perawan.”
Mataku membelalak “Daun Sirih Perawan?”
Daun yang kucari sebelum pengulangan waktu itu, bahan yang kucari hingga kematianku terjadi.
Pertemuan dengan Litch dan Larasati, serta Silvanna tak lepas dari daun sirih perawan sebagai pemicu awal keberangkatanku menuju gunung Lunagen.
Itu bahan yang aku cari selama ini.
Aku memberikan Silvanna jamu itu secara perlahan melalui mulutnya, ditenggak secara perlahan oleh Silvanna.
Sampai habis, botol kaca berukuran kecil berisi jamu telah ditenggak habis oleh Silvanna, perlahan tubuhnya membaik.
Seperti melihat keajaiban, tepat dihadapanku.
Luka memar dan kulit yang terkoyak perlahan membaik, tak lagi meringis kesakitan.
“Grrrrr”
Silvanna pulih, seolah-olah Sebertan itu memahami siapa yang menolongnya.
Silvanna mengibaskan ekornya, mengusapkan kepalanya pada kami.
“Wahahahaha.”
Dari hutan kecil dan pertarungan melawan Bercula, aku dan Ryan akhirnya kembali ke tanah lapang.
Kali ini kami bersama Silvanna.
Kaki kami melangkah keluar dari hutan kecil sembari bercengkrama tentang Silvanna yang aku pangku.
“...Ryan, aku mau memberi namanya Silvanna.”
“Hah? Kenapa kamu ingin memberikan nama monster ini, Lala? Bukankah nanti kita lepas?”
“Tapi aku sangat suka Sebertan ini, Ryan!”
Wajahku cemberut, membujuk Ryan.
“Memangnya kamu diizinin orang tuamu?” tanya Ryan
“...Hmm aku berpikiran Ryan sih yang rawat Silvanna?”
Mustahil untuk merawat seekor monster didalam rumah petani, sebab itu Ryan akan lebih cocok mengurusi hewan peliharaan bertipe monster liar.
Namun ini aneh, aku tak memakai skill Tamer namun Silvanna begitu jinak.
Agoy menimpali.
Tentu saja, Sebertan itu bukan manusia yang tak tahu terimakasih saat ditolong.
Karena perkataanku, Ryan menolak namun beberapa pujian palsu kukatakan padanya.
“Tidak, Sebertan tetaplah monster.” Sangkal Ryan
“Hmm... Padahal kupikir Silvanna sama lucunya dengan kamu.” Pujian palsu dari mulutku.
Ryan yang tersipu menyetujui untuk mengurusi Silvanna didalam keluarganya.
Setidaknya tinggal Litch itu dan Larasati, Ryan juga mengetahui daun sirih perawan.
Aku bertanya pada Ryan, tentang daun sirih perawan yang selalu kucari.
“Ryan, ada yang ingin aku tanyakan.” mataku menoleh pada dirinya dengan wajah anak berusia empat tahun yang serius.
“Akupun sama.” jawab Ryan sederhana
Melihat Ryan yang bersimbah darah, aku memutuskan untuk mandi di danau terlebih dahulu, namun Ryan menolak karena mandi bersamaku itu sangat memalukan.
Padahal aku ini berjiwa laki-laki asal kamu tahu.
Namun pada akhirnya Ryan menyerah karena paksaanku yang terus-menerus memaksa Ryan.
Tubuhnya berbau amis, membuatku tak nyaman.
Darah-darah yang menempel pada Ryan juga akan menjadi masalah, jika orang-orang dewasa mengetahui apa yang kami lakukan.
Kami takkan sebebas seperti yang terjadi sampai saat ini.
Kami mandi bersama dan silih berganti membersihkan punggung kami masing-masing.
Pakaian bersimbah darah kami bersihkan lalu menjemurnya, aku dan Ryan tidak memakai sehelai kainpun ditubuh kami.
Hanya celana dalam yang kami kenakan, namun saat tubuh masuk ke dalam air.
Kami benar-benar telanjang.
Aku hanya berpikir, kami ini masih berusia dini untuk melakukan hal yang dewasa.
Jadi kupikir tidak apa untuk menjadi bocah polos yang tak mengerti banyak hal.
Wajah Ryan sangat tersipu, tatapannya begitu candu sebagai bocah dingin berusia empat tahun.
“La-Lala, aku ingin tahu kenapa kamu bisa sekuat itu.”
Aku hanya tersenyum dan berkata.
“Mungkin aku hebat seperti Natasya.”
Ryan terdiam, kini aku yang bertanya padanya.
“Jamu daun sirih perawan kamu masih punya?” Ujarku.
“Hah, kenapa memangnya? Aku punya banyak dari ayahku, namun itu jamu mahal.” Balas Ryan padaku.
Aku memintanya secara terang-terangan, di pengulangan waktu kali ini aku sedikit lebih jauh mengenal Ryan.
Jika dipuji dia akan luluh.
Dengan segala pujian palsu aku memanfaatkan kelemahan Ryan dengan bujukan manjaku, membuatnya mengiyakan untuk memberiku jamu daun sirih perawan setiap pertemuan.
Senyum jahat kehidupan lamaku kembali timbul di raut wajahku.
“...Persetan dengan perasaan, aku tidak pernah memaksa Ryan Wahahahaha.” gumamku kecil membuat Ryan terheran dengan tingkahku.
Negosiasi jamu berjalan lancar, walau bisa dikatakan bukan negosiasi, karena hanya aku yang dapat untung tanpa modal.
Seperti seorang pencuri, namun si pemilik menyetujuinya.
Modal yang aku keluarkan benar-benar nol.
Setelah membersihkan diri dari sisa pertarungan, kami ke tanah lapang.
James dan Natasya sudah selesai dengan urusan orang tua mereka, hingga akhirnya kami bermain sepanjang hari.
“Hey kalian!” Seru Nasya dari kejauhan.
“Kalian bawa apa itu?” Sahut James bersamaan dengan Nasya.
Kelompok kami bertambah satu dengan adanya Silvanna saat ini, memasuki kehidupan kami sebagai teman masa kecil para protagonis.
Masa depan telah berubah.
Namun masalah masih tetaplah masalah.
Bandit di hutan timur desa Carrington, para sandera dan Larasati.
Serta Litch yang membunuhku di masa depan.
Kali ini dengan persiapan yang akan matang.
Agoy, Ryan, Silvanna, Larasati.
Nama-nama tersebut sudah menjadi bagian besar dari hidupku, terlepas dari Natasya dan James.
Aku membiarkan mereka sesuai plot yang seharusnya, pikirku mereka bukanlah anomali dalam novel.
Karena mereka adalah protagonis utama dengan heroine pertama didalam novel pararel manapun.
Contoh salah: "Aku lelah." keluhku.
Contoh benar: "Aku lelah," keluhku.
Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian saya tidak akan pernah menyelesaikan rangka awal kisah ini.
Terimakasih untuk para reader yang sudah membaca kisah ini hingga volume 1 selesai.
Terimakasih atas dukungan kalian selama ini.
Novel ini tamat dalam bentuk naskah kasar. Saya berniat merapihkannya nanti dengan sudut pandang orang ketiga.
Sekali lagi saya ucapkan terimakasih.
Aku menunduk lebih dekat. "Apa-apaan ini …." bisikku, tenggorokanku kering.
Celah itu melebar. Dari dalam, sesuatu merayap keluar, sebuah tangan legam, berasap seakan bara membakar udara di sekitarnya. Jari-jari panjangnya menancap di tepi layar, mencengkeram kuat, lalu menarik celah itu lebih lebar, seperti seseorang membuka pintu ke dunia lain.
Tangan itu terhenti. Perlahan, satu jari terangkat … lalu berdiri tegak. Jari tengah.
Narasi ini jauh lebih baik dan lebih enak dibaca.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.