Entah kesalahan apa yang Malea lakukan, sehingga dia harus menerima konsekuensi dari ibunya. Sebuah pernikahan paksa, jodoh yang sang ayah wariskan, justru membawanya masuk dalam takdir yang belum pernah ia bayangkan.
Dia, di paksa menikah dengan seorang pengemis terminal. Tapi tak di sangka, suatu malam Malea mendapati sebuah fakta bahwa suaminya ternyata??
Tak sampai di situ, dalam pernikahannya, Malea harus menghadapi sekelumit permasalahan yang benar-benar menguras kesabaran serta emosionalnya.
Akankah dia bisa bertahan atau memilih berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Mobil mewah dengan plat nomor Ar 9 A itu melaju keluar dari garasi dengan kecepatan pelan.
Di sini aku baru menyadari jika ternyata plat nomor tersebut memiliki arti nama Arga sendiri.
Bergegas aku menyalakan mesin mobil, memastikan selalu supaya Arga tak tahu aku mengikutinya.
Sampai kemudian mobilku keluar dari halaman rumah, aku bisa melihat mobil itu melaju di depanku dengan jarak kurang lebih dua ratus meter.
Buru-buru aku menancapkan gas, mengejar mobilnya supaya tak terlalu jauh dari pandanganku.
Hatiku berdebar selagi aku membuntutinya, berharap pria itu tak sadar bahwa istrinya berkendara di belakang mobilnya.
Menarik napas, sungguh, aku sudah tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahu. Mengapa dia memiliki mobil semewah itu? Apakah dia benar-benar seorang kuli panggul, atau ada sesuatu yang lebih besar, yang sedang ia sembunyikan dariku?
Jika iya, apa alasannya? Kenapa?
Ah. Rasanya aku sudah tidak sabar lagi untuk segera mengetahuinya. Kira-kira apa yang akan aku temukan?
Sekitar tiga puluh menit berlalu, mobil Arga melaju ke arah pusat kota, lima menit kemudian memasuki halaman gedung bertingkat tinggi yang tampaknya sangat mewah.
Aku tahu ini adalah perusahaan ternama, bergerak di bidang kesehatan terbesar di kota ini.
Perlahan aku memperlambat laju mobilku, lalu berhenti tepat di bawah tiang lampu jalan, menimbang-nimbang apakah harus masuk atau tidak. Tapi jika tidak masuk, aku pasti tidak akan menemukan apapun.
Akhirnya setelah berbagai pertimbangan, ku beranikan diri untuk memasuki area gedung mewah di depanku. Seorang penjaga menjegalku karena ini memang tempat dimana sembarang orang tidak bisa masuk.
"Selamat malam!" Sapanya ramah sesaat setelah ku turunkan kaca jendela di sisi kananku. Badannya agak membungkuk agar bisa melihat wajahku.
"Selamat malam mas"
"Maaf, ada keperluan apa anda di sini?"
"Saya istrinya yang tadi mobilnya masuk ke sini, bisa mas bukakan palang pintu ini buat saya?"
"Oh ya bu, bisa" Dia lantas lari dan langsung membuka palang pintu untukku. Dia tidak menanyaiku lebih dari ini, penjaga itu mungkin memang sudah tahu kalau aku istrinya.
Melepas rem tangan, kembali aku melajukan mobilku.
Secara spontan kakiku reflek menginjak rem saat ku lihat Arga baru saja keluar dari dalam mobil. Sambil menahan debaran jantungku yang kian ribut, aku mengamati langkah tegasnya, berjalan menuju pintu depan gedung.
Seorang satpam membukakan pintu untuknya kemudian tersenyum sambil menyapanya dengan hormat, seolah Arga adalah orang penting.
Aku terkejut.
Mungkinkah kuli panggul yang setiap hari mengais rezeki di pasar itu adalah seseorang yang sangat penting?
Ku parkirkan mobilku dan memutuskan turun. Aku masuk ke gedung itu, mencari tahu soal suamiku lebih jauh.
Seperti di pintu utama tadi, semoga saja satpam di sini tidak mencurigaiku.
"Ada yang bisa di bantu, ibu?" Tanya satpam tanpa rasa curiga.
"Saya mau menemui pak Arga" Jawabku sekenanya. Aku benar- benar seperti sedang berperang saat ini. Rasa gugup, deg-degan dan cemas seakan bercampur menjadi satu, membentuk rasa takut yang sangat luar biasa.
"Untuk pertemuan mendadak ya bu?"
"I-iya" Sahutku. Entahlah, selain menghadapi pria di depanku ini aku juga harus menghadapi kondisi jantungku.
Debaran di dalam sana seperti membuatku ingin pingsan.
"Untuk pertemuan ini di adakan di ruang B dua, lantai enam bu. Silakan naik lift sebelah kiri" Satpam berperawakan tinggi besar menunjuk ke arah lift.
"Terimakasih, mas"
"Sama-sama ibu"
Usai satpam itu menyahutku, aku segera melangkah menuju lift, namun saat pintu lift terbuka dan aku masuk, aku tidak bisa menekan tombol digital di sisi kanan pintu lift. Bukan tidak bisa, lebih tepatnya angka enam yang baru ku tekan tadi justru tak menyala merah. Artinya harus memakai kartu supaya lift bisa naik ke lantai yang hendak kita tuju.
Sedikit ragu, sembari menahan pintu lift menggunakan tangan kananku agar tak tertutup secara otomatis, aku meminta bantuan satpam untuk membantuku.
Namun sebelum aku meminta tolong, si satpam sudah menyadarinya, ia pun berkata.
"Maaf bu. Naiknya harus pakai kartu" Dengan cepat dia berlari ke arahku "Sekali lagi saya minta maaf, saya lupa kalau ibu tamu kami" Aku hanya tersenyum kaku sambil terus menormalkan detak jantung yang makin tak karuan.
Mau menyelidiki suami sendiri, tapi rasanya seperti menyelidiki suami selingkuh. Benar-benar campur aduk perasaanku.
Ku lihat satpam itu menempelkan kartu pada tempat khusus yang ada di bagian atas angka digital, lalu jari telunjuknya menekan tombol berangka enam.
"Silakan, bu!"
"Terimakasih, pak"
Sama-sama, bu"
Di dalam lift, selagi lift beranjak naik aku berusaha menetralkan perasaan aneh yang terus membelitku.
Aku menelan ludah, keluar dari dalam lift dengan langkah pelan. Sepasang netraku mengedar mencari ruang B dua.
Ketika aku menemukannya, kembali ku telan ludahku kali ini dengan sangat sulit.
Di ujung kanan ruangan itu berada, pintunya setengah tertutup.
Aku berusaha tak menimbulkan suara langkah sepatu.
Semakin dekat, aku bisa mendengar dengan jelas bahwa di dalam ruangan seperti ada perdebatan. Aku pastikan kalau itu bukan suara Arga.
Saat aku sudah berdiri di depan pintu, aku mengintip situasi di sana.
Aku terhenyak, pasalnya kedua mataku mendapati Arga tengah duduk di sebuah kursi kebesaran, seperti orang sedang memimpin rapat?
Aku nyaris terkulai lemas, dan sebisa mungkin aku berusaha agar kakiku tetap kuat menopang seluruh tubuhku.
Tak berapa lama, ku dengar Arga berteriak menginterupsi dua orang yang sedang melontarkan perdebatan sengit.
"Diam!" Pekik Arga.
Suranya lantang, sementara matanya melotot tajam.
Selama ini, aku yang tak pernah melihat kemarahan Arga, jujur saja ekspresi itu membuatku semakin di liputi rasa takut.
Arga bisa marah?
Ku gelengkan kepalaku, tak percaya dengan yang ku lihat ini. Dia tak pernah marah padaku, dan selalu bersikap baik juga lembut.
Memang sangat tegas, tapi tidak pernah berbicara dengan nada tinggi, apalagi membentakku dengan ekspresi seperti tadi.
Tarikan nafasku terasa berat, sedetik kemudian mereka kembali membicarakan sebuah proyek besar.
Sekali lagi aku hampir tidak bisa mempercayai semua fakta yang aku temukan.
Arga yang selama ini ku lihat kumal dengan pakaian lusuh, wajah kusam di hiasi keringat, ternyata adalah seorang pemimpin perusahaan nomor satu di kota ini.
Ternyata penampilan yang selama ini tampak di depan mataku hanyalah sebuah penyamaran.
Aku tak tahu apa yang lebih mengejutkan lagi dari ini.
Apakah kenyataan bahwa dia adalah orang kaya, atau kenyataan bahwa dia sengaja merencanakan semuanya sejak awal?
Aku merasa terjebak dalam kebohongan besar.
Selama ini aku menikah dengan orang yang bukan hanya berbeda dari apa yang aku bayangkan, tapi juga memiliki dunia yang berbanding terbalik dari apa yang aku ketahui.
Mengapa dia tidak memberitahuku siapa dirinya yang sebenarnya? Apa yang dia inginkan dari pernikahan ini?
Tiba-tiba, dengan tanpa sengaja aku menjatuhkan kunci mobil yang sedari tadi ada dalam genggaman tanganku.
Bersamaan dengan suara jatuhnya kunci, semua orang yang ada di ruangan itu menoleh ke arah pintu, memusatkan atensinya ke wajahku, termasuk juga Arga.
Ya,, saking syoknya, tanganku sampai kebas hingga tak mampu mempertahankan kunci mobil ini.
"Malea!" Gumam Arga. Tatapanku kosong, menyorot penuh reaksi di wajah Arga yang sepertinya terkejut mendapatiku ada di sini.
Setelah tersadar, aku bergegas memungut kunci mobilku kemudian langsung berbalik melangkah menuju lift.
"Malea!" Panggil Arga ke dua kali, seraya berlari menyusulku.
Karena lift tak kunjung datang, aku pun berlari ke arah tangga darurat.
"Tunggu Malea!" Perintahnya, namun aku tak memperdulikannya. Kakiku terus melangkah, menuruni anak tangga hingga akhirnya aku berada di lantai dasar.
Dia membohongiku selama ini, dan itu sungguh membuatku merasa di permainkan.
masih pengen di peyuk2 kan sama Arga
hormon bumil tuh Dede utunya masih pengen di manja2 sama ayah nya,,
kebat kebit ga tuh hati kmau
Ayo thor lanjut lagi yg byk ya...penanasaran bgt kelanjutannya...
kenapa ga jujur aja seh.
tapi Lea takut ngomongnya,takut ga di akui sama mas arga
ayo Lea jujur aja aaah bikin gemes deeh