Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Usai sarapan pagi dengan Aisyah dan anak-anak, aku kembali ke kamar untuk bersiap. Setelah memasang hijab. Kucoba membuat cadar dengan pasmina. Ku tutup wajahku dengan kain itu, lalu kupegangi kedua ujungnya di belakang kepala.
Kutatap diriku di kaca. Seperti orang-orang yang selama ini kukagumi. Mungkin hatiku sudah lama diketuk untuk ini, tetapi aku masih enggan untuk memulai. Terlalu memikirkan apa nanti reaksi orang-orang di sekitarku. Padahal ini adalah salah satu bentuk pengabdian kita kepada Allah.
"Ini, Nayla," ucap Aisyah dari belakangku.
Dia mengulurkan kain hitam. Sepertinya kain itu adalah cadar. Aku lalu menerimanya dan langsung membuka lipatannya. Benar dugaanku, dia memberiku sebuah cadar.
"Aku coba, ya," ucapku.
Aisyah mengangguk. Lalu memperhatikanku memakainya. Tidak hanya itu, kemudian dia juga membantuku memasang cadar itu. Masha Allah," ucapnya serentak denganku yang juga mengucapkannya dalam hati.
Jiwaku bergetar. Ingin rasanya aku menangis tetapi tentu ini akan terlalu lebay.
Mataku berkaca-kaca. Segampang ini saja, kenapa tidak dari dulu kulakukan ini?
"Kupinjam, ya," ucapku kemudian padanya.
"Tidak, Nay. Ini untukmu, sebagai hadiah dariku. Terimalah," pintanya.
"Terima kasih, Aisyah. Barakallah,"
lirihku masih dalam hati yang masih haru.
"Wafika barakallah," sahutnya.
Dengan penampilan baruku ini,
kuperbarui juga niatku untuk mengejar pahala dari Allah dalam hidupku. Aku kemudian menelepon umi dan abi untuk minta restu atas penampilan baruku ini.
walaupun aku sudah tahu jawabannya, tetapi tetap akan kuminta izinnya.
Benar saja, umi dan abi begitu bahagia mendengarkan niatku ini. Semakin mantap saja rasanya untuk istiqomah bercadar.
Setelah menelepon umi dan abi aku lalu pamit dengan Aisyah, aku keluar kamar dan langsung disambut positif oleh seluruh santri yang ada di dalam ruangan itu. Itulah salah satu keberuntunganku bekerja di sini. Karena mereka semua beragama taat, nggak ada yang merasa ini penyimpangan, nggak ada yang memandang sebelah mata seperti ketika aku bekerja ditempat yang tidak di bidang keagamaan seperti ini. aku beruntung berada di dalam lingkungan pesantren ini.
Aku pamit pada mereka semua untuk turun lebih dulu. Beberapa santri memilih untuk turun bersamaku ke kelas mereka yang sebentar lagi akan dimulai.
Di bawah, aku bertemu dengan Pak Rahman yang datang dari arah parkiran. Kali ini, dia kedapatan sedang melongo ke arahku dengan langkahnya yang sangat lambat.
"Assalamualaikum, Pak," sapaku sambil menundukkan kepala tanda menghargainya. Waalaikumsalam," sahutnya seperti tersadar dari sebuah lamunan.
Entah apa yang ada di pikirannya ketika melihat penampilanku yang kini sudah berubah.
Masuk ke dalam kantor guru, teman-teman di sana juga kaget dengan perubahan penampilanku ini. Tetapi lagi-lagi mereka mensuport dan memujiku dengan kekaguman mereka. Seperti itu juga dulu aku ketika mengagumi orang-orang yang sudah lebih dulu berpakaian seperti ini.
***
Dini hari, aku tak tidur lagi setelah sholat tahajud. Jemariku sudah tidak tahan lagi untuk menyelesaikan novel terbaruku yang tinggal satu bab lagi. Hari ini kebetulan jadwal mengajarku kosong. Jadi, setelah anak-anak sekolah nanti, aku bisa merevisi novel ini dan mengirimkan pada karyawan ayah untuk segera di proses.
Aku benar-benar sudah nggak sabar untuk memeluk bukuku ini. mungkin ini adalah ikhtiar terakhirku untuk bisa menemukan Jasson. Jika dia serius denganku, tentu dia nggak akan lama-lama lagi menghilang dariku.
Walaupun saat ini media sosialnya sudah tidak ada, tetapi aku yakin dia masih melihat aktifitasku di media sosial. Buku itu nanti akan kujual juga di media sosialku sepertii buku-buku sebelumnya.
***
Kemaren bukuku sudah 'open pre order'. Aku langsung memposting iklannya di media sosialku. Kuharap dia melihat postingan ini dengan akun siapapun. Hampir sekali sejam aku melihat perkembangan postinganku itu.
Berharap ada titik terang keberadaannya.
"Nay, aku order dua," ucap Aisyah yang sedang memainkan ponselnya di atas tempat tidur.
"Order apa?" tanyaku berjalan ke arahnya dan memperhatikan ponselnya.
Kulihat dia ternyata sedang membuka akunku dan melihat ilkan novelku. Loh? Kok dua? Isinya sama loh," candaku.
"Kamu mau tahu kenapa? Tapi rahasia," ucapnya sambil menyembunyikan ponselnya.
Dia sering kali membuatku penasaran. Dan kalau tingkahnya sudah seperti ini aku benar-benar nggak bisa menahan rasa penasaranku lagi.
"Kenapa? Cepetan!" ucapku sambil berusaha mengintip ponselnya.
"Janji dulu," paksanya.
"Iya, iyaaa!” ucapku nggak tahan lagi.
Dia lalu mengotak-atik ponselnya lalu tertawa. Aku semakin penasaran karena tingkahnya.
"Nih," ucapnya sambil menyodorkan ponselnya padaku.
Kulihat di layar ponselnya kini terpampang chatnya dengan Pak Rahman.
"Abang, buku Nayla udah terbit, mau beli nggak?" Begitu pesan darinya paling atas yang kulihat.
Masuk
[Cinta Di Antara Salib dan Tasbih?] balas Pak Rahman.
"Yuhuu," jawab Aisyah dengan banyak sekali emotikon love-lovean.
Pak Rahman membalas dengan emot tertawa dengan kepala miring begitu banyak. [Iya, Mau,] jawab Pak Rahman setelah emotikon itu.
Aku tak kuasa lagi menahan tawa. Benar-benar aku nggak menyangka ini.
"Loh, Aisyah? Kenapa Pak Rahman tahu judul bukuku?" tanyaku yang tiba-tiba merasa bangga.
"Tahu dari mana lagi kalau bukan dariku," sahutnya sambil tertawa jahat.
"Iiih," aku sedikit mencubitnya.
"Biar kamu makin cepat jadi kakak iparku," celetuknya.
"Tetapi aku nggak enak jika Pak Rahman membaca ceritaku. Mana di sana kujelaskan jika itu adalah kisahku sendiri. Nanti Pak Rahman berpikir negatif tentangku jika aku pernah berpacaran," lirihku.
"Nay, nggak ada orang yang sempurna. Kita semua hanyalah manusia akhir zaman yang penuh dosa. Bang Rahman dulu juga pernah punya pacar kok." Pernyataan Aisyah membuatku kaget.
"Masa? Kok aku sulit percaya," ucapku.
"Benar, dulu sewaktu SMP Bang Rahman belum alim begini. Sholat juga kadang bolong. Dia dulunya sering dipukul abi tangannya karena nggak sholat," kenang Aisyah.
"Benarkah?" tanyaku sambil membayangkannya juga. Kupikir alimnya Pak Rahman ini sejak dari orok.
"Iya, Nay. Masa SMP itulah dia pernah pacaran. Cinta monyet gitu. Trus tamat SMP itu di paksa abi buat mondok. Sebenarnya sejak SMP sih, cuma waktu SMP itu dia nolak," papar Aisyah.
"Terus putusnya kenapa?" tanyaku.
"Ya nggak tahu, namanya juga cinta monyet," jawab aisyah.monyet," jawab aisyah.
Masuk
"Kalau kamu sendiri pernah pacaran?" Kini aku mulai kepo juga dengan masa lalu Aisyah.
"Kagak! Gara-gara Bang Rahman abi pernah kecolongan tuh. Aku jadi dikawal banget sampe teman-temanku pun Abi sama Umi hafal," gerutunya.
"Padahal kamu pengen juga?" tanyaku iseng sambil tertawa.
"Ya pengen," jawabnya juga tertawa. "Tetapi, ya, gitu. Karena nggak ada kesempatan jadinya nggak pernah. Saat sekaranglah aku merasa beruntung nggak pernah pacaran, makanya aku selalu pesankan ke anak-anak untuk tidak pacaran-pacaran," paparnya.
Dia benar, andai waktuku bisa dikembalikan lagi. Rasanya juga ingin aku membuang jauh-jauh pengalamanku itu. Andai aku sudah bercadar seperti sekarang, sudah bisa mengontrol diri seperti sekarang dan sudah sedekat ini sama Allah. Pasti nggak akan ada rasa yang seharusnya nggak ada itu
Akan ada rasa yang seharusnya nggak ada itu di antara aku dan Jasson.
Tiba-tiba aku teringat lagi pada sosok itu.
Cepat-cepat aku istigfar di dalam hati. Jujur, untuk masalah yang satu ini aku benar-benar masih butuh tenaga ekstra untuk melawan pikiranku sendiri.
"Oh, iya, buku tadi, aku pesenin dulu,"
ucapku sesaat setelah teringat orderan Aisyah.
Aku lalu menelepon marketer penerbit.
"Assalamualaikum, Kak," sahutnya di seberang sana.
"Waalaikumsalam, PO-nya tambah dua lagi, ya. Atas nama Aisyah," ucapku.
"Baik, Kak," sahutnya.
"Udah berapa orang yang order?" tanyaku penasaran.
"Udah ada 56 buku, dan yang pertama dari luar negri," jawabnya.
"Luar negri? Negara mana?" tanyaku lagi.
"London," ucapnya.Apa? London? Selama ini nggak pernah ada yang memesan buku dari sana.
Kemungkinan besar itu adalah Jasson!
Secercah harapan kini kembali tiba.
Bibirku melengkung seiring dengan bekerjanya syaraf-syaraf mata yang sepertinya sudah siap untuk memompa air yang ada di dalamnya.