"Dia, seorang wanita yang bercerai berusia 40 tahun...
Dia, seorang bintang rock berusia 26 tahun...
Cinta ini seharusnya tidak terjadi,
Namun hal itu membuat keduanya rela melawan seluruh dunia."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon abbylu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17
Madeline mencengkeram ujung sofa seolah butuh pegangan untuk tetap terhubung dengan kenyataan. Liam masih berdiri di depannya, dengan ekspresi tenang yang begitu ia rindukan.
Tapi di dalam dirinya, jantung berdetak begitu cepat hingga sulit berpikir jernih. Ia tahu, ia tak bisa lagi menyimpannya sendiri. Tidak setelah melihat Liam ada di sana, begitu nyata, begitu dekat.
Kemudian, tanpa bisa menahannya lagi, dia mengucapkan kebenaran yang membakarnya dari dalam.
"Ada sesuatu yang harus aku katakan padamu… sesuatu yang baru kuketahui hari ini," suara Madeline bergetar, tapi matanya menatap mata Liam. "Sumpah, aku nggak berniat menyembunyikannya… dan aku sendiri masih belum yakin harus bagaimana… aku belum tahu harus merasa seperti apa."
Liam mengerutkan kening, khawatir.
"Apa yang kamu bicarakan, Madeline?"
Madeline menelan ludah. Perutnya terasa mengeras, tenggorokannya tercekat. Dan ia mengatakannya, tanpa basa-basi.
"Aku hamil."
Keheningan yang mengikuti begitu dalam hingga suara dengungan halus dari kulkas di dapur terdengar jelas. Liam tak bergerak, matanya menatap tajam ke arahnya, seolah otaknya menolak memproses apa yang baru saja didengar.
Madeline berdiri perlahan, berjalan menuju lemari kayu di samping jendela. Ia membuka laci atas dengan hati-hati dan mengeluarkan amplop putih.
Lalu ia kembali mendekat dan, tanpa sepatah kata pun, menyerahkan selembar kertas cetak: hasil USG yang diberikan dokternya pagi itu.
Liam mengambil kertas itu dengan tangan gemetar. Dia melihatnya dalam diam.
Sebuah bayangan kecil dalam oval hitam. Nama, tanggal. Detak jantung terdeteksi. Usia kehamilan: 12 minggu.
"Ini diberikan dokterku pagi tadi," bisik Madeline, tak berani duduk di sampingnya. "Aku… aku nggak merencanakan ini. Bahkan aku sempat berpikir untuk nggak memberitahumu. Aku menghabiskan sepanjang hari mencoba memahami perasaanku, keinginanku… lalu kamu muncul di sini. Dan aku tahu, aku nggak bisa lagi menyimpannya sendiri."
Liam kembali menunduk melihat gambar di tangannya. Lalu, pelan, ia menatap Madeline lagi. Matanya sedikit berkaca, napasnya memburu.
"Ini anakku?" tanyanya pelan, bukan dengan nada menuntut, tapi seperti anak kecil yang belum yakin apakah dia boleh berharap.
"Iya," jawab Madeline mantap. "Nggak ada pria lain."
Liam mengusap wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan hasil USG jatuh ke pangkuannya. Ia tidak mengatakan apa pun selama beberapa detik. Wajahnya menunjukkan konflik antara ribuan emosi sekaligus.
Akhirnya, ia bicara, dengan suara serak.
"Aku tidak tahu harus berkata apa…"
"Aku juga tidak tahu," aku Madeline, merasa begitu rapuh. "Aku nggak pernah merencanakan ini, Liam. Ini nggak ada dalam rencana hidupku… Aku nggak merasa siap untuk melalui semua ini lagi, apalagi sendirian."
"Apakah kamu ingin memilikinya?" tanya Liam dengan hati-hati.
Madeline mengangkat bahu, dengan air mata menggenang di matanya.
"Aku nggak tahu… aku belum yakin dengan apa pun. Yang aku tahu cuma… aku takut. Takut harus membesarkan anak sendiri lagi. Takut harus menjelaskan semua ini ke Valentina. Aku takut semuanya."
Liam menatapnya lama. Lalu ia mencondongkan tubuh, menggenggam tangan Madeline dengan lembut.
"Dengarkan baik-baik. Kamu tidak sendirian, Madeline. Tidak kali ini. Aku mungkin tidak tahu bagaimana menjadi seorang ayah, tetapi aku akan belajar. Aku tidak akan membiarkanmu memikul ini sendirian."
"Liam…"
"Jangan menyela," katanya, sambil tersenyum kecil meski terlihat gemetar. "Aku juga takut. Aku tidak akan menyangkalnya. Tetapi aku di sini. Aku bersamamu. Dan jika kamu mengizinkanku, aku ingin menjalani ini bersamamu. Langkah demi langkah."
Madeline menatapnya, hatinya penuh dengan perasaan campur aduk: ketakutan, harapan, luka, dan kelembutan.
"Kalau aku memutuskan untuk tidak mempertahankannya?" bisiknya nyaris tak terdengar.
Liam mengangguk, menggenggam tangannya lebih erat.
"Aku tetap akan bersamamu. Aku nggak akan memaksamu, nggak akan menghakimi. Aku ingin keputusanmu datang dari ketenangan, bukan dari rasa takut. Tapi izinkan aku untuk tetap ada. Apapun yang kamu pilih."
Satu tetes air mata jatuh di pipi Madeline.
"Terima kasih karena tidak membenciku karena ini."
"Membencimu?" ulang Liam tak percaya. "Bagaimana mungkin aku membencimu setelah kamu memberiku kabar paling mengejutkan dan paling indah dalam hidupku?
Madeline tertawa kecil sambil menangis.
"Indah? Aku nggak yakin…"
"Madeline," katanya, memegang bahunya. "Kamu memberiku kesempatan kedua. Kamu memberi kita kesempatan kedua. Dan kalau bayi ini jadi bagian dari itu… maka ini pasti sesuatu yang baik. Meski sekarang terasa menakutkan."
Madeline menarik napas panjang, untuk pertama kalinya hari itu merasa bahwa dia tidak jatuh sendirian ke dalam kekosongan.
"Valentina… aku harus memberitahunya. Aku tidak tahu bagaimana dia akan menerimanya."
"Biarkan aku membantumu dengan itu," kata Liam dengan tekad. "Mari kita berbicara dengannya bersama. Ini tidak akan mudah, tetapi aku rasa dia akan mengerti lebih dari yang kita bayangkan."
"Dan kalau tidak?"
"Kalau tidak, kita akan mencintainya dua kali lebih besar, sampai dia siap untuk mengerti."
Mereka berpelukan dalam diam. Kali ini tanpa ketakutan. Mereka belum tahu ke mana cerita ini akan mengarah.
Tapi mereka tahu satu hal: mereka kini bersama.
Dan itu adalah awal dari sesuatu yang baru.