Ziudith Clementine, seorang pelajar di sekolah internasional Lavante Internasional High School yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa secara mengenaskan.
Bukan dibunuh, melainkan bunuh diri. Dia ditemukan tak bernyawa di dalam kamar asramanya.
Namun kisah Ziudith tak selesai sampai di sini.
Sebuah buku usang yang tak sengaja ditemukan Megan Alexa, teman satu kamar Ziudith berubah menjadi teror yang mengerikan dan mengungkap kenapa Ziudith memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
This loneliness is killing me
Hujan turun deras, membasahi tanah pekuburan yang selalu menyimpan keheningan, kenangan serta kesedihan. Aroma basah tanah bercampur bunga yang layu menusuk hidung Arkana, tapi bukan itu yang membuatnya tercekik.
Di hadapannya berdiri sebongkah nisan dingin, putih, dengan ukiran nama yang tidak pernah ingin dia lihat terukir di sana:
Megan Alexa.
Arkana meraba permukaan batu itu dengan jemari bergetar. Tubuhnya menggigil, tapi dia paksakan untuk tetap berada di bawah derasnya guyuran hujan.
"Seharusnya bukan kau… seharusnya bukan kau," suaranya serak, hampir tidak terdengar di tengah hantaman keras yang langit turunkan untuk membasahi bumi.
Matanya merah, bukan hanya karena air hujan, tapi juga air mata yang tak kunjung kering. Dari semua orang yang terlibat, dari semua jiwa yang seharusnya menebus kutukan itu... kenapa harus Megan yang berakhir di sini? Pertanyaan itu terus menerus berputar di kepalanya. Bukan lagi sakit, tapi juga perasaan ingin menyusul Megan itu ada!
Dia jatuh berlutut, lututnya menghantam tanah basah hingga bercampur lumpur. Tangannya mengepal, lalu memukul permukaan tanah di basah itu. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
"Aku belum sempat bilang apa pun padamu… Megan," Kali ini Arkana lemas, suaranya habis tertelan kesedihan, seakan tenggorokannya tersayat.
Kilasan kenangan menyerang begitu saja, tanpa bisa Arkana cegah.
Megan tertawa kecil saat menyuruhnya jangan terlalu serius membaca The Book. Megan yang menggerutu ketika Arkana terlalu banyak berpikir. Megan yang tersenyum samar, seolah menyembunyikan semua luka, tapi tetap berusaha tegar.
"Kenapa aku diam? Kenapa aku tidak pernah bilang jika aku… Jika aku—" Arkana menelan isak, tubuhnya terguncang. Dia menunduk dengan bibir bergetar.
"Aku mencintaimu, Megan. Sejak awal. Sejak kau berlarian membawa buku usang itu. Lalu kau berusaha meyakinkan ku jika semua yang terjadi di buku itu nyata. Tekad dan keinginan keras mu untuk menyelamatkan semua orang... Aku terkesan. Aku mencintaimu, Megan. Tapi, sekarang... Meski ribuan kali aku mengatakan jika aku mencintaimu.. kau tidak akan pernah mendengarnya. Iya kan? Aku bodoh kan?"
Hening terasa membekap. Hanya suara hujan dan detak jantung yang sakit. Dan di titik itu, Arkana benar-benar merasakan... kesepian yang bukan lagi sunyi… tapi lebih dalam seperti sebuah belati yang menancap, berputar, dan merobek isi dadanya perlahan-lahan.
"Ini menyakitkan, Megan. Kau terlalu kejam padaku.."
Langkah kakinya tidak lagi tegap. Hanya dengan melihat bagaimana dia berjalan, orang-orang akan paham bagaimana Arkana begitu kehilangan seorang Megan. Gadis sendu yang selalu punya semangat untuk menyelamatkan jiwa orang lain dari target kematian yang ditulis dalam buku mengerikan. Tapi, yang paling mengerikan bukan lah kegagalan Megan menyelamatkan para target the book.. tapi karena ternyata dia lah korban terakhir yang namanya ditulis dengan tinta darah.
Arkana pergi dari area pemakaman menuju asrama Lavente. Dia tidak sendiri, dengan kondisi hancur seperti itu dia tidak akan bisa mengendarai kendaraan sendiri. Ada sopir pribadi keluarganya yang sigap mengantar Arkana kemanapun yang pemuda itu mau.
"Ar.. Kami semua turut berdukacita atas berpulangnya Megan, dia orang baik--"
Bla bla bla, entah apa yang dikatakan dan siapa yang mengucapkan, Arkana hanya melewati mereka semua. Dia hanya ingin menyendiri sekarang.
"Kasihan ya, dia terlihat begitu terpukul atas kematian Megan."
Masih bisa Arkana dengar suara orang-orang yang membicarakannya, Arkana tidak peduli. Dia sedang tidak ingin mendengar apapun saat ini.
Malam itu, Arkana tidak bisa tidur. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar asrama. Tubuhnya ada, tapi jiwanya hilang bersama Megan. Rasa sakit itu menolak reda, bahkan semakin menekan dada.
Terkadang terdengar helaan nafas berat, hanya ada Arkana di dalam kamar itu. Sendiri. Karena Bruno, teman sekamarnya juga sudah pergi untuk selamanya lebih dulu dari pada Megan Alexa, gadis yang akan abadi dalam diri seorang Arkana.
Pemuda itu mengambil bantal di bawah kepalanya, mengubah posisi bantal itu untuk menutupi bagian wajahnya. Semua terasa menyakitkan. Tubuhnya, hatinya. Semuanya. Hingga akhirnya, kantuk dan lelah menyeretnya ke dunia lain, sebuah mimpi yang terasa terlalu nyata.
Di dalam mimpi, da berdiri di sebuah lorong sekolah, lorong yang terlalu Arkana kenal. Cahaya jingga sore menembus jendela, memberi kesan hangat, berbeda dari semua mimpi buruk yang pernah dia alami selama kutukan berlangsung. Dan di ujung lorong itu, seorang gadis berdiri.
Bukan Megan. Tapi Ziudith.
Bukan sosok mengerikan dengan wajah rusak dan darah mengalir. Bukan hantu penuh kebencian dengan tubuh pucat kehijauan. Ziudith berdiri seperti gadis biasa yang sempat hidup di sekolah itu. Mata teduh, senyum kecil, tapi penuh luka yang tersimpan dalam.
"Arkana, apa kau bisa memaafkan ku?" Pertanyaan dengan suara lembut itu membuat Arkana mundur selangkah.
"Maaf?" Arkana mengulang apa yang Ziudith ucapkan.
"Aku minta maaf, aku salah. Keputusan ku menukar jiwaku untuk balas dendam… Ternyata telah menyakiti banyak orang. Termasuk kau, Ar. aku pikir, apa yang aku lakukan bisa menghapus rasa sakitku. Aku pikir, semua yang sudah terjadi akan membuat mereka mengerti, membuat mereka menanggung apa yang selama ini aku rasakan. Tapi aku salah. Semuanya salah. Kutukan ini hanya meninggalkan kehampaan.”
Air mata Ziudith jatuh, dan itu membuat Arkana semakin hancur. Karena untuk pertama kalinya, dia melihat Ziudith bukan sebagai roh penuh dendam, tapi gadis rapuh yang hanya ingin didengar serta dimengerti.
"Dan Megan… dia seharusnya tidak ikut menjadi korban. Itu bukan maksudku. Itu bukan… itu bukan jalannya." Ziudith menangis semakin dalam, suaranya pecah.
"Maafkan aku, Arkana. Maafkan aku. Aku ingin mengakhirinya, tapi sudah terlambat. Megan sudah pergi. Dan semua itu karena iblis dalam diriku."
Arkana ingin marah. Ingin berteriak. Ingin menumpahkan semua amarah pada gadis di depannya, pada dirinya sendiri, pada seluruh dunia. Tapi yang keluar hanyalah tangisan.
Arkana mengeluarkan semua kehancurannya di depan Ziudith. Menangis tanpa dia mau mencoba menghentikan air mata yang mengalir. Dia ingin sedikit saja mengeluarkan sesak di dadanya.
"Aku kehilangan Megan… Kau baru menyadari semua ini salah... Terlambat mu membuatku hancur, apa kau tahu?"
"Aku juga kehilangan segalanya. Jangan biarkan dirimu hancur sepertiku, Ar. Teruslah hidup… meski tidak bersamanya, meski sakit… Tetaplah hidup. Dia pasti tidak ingin melihat mu terpuruk seperti ini..."
"Tidak usah mengaturku!! Kau tidak berhak!! Sama sekali tidak ada hak untuk menentukan bagaimana langkah ku ke depannya!!! Kau!! Kau terlalu egois!! Jika saja kau masih hidup, aku akan dengan senang hati mencekik mu sampai mati untuk kedua kalinya agar kau tak bisa menyakiti siapapun seperti ini!!!"
"Ziudith, apa kau pernah tahu apa arti kata maaf dan memaafkan?? Tidak! Aku rasa kau tak tahu, karena kau terlalu fokus pada penderitaan mu. Kau terlalu jatuh jauh ke dalam lubang dendam yang kau gali sendiri. Kau.. tanpa bantuan iblis pun, kau sudah menyerupai iblis itu sendiri. Kau kejam!"
Arkana meluapkan emosinya. Menunjuk wajah Ziudith yang menunduk dengan derai air mata.
"Tap--tapi.. tapi semua orang dulu menyakiti ku, tidak ada yang mau mendengar dan mau membantu kau--"
"Omong kosong!!! PERGI, ZIUDITH! PERGI DAN JANGAN COBA MUNCUL LAGI DI HADAPAN KU, DALAM WUJUD APAPUN!! KARENA KAU HANYA AKAN MEMBUAT KU INGIN MENJADI IBLIS SEPERTI MU!!"
Teriakan Arkana menggema. Ziudith menggelengkan kepala, menatap penuh kesedihan. Dia memilih mundur. Perlahan berbaur hilang bersama udara. Kemudian, lorong tersebut perlahan memudar, suara Ziudith menjauh, meninggalkan keheningan yang dingin. Benar-benar hilang!
Arkana terbangun, membuka mata dengan napas terengah. Tubuhnya basah oleh keringat dingin. Tapi manik indahnya tak bisa lagi menangis. air matanya sudah habis. Hanya ada rasa sakit dan kehampaan di relung hatinya.
Mungkin... Kutukan the book telah berakhir. Tapi bagi Arkana, justru sekarang penderitaan yang sebenarnya baru saja dimulai. Karena dia harus terus hidup, dalam dunia tanpa Megan.
Pagi ini, matahari menyambut hangat sekali. Sinarnya terasa hangat menyentuh kulit. Derasnya hujan kemarin menyisakan embun bening pada daun serta ranting.
Arkana ada di sini. Kembali ke tanah basah yang menyimpan jasad gadis 17 tahun yang akhir-akhir ini selalu bersamanya. Tapi, tidak lagi untuk kedepannya. Arkana memakai seragam sekolah, rapi, bersih, wangi. Tapi harus dikotori dengan tanah berlumpur yang dia pijak sekarang.
"Megan, setiap kali aku menutup mata, aku berharap menemukanmu lagi, walau hanya di mimpi. Tapi yang kutemui hanyalah sepi. Ziudith sudah meminta maaf, kutukan ini berakhir… tapi aku? Aku masih di sini, terjebak dengan semuanya."
"Kesepian ini membunuhku perlahan, Megan."
Arkana menghela nafas. Dia memberi jeda pada kalimatnya yang dia ucapkan.
"Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang padamu segalanya. Aku akan genggam tanganmu, dan tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Tapi, kau sendiri juga tahu.. waktu tidak pernah bisa terulang. Dan aku hanya punya nisanmu untuk kucintai.
Megan… This loneliness is killing me."
Surat dari Jiwa yang Rapuh
Hari ini aku menulis, bukan untukmu yang bisa membalas, tetapi untuk hatiku sendiri yang sudah kehilangan suaranya.
Sejak kepergianmu, dunia ini seperti berkurang satu warna. Banyak warna lain, tapi bukan warnamu. Ada banyak suara lain tapi bukan suaramu. Dan ada orang lain, tapi yang aku mau itu kamu...
Aku berjalan, tapi jalannya kosong. Aku bernapas, tapi udara ini hanya menekan dadaku. Bukankah ini lucu, kau yang pergi tapi aku juga ikut mati.
Aku sering mencoba menguatkan diri. Berbisik pada bayangan ku sendiri,
'Kau kuat Ar. Kau baik-baik saja, kau masih bisa melangkah. Tegakkan kepala mu. Lihat ke depan, jangan terus menunduk seperti mencari koin yang hilang!'
Begitulah bodohnya aku, Megan. Sudah seperti orang gila ya? Bahkan aku berharap bisa jadi gila agar bisa kembali menemukan mu. Namun, begitu aku kembali menatap semuanya... Semua kepura-puraan ku runtuh. Dan aku kembali menjadi serpihan rapuh yang menunggu hancur dihembus angin.
Hei.. Apa kau tahu, Megan? aku masih mengingat tawa kecilmu yang sering pecah tanpa alasan. Aku masih bisa mendengar suaramu yang dulu begitu dekat, sekarang hanya gema yang jauh, seperti bisikan doa yang tak sampai.
Ada saat dimana aku ingin marah pada dunia, mengapa kau harus pergi lebih dulu, meninggalkan aku dengan semua cerita yang belum sempat kita akhiri.. Salah, bahkan kita belum memulai apapun. Bagaimana bisa kau mengakhiri kisah ini dengan keputusan mu sendiri?
Tapi lebih sering aku hanya terdiam, pasrah, seperti daun kering yang jatuh tanpa daya.
Aku rapuh, tanpa mu. Rapuh karena cinta yang pernah utuh kini retak, bahkan hancur sebelum kau tahu apa yang aku rasakan padamu.
Jika benar kau bisa mendengar dari tempatmu, izinkan aku berkata satu hal...
'Aku akan mencoba hidup, meski setengah jiwaku mati bersamamu. Aku akan mencoba berdiri, meski setiap langkah selalu kutemukan namamu... menunggu di ujung sepi. Dan bila suatu hari, aku kembali menyusul jejakmu, biarkan aku datang dengan senyum yang utuh. Karena aku telah belajar menanggung rapuhku sampai akhirnya kita dipertemukan lagi.'
Damian Bright Arkana.
Di sekolah internasional, " Lavente Internasional high School "
bukan mimpi?? 😨
berasa ada yang hilang tapi apalah daya jalan nya harus seperti ini 🥹🥹
lanjutkan kehidupan mu Ar, walaupun tanpa Megan... semoga kamu kuat