Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darah Dibayar Darah
Hujan mengguyur Jakarta malam itu, deras dan menggila, seolah langit marah bersama Gavin Alvareza. Mobil SUV hitam tanpa pelat melaju membelah kegelapan, dikemudikan Raga dengan tangan sigap. Di dalamnya, Gavin duduk di kursi belakang, mengenakan jas hitam dan sarung tangan kulit. Wajahnya kaku, nyaris seperti patung batu. Bola mata birunya mengandung satu pesan: malam ini akan ada yang mati.
Zidan yang duduk di samping Felix di kursi tengah, menatap laptop portabelnya. “Lokasi pasti dikonfirmasi. Ruko tua di kawasan Pelabuhan Lama, Blok C7. Banyak aktivitas tak biasa terekam di kamera CCTV pinggiran—pengiriman barang pakai truk boks, senjata masuk malam hari.”
Gavin mengangguk pelan. “Maxim pikir dia aman di Jakarta? Salah besar.”
Felix yang sudah membaik dari luka kakinya hanya menyeringai. “Akhirnya kita balas, Bos. Aku udah kangen bau mesiu.”
“Aku hadiah dua peluruku ke tubuhnya,” ucap Raga
Mereka tak berbicara banyak lagi. Malam ini adalah malam eksekusi. Bukan lagi tentang amarah, ini sudah jadi harga diri.
Ruko Tua, Pelabuhan Lama — Pukul 23.10
Langkah Gavin terhenti di depan ruko dua lantai yang tampak kumuh dan ditinggalkan. Tapi bukan Gavin namanya kalau tertipu tampilan luar. Ia sudah hafal bau-bau tempat persembunyian mafia. Di dalam bangunan lusuh itu, ia tahu—di situlah musuhnya bersembunyi. Karena begitulah para trik Mafia. Mereka akan selalu pilih Ruko yang sudah tua atau bangunan yang tak terurus sebagai amrkas. Dengan begitulah cara mereka menyamarkan aktivitas.
"Posisi dua sniper di atap belakang dan satu penjaga di pintu samping," lapor Felix melalui earpiece.
Raga dan Zidan langsung menyebar. Dalam hitungan detik, dua peluru senyap meledakkan kepala penjaga atap tanpa suara. Gavin maju ke depan pintu, menempelkan bahan peledak mini dan…
BOOM!
Pintu kayu tua terlempar, suara ledakan menggema.
Gavin masuk pertama kali. Di lantai satu, ruangan penuh kotak kayu dan koper hitam terbuka, berisi senjata dan uang tunai. Orang-orang Maxim panik, tapi mereka tak sempat bereaksi.
DOR! DOR! DOR!
Felix, dan tiga orang lainnya masuk dari samping dan menghujani mereka dengan peluru. Raga menggulung tubuh ke dalam, menembak dua penjaga sekaligus. Zidan dari luar meretas sistem keamanan dan mematikan seluruh lampu ruko.
Gavin bergerak cepat, pistol berperedam di tangan kanan dan belati di kiri. Seorang penjaga mencoba menyerangnya dengan tongkat besi, namun Gavin menebas lengannya lalu mendorong tubuh pria itu ke kaca jendela.
“Aku bukan datang buat negosiasi,” bisiknya dingin.
Teriakan dan tembakan membahana di seluruh ruko.
Namun di lantai dua, sesuatu membuat Gavin berhenti sejenak.
Suara yang sangat dia kenal.
“Angga?” gumamnya pelan.
Ia mendekat ke arah suara perdebatan. Dari balik kaca kecil berdebu, Gavin melihatnya. Angga,kakak Vanesa, sedang berdiri di hadapan Maxim. Mereka tampak tegang, saling adu suara.
“Janjimu! Kau bilang akan hapus jejakku setelah transaksi selesai!” ujar Angga.
“Kau pikir aku bekerja gratis? Semua informasi dari kamu membuat Gavin lumpuh sebulan terakhir!” sahut Maxim dengan aksen Rusia kental. Ia berjalan pincang, tampak luka di bagian bahu.
Gavin mendongak, matanya membara. Bukan hanya Maxim... Angga ternyata turut bermain jauh lebih dalam.
Dengan isyarat cepat, Gavin mengendap ke lantai atas. Raga dan Zidan mengepung dari sisi kiri dan kanan.
Begitu Gavin menendang pintu, suara tembakan saling bersahutan. Maxim tersentak dan langsung menarik Angga sebagai tameng hidup.
“Jangan mendekat!” teriaknya. “Atau aku tembak si kakak ipar kesayanganmu ini!”
Gavin tak berkedip. Tangannya tak bergetar.
“Kalau kau pikir aku akan memilih dia dibanding membunuhmu, kau benar-benar belum kenal siapa aku, Maxim.”
Angga panik.
Gavin tersenyum sinis, “Apa kamu dan adikmu ingin menghancurkaku?’ tanya Gavin menatap tajam pada sang kakak ipar.
“Bajingan kau Maxim,” ucapnya menyikut perut Maxim.
Tanganya Maxim terlepas dari Angga, laki-laki Rusia itu terhuyung mundur ke belakang, memegang perut. Kesempatan itu dimaanfaatkan Angga. Ia mendorong kotak katu hingga isi berhamburan. Ia melompat dari jendela. Ia berhasil melarikan diri dari Gavin.
Felix masuk dari belakang dengan senapan terangkat. Namun sebelum tembakan dilepaskan, Maxim menendang rak besi ke arah mereka dan menembakkan granat asap kecil ke lantai.
Kekacauan terjadi. Asap tebal menyelimuti ruangan. Tembakan membabi buta.
Raga menjerit, “Bos, dia lari lewat tangga darurat belakang!”
Gavin menerjang asap, menembak dua penjaga yang menghalangi jalan. Ia nyaris menangkap Maxim, tapi pria itu sudah melompat masuk ke dalam mobil hitam bersama Angga.
Mobil melaju cepat menembus lorong pelabuhan. Gavin menembak ban, tapi hanya mengenai bumper belakang. Mobil itu oleng, namun tetap berhasil kabur.
Di kejauhan, suara deru mesin memudar.
Gavin berdiri diam di pinggir gudang, napasnya berat. Tangannya masih mengepal. Tapi dalam kesunyian itu, ia menyadari satu hal—transaksi gagal, semua barang bukti dihancurkan. Dan Maxim terluka cukup parah.
Setidaknya malam ini, ia membuat musuhnya tahu satu hal: Gavin Alvareza tak pernah lupa... dan tak pernah memaafkan.
Beberapa menit kemudian
Zidan duduk di atas peti kayu, mengikat ulang perban di lengannya yang lecet.
“Bos… Angga beneran kerja sama sama Maxim?”
Gavin mengangguk pelan, menatap tangga belakang tempat musuhnya lolos. “Dia bagian dari mereka. Tapi dia lupa satu hal…”
Felix menyela sambil menatap ponsel, “Apa itu, Bos?”
Gavin menoleh, dengan senyum tipis beracun.
“Dia belum pernah lihat sisi tergelapku. Kalau keluarga itu memang mau balas dendam aku hadapi.”
“Bos, kita tidak mendapatkan Maxim setidaknya dia dan Angga terluka,” ujar Felix senyum puas mengembang di bibirnya.
Zidan si bocah komputer menendang –nendang kotak kayu dan berkata, “bukan hanya itu dia akan sakit kepala setelah kehilangan barang-barangnya dan orang-orang terbaiknya.”
“Kita paksa si bocah Rusia itu pulang ke negaranya,” ucap Raga.
Gavin menatap barang-barang itu. Diatas meja ada uang dia dalam koper dan di sebrang meja ada sabu satu koper. Rupanya Angga kakak Vanesa pemain juga.
“Bakar semuanya, jangan sampai ada tersisa,” ucap Gavin menenteng koper berisi uang.
Mereka kembali ke mansion Gavin di sanalah ia memberi arahan pada semua anak buahnya untuk lebih berjaga ketat. Karena ia tahu ada yang kenapasan setelah barang-barang mereka hangus.
Baru juga Gavin duduk menyandarkan kepalanya di sofa, satu bawahanya yang bertugas mengawasi Vanesa, mengabari kalau Vanesa ada di rumah Damian .
“Baik Vanesa … sepertinya kamu ingin terus memancingku marah,” ucapnya mengertakkan gigi. Setiap kali menyangkut nama Vanesa tingkat kemarahannya naik satu oktaf.
"Dan ketika Gavin Alvareza turun ke neraka... bahkan iblis pun memilih kabur lebih dulu."
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini