Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Overthinking
Di dalam kelas yang tengah hening, fokus mahasiswa lainnya terarah ke layar presentasi dan suara sang dosen yang menjelaskan materi. Namun, pikiran Giovani justru tak berada di tempat yang sama. Ia sesekali melirik ke bangku kosong di sebelahnya, bangku yang biasanya diduduki Camelia.
Empat hari sudah berlalu sejak terakhir kali gadis itu hadir di kelas. Dia ke mana, ya? Sakit atau ada urusan keluarga? gumamnya dalam hati.
Meski tak bisa dibilang dekat sebagai sahabat, tapi hubungan mereka cukup intens belakangan ini. Terutama sejak terlibat dalam beberapa proyek kampus bersama. Camelia bukan tipe yang banyak bicara, tapi Giovani tahu betul bahwa gadis itu adalah sosok yang bertanggung jawab. Tidak mungkin absen tanpa alasan, apalagi selama ini Camelia dikenal hampir tak pernah bolos.
Kekhawatiran pun perlahan mengendap di dadanya. Apa aku coba cari tahu alamat rumahnya aja? Siapa tahu dia benar-benar butuh bantuan, pikirnya.
Namun, niat itu segera terhenti ketika satu kesadaran menamparnya.
Camelia tidak seperti mahasiswa lain. Dia tidak pernah benar-benar membuka diri, bahkan hampir tidak punya teman dekat yang bisa jadi penghubung. Sebagai sosok yang cenderung introvert, Camelia membatasi banyak hal, termasuk informasi pribadi seperti tempat tinggal.
“Lagipula, kalau aku tanya ke pihak kampus pun, belum tentu mereka bisa kasih tahu. Itu termasuk informasi pribadi dan aku siapa juga?”
Laki-laki itu kembali menunduk, menatap layar laptopnya tanpa benar-benar membaca apapun di sana. Kekhawatiran itu masih belum reda, tapi ia tak punya ruang untuk bertindak lebih jauh, hanya bisa berharap Camelia baik-baik saja.
......................
Setelah kelas usai. Giovani berdiri agak ragu di ujung lorong fakultas, matanya menyapu sepanjang koridor yang mulai lengang. Ia menggenggam tas selempangnya erat-erat, jantungnya berdebar tak karuan. Saat itu, dari arah berlawanan, muncullah sosok yang mungkin bisa membantunya sedang berjalan dengan tenang sambil merapikan lengan jasnya, Girisena Pramudito.
“Selamat siang, Pak Sena,” sapa Giovani sambil sedikit membungkuk, sopan.
Sena menoleh, rautnya tetap kalem meski ada gurat kelelahan di sekitar matanya. “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?”
Giovani maju satu langkah, tampak canggung. “Maaf, Pak. Ini agak personal. Saya ingin menanyakan sesuatu, soal Camelia,”
Alis Sena terangkat tipis. “Camelia?”
“Iya, Pak. Dia sudah empat hari nggak masuk. Kami sempat satu kelompok proyek, dan saya lumayan kenal. Maksud saya, dia anaknya tertutup. Nggak banyak teman, dan saya nggak tahu harus tanya ke siapa,” katanya cepat, lalu menunduk. “Saya cuma khawatir, Pak. Takut ada apa-apa,”
Sena terdiam. Tidak ada ekspresi yang benar-benar terbaca dari wajahnya, tapi ia sempat menghentikan langkah. Empat hari?
Tentu saja ia tahu, ia tahu Camelia tak masuk. Tapi ia sengaja tidak mencari tahu lebih jauh. Sejak malam itu, malam dimana segalanya jadi terlalu jelas, ia memilih untuk menenangkan diri. Ia pikir jarak adalah pilihan paling waras.
Namun kini, kekhawatiran itu muncul dari seorang mahasiswa biasa. Seseorang yang tak punya ikatan khusus dan entah kenapa, hatinya jadi sedikit terusik.
“Saya mengerti,” gumamnya akhirnya, pelan.
Giovani menatap Sena dengan penuh harap. “Pak, tahu alamat rumahnya, mungkin? Saya, bersedia datang ke sana. Cuma untuk memastikan dia baik-baik saja. Kalau perlu saya minta orang tua saya yang antar. Tolong, Pak,”
Sena sempat ragu. Tatapannya kosong sesaat, sebelum ia akhirnya membuka map di tangannya dan menarik sebuah notes kecil. Ia menuliskan sesuatu, lalu menyobeknya dan menyerahkan ke Giovani. “Ini alamatnya,”
Mata Giovani berbinar. “Terima kasih banyak, Pak!”
Sena memandangi Giovani sejenak sebelum menambahkan, datar, “Kalau jadi menjenguk, bawakan dia donat,”
“Donat?” dahi Giovani mengernyit bingung.
Sena tak menjawab. Ia hanya melengkungkan senyum kecil, nyaris tak terlihat lalu melangkah pergi begitu saja. Sedangkan Giovani menatap kertas di tangannya, lalu menggaruk kepalanya.
“Aduh... duit tinggal lima puluh ribu. Sementara Camelia orang kaya. Donat premium jenis apa yang pantes aku kasih dengan budget segini?” gumamnya putus asa sambil berjalan pelan.
......................
Pada sisi lain, setelah kembali ke ruangannya, Sena menjatuhkan tubuhnya ke kursi kerja dengan helaan napas yang tak bisa ia tahan lebih lama. Punggungnya menyandar lelah, sementara pandangannya tertuju pada berkas-berkas yang sejak pagi belum sempat ia sentuh.
Tangannya bergerak untuk merogoh saku celana, mengambil ponsel yang sejak tadi tak sempat ia tengok. Layarnya menyala begitu jempolnya menyentuhnya. Dengan satu sentuhan, ia membuka riwayat panggilan. Di sana, satu nama terpampang di urutan teratas, Malika 💕
Ia terdiam, cukup lama. Hanya menatap nama itu tanpa benar-benar berani menekan opsi panggilan kembali.
“Mel... aku rindu,” gumamnya lirih. Ada senyum getir di ujung bibirnya, namun tak bisa menyembunyikan sorot matanya yang mengabur.
Jarinya bergerak menelusuri huruf demi huruf dalam nama kontak itu, meskipun yang ia maksud sebenarnya Camelia, nama Malika tak kunjung ia ubah. Seolah ada pengakuan dalam diamnya, bahwa ia sedang melarikan diri dari perasaan yang tak berani ia terima.
“Kamu sakit? Atau, sama seperti aku? Sama-sama sedang mencoba menenangkan diri dari dunia yang begitu bising?” bisiknya lagi, seperti berbicara pada seseorang yang benar-benar ada di hadapannya. Ia terdiam lagi, seolah tengah menanti jawaban yang tak kunjung datang.
Empat hari.
Waktu yang cukup untuk membuat kekhawatiran merayap diam-diam ke relung terdalam hatinya. Empat hari sejak Camelia terakhir kali hadir di kelas. Empat hari sejak pertemuan singkat mereka di kafe itu, yang sebenarnya lebih berarti dari apa pun yang pernah ia rasakan selama ini dan selama empat hari itu pula, ia sama sekali tidak menghubungi Camelia.
Bukan karena tak peduli. Tapi, karena takut. Takut jika perhatian yang ia berikan akan membuat Camelia salah paham lagi. Kini, ia berada di titik yang sama dengan Giovani, sama-sama khawatir, sama-sama rindu.
Namun tak seperti Giovani yang bisa dengan mudah mengutarakan niatnya, Sena hanya bisa menahan semuanya sendiri.
Ponsel diletakkan kembali ke meja. Tangannya kini meremas pelan ujung jasnya, seolah berusaha meredam gejolak yang makin sulit ia kendalikan. “Mel, aku nggak tahu apakah kamu masih menganggap ku atau justru sedang berusaha melupakan semuanya.” lirihnya sekali lagi. Tapi yang pasti, rindu itu kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih menyakitkan dari sekadar kehilangan.
......................
Matahari kian meninggi, membuat Giovani melepas helmnya sambil mengernyitkan dahi. Keringat membasahi pelipisnya, seiring hembusan angin yang tak cukup menyejukkan perjalanan panjangnya siang itu.
Sesampainya di alamat yang diberikan oleh Sena, pandangan Giovani langsung tertuju pada gerbang megah menjulang tinggi. "Wih, gerbang gede banget. Jadi sungkan mau masuk dengan pakaian lusuh kayak gini." gumamnya, menatap lekat gerbang besi berukiran yang menjulang megah di hadapannya. Pandangannya lalu turun ke arah dirinya sendiri, jaket jeans pudar dan celana jeans yang sama lusuhnya.
Gaya khas Giovani. Sederhana, apa adanya. Bisa dibilang mirip ‘Dilannya Milea’ apalagi ditambah motor lawasnya yang mereknya bahkan sudah tak eksis lagi di pasaran.
"Ah, gas ajalah. Udah sampai sini juga. Kalau pun diusir, ya udah pulang." Ia kembali ke motornya, menuntunnya pelan-pelan mendekati gerbang besar itu.
Tepat saat Giovani menurunkan standar motornya, seorang satpam keluar sambil menenteng kantong sampah hitam.
"Pak! Pak!" panggil Giovani sambil berlari kecil menghampiri.
Satpam itu menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Iya, ada apa ya, Mas?"
"Perkenalkan, saya Giovani. Teman kampusnya Camelia. Boleh, ya, saya masuk? Mau jenguk dia, hehe..." ucap Giovani, berusaha tersenyum ramah.
Tatapan sang satpam menyapu Giovani dari kepala hingga kaki.
Giovani menyadarinya, lantas terkekeh. "Pak, jelek-jelek begini saya bukan tukang kibul, kok. Sumpah, beneran saya ini temannya Camelia. Kalau nggak percaya, bisa langsung konfirmasi ke orangnya."
Satpam itu menatap sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baik, Mas. Tunggu sebentar, ya."
Ia membuang sampah terlebih dulu, lalu mengangkat walkie-talkie di tangannya dan berbicara pada salah satu maid yang bertugas di dalam. Ia meminta konfirmasi apakah benar nona Camelia mengenal seseorang bernama Giovani.
Menunggu hampir sepuluh menit, Giovani akhirnya mendengar suara dari alat komunikasi itu.
"Iya," sahut suara gadis dari ujung sana, Camelia.
Satpam pun mengangguk dan mempersilahkan Giovani masuk. "Silahkan, Mas. Motornya bisa dibawa ke dalam."
"Siap, Pak. Makasih banyak, ya."
Giovani segera menuntun motornya melewati gerbang besar yang mulai terbuka perlahan.
Pandangan matanya menelusuri sekeliling. Rumah mewah bergaya Eropa dengan pilar-pilar besar, berdiri megah di tengah pekarangan luas.
"Wah, wah, wah... ini mah istana. Gede banget, sumpah.” gumamnya terkagum-kagum.
Langkahnya terhenti sejenak. Ia menatap bangunan itu, rumah Camelia, yang selama ini tak pernah ia bayangkan semewah ini.
Beberapa saat kemudian, Giovani akhirnya melangkah masuk ke halaman rumah Camelia, sambil menenteng kantong kresek bening yang berisikan donat. Tak ada kotak bermerek atau kemasan eksklusif, hanya plastik sederhana yang membungkus donat-donat tersebut, oleh-oleh seadanya.
Dari dalam rumah, muncullah seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapi dan rambut yang disanggul sederhana. Wajahnya ramah, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa menerima tamu.
“Selamat siang, Mas Giovani?” sapanya dengan senyum hangat.
Giovani segera mengangguk sopan. “Iya, Mbak.”
“Silakan masuk, Mas,” ujar wanita itu lagi yang belakangan diketahui bernama Mbak Rara, maid keluarga Camelia.
Giovani membalas sapaan itu dengan senyum tipis. Entah kenapa, ia merasa kikuk. Mungkin karena ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di rumah orang yang selama ini ia anggap misterius dan tertutup. Ia melangkah pelan mengikuti Mbak Rara, sementara matanya bergerak menelisik setiap sudut ruangan yang ia lewati.
Langit-langit rumah tinggi, jendela-jendela besar dengan tirai mahal menjuntai indah, lantai marmer mengkilap memantulkan cahaya matahari yang masuk dari celah kaca. Aroma wangi bunga melati samar-samar menyambut langkahnya.
Bener-bener rumah sultan. Tapi kenapa penampilan Camelia terkesan sederhana banget ya di kampus? Oh... mungkin dia tipe orang kaya yang low profile. Keren juga, sih, batinnya kagum.
Kekagumannya semakin menjadi-jadi saat melihat lukisan-lukisan besar bergaya klasik yang tergantung di dinding, berpadu harmonis dengan interior modern beraksen putih salju.
Namun, di balik kemegahan itu, ada rasa sepi yang terasa menggantung di udara. Rumah itu terlalu sunyi. Tidak ada suara televisi, tidak ada denting cangkir dari dapur, bahkan langkah kaki Mbak Rara pun nyaris tak terdengar di lantai dingin itu. Ada semacam kekosongan yang entah kenapa terasa begitu lekat, seolah rumah ini sudah lama tak diisi tawa.
Giovani menelan ludah. Ia mulai mengerti sedikit demi sedikit, mengapa Camelia lebih nyaman menyendiri.