Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Keesokan paginya dimana matahari mulai menyinari kamar Aldric, namun hatinya terasa kelabu.
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul delapan pagi tepat saat pesawat Arlena lepas landas, meninggalkan jejak samar di langit biru.
Aldric menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong, suaranya serak dan penuh kesedihan saat ia mengucapkan
“Arlena, selamat tinggal...” Hening menyelimuti ruangan itu, seolah dunia pun ikut merasakan beratnya perpisahan yang tak terhindarkan.
TOK TOK TOK...
Suara ketukan pelan terdengar dari pintu kamar Aldric.
Dalam diam dan tubuh yang masih terasa lemas karena malam sebelumnya sulit terlelap, ia perlahan bangkit dari tempat tidur.
Mata Aldric setengah terbuka, rambutnya masih berantakan, namun langkahnya segera terhenti saat membuka pintu dan melihat sosok di hadapannya.
Di sana, berdiri Arlena dan mengenakan pakaian pelayan berwarna lembut yang begitu familiar pakaian yang biasa ia kenakan saat pertama kali bekerja di rumah Aldric.
Wajahnya cerah, senyumnya merekah, seolah tidak pernah terjadi perpisahan.
Rambutnya diikat rapi seperti biasa, dan di tangannya terdapat secangkir kopi hangat.
"Selamat pagi, Tuan Aldric," sapanya lembut.
"Ayo lekas bersiap ke kantor. Tuan mau saya siapkan dasi warna biru atau yang abu-abu hari ini?"
Aldric tak mampu berkata-kata dengan Matanya membelalak penuh keterkejutan dan haru.
Ia bahkan sempat mengedipkan mata berkali-kali, memastikan bahwa yang ia lihat bukan sekadar ilusi akibat rindu yang terlampau dalam.
Tapi sosok itu nyata. Arlena berdiri di sana, hidup, tersenyum, dan... kembali.
Tanpa berpikir panjang, Aldric langsung melangkah maju, menarik pinggang Arlena dan memeluknya erat.
Tidak memberi waktu pada Arlena untuk berkata lebih jauh, ia menunduk dan mencium bibir gadis itu dengan rasa rindu yang tak tertahankan.
Ciuman itu bukan sekadar pelepas rindu, tapi juga pernyataan bahwa apa yang ia rasakan selama ini adalah cinta yang tulus dan dalam.
Arlena membeku sejenak, lalu perlahan menutup matanya, membalas kehangatan itu.
Pipinya bersemu merah, tapi senyumnya tidak bisa disembunyikan saat Aldric akhirnya melepaskan pelukannya, menatap wajahnya dengan penuh kekaguman.
“Gadis nakal,” gumam Aldric sambil menyentuh lembut pipinya,
“Kenapa tidak pulang lebih cepat? Kamu tahu betapa hancurnya aku saat kamu pergi?”
"Aku… hanya ingin tahu apakah kamu benar-benar menginginkanku tinggal. Tapi aku tidak kuat dan aku tidak bisa jauh darimu, Tuan. Aku hanya ingin berada di sisimu.”
Aldric menyentuh kening Arlena, menyandarkannya ke dahinya.
“Jangan panggil aku Tuan lagi,” bisiknya. “Kamu bukan pelayanku. Kamu adalah hatiku.”
“Lalu… aku harus memanggilmu apa?”
“Panggil aku Aldric… atau kalau kamu mau… panggil aku dengan sebutan kesayanganmu sendiri nanti.”
Mereka tertawa kecil melihat suasana kamar menjadi hangat kembali, seolah luka dan trauma yang pernah terjadi hanyut bersama pagi itu.
Dunia di luar mungkin terus berputar, tapi bagi mereka berdua, waktu seperti berhenti sejenak memberi ruang untuk cinta yang tak pernah benar-benar pergi.
Aldric tersenyum geli saat mendengar protes lembut dari Arlena yang masih berada dalam pelukannya.
"Aldric… sebentar lagi kamu meeting," ucap Arlena dengan nada lembut namun penuh peringatan, tangannya menepuk pelan dada Aldric.
Namun pria itu hanya menghela napas pelan, lalu memandangi wajah Arlena sejenak sebelum berkata dengan suara tenang,
"Meeting bisa ditunda, tapi kamu tidak bisa." Ia mempererat pelukannya, lalu melangkah perlahan membawa Arlena menuju sofa besar di dekat jendela yang menghadap taman kecil di luar.
Arlena mendesah kecil, pura-pura kesal, "Kamu ini… bagaimana kalau klien penting?"
“Klien penting tidak sepenting kamu yang duduk di sini dengan senyum manismu,” sahut Aldric ringan.
Ia meletakkan Arlena dengan hati-hati di sofa, lalu duduk di sampingnya sambil merenggangkan dasinya sendiri.
“Lagipula, kamu tahu kan aku punya Raka. Dia bisa pegang dulu lima menit.”
“Lima menit?” Arlena mengangkat alisnya, menatap tajam.
“Kalau ngobrol sama aku pasti minimal setengah jam, Aldric.”
Mereka pun tertawa bersama, tawa ringan yang telah lama tidak mereka rasakan.
Rasanya hangat—seolah pagi itu menjadi titik awal dari sesuatu yang baru dan damai.
Aldric menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum lebar, menatap Arlena seakan tak percaya bahwa gadis itu kini benar-benar kembali.
“Kamu tuh benar-benar... bikin aku gila.”
“Gila karena cinta?” goda Arlena sambil menyender ke bahunya.
Aldric hanya terkekeh, menyandarkan kepalanya ke kepala Arlena.
“Gila karena kamu memang segalanya.”
Mereka pun larut dalam percakapan ringan dan candaan kecil, saling bertukar cerita dan membiarkan dunia di luar terus berputar
Sementara mereka menemukan kembali satu hal yang membuat semua luka layak untuk dilalui: kebersamaan yang tak ternilai.
Aldric memiringkan kepalanya, menatap Arlena yang duduk di sebelahnya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Apakah kedua orang tuamu tidak marah saat kamu memutuskan untuk tidak pulang?” tanyanya pelan, nada suaranya lembut namun serius, menyiratkan kekhawatiran.
Arlena terdiam sejenak, menundukkan kepala sebelum perlahan menggeleng.
“Mereka tidak marah…” jawabnya pelan, suaranya sedikit bergetar.
“Papa dan Mama hanya bilang kalau keputusan apapun yang aku ambil, mereka akan menghormatinya. Asal aku bahagia dan merasa aman.”
Aldric menatapnya dalam diam, memperhatikan ekspresi Arlena yang berusaha tetap tenang.
Tapi dari matanya, ia bisa melihat bahwa perasaan bersalah itu masih ada—meskipun kecil.
“Aku bilang ke mereka, bahwa di sinilah tempat aku belajar menjadi diriku sendiri. Tempat aku merasa hidup, meski awalnya penuh luka,” lanjut Arlena sambil tersenyum kecil.
“Dan mereka… mengerti. Mereka tahu, aku butuh waktu. Butuh kamu.”
Aldric merasa dadanya hangat mendengar itu. Ia menggenggam tangan Arlena erat, matanya melembut.
“Kalau begitu… aku janji, keputusanmu nggak akan sia-sia. Aku akan jaga kamu… setiap hari.”
Arlena menatap mata Aldric dan mengangguk pelan.
“Aku tahu. Karena alasan aku bertahan sampai sekarang… juga karena kamu.”
Setelah percakapan penuh makna itu, Aldric bangkit dari sofa sambil meregangkan tubuhnya. Ia menatap Arlena sejenak dengan senyum hangat di wajahnya.
“Aku mandi dulu, nanti kita sarapan bareng, ya,” ucapnya sambil berjalan menuju kamar mandi.
Arlena mengangguk dan tersenyum, “Baik, Tuan. Saya akan menyiapkan soto ayam kesukaan Tuan.”
Begitu Aldric masuk ke kamar mandi, Arlena segera menuju dapur.
Dengan langkah ringan dan semangat yang terpancar dari wajahnya, ia mulai mengeluarkan bahan-bahan ayam kampung segar, serai, daun salam, kunyit, dan berbagai bumbu dapur lainnya.
Wangi harum tumisan bawang putih dan bawang merah mulai memenuhi ruangan, berpadu dengan aroma kaldu ayam yang perlahan mendidih di atas kompor.
Arlena menyanyikan lagu pelan-pelan seperti kebiasaannya, suara lembutnya terdengar menyatu dengan suasana pagi itu.
Tangannya lincah meracik sambal, mengiris kol, dan menyiapkan mie soun serta emping goreng sebagai pelengkap.
Ia tak berhenti sesekali mencicipi kuah dan menyesuaikan rasanya, memastikan semuanya sempurna seperti yang Aldric suka.
Sementara itu, di kamar mandi, air hangat mengalir membasahi tubuh Aldric.
Ia menutup mata, membiarkan air menyapu semua kelelahan yang masih tersisa. Di tengah kesunyian itu, pikirannya melayang pada Arlena gadis yang dulu hanyalah pelayan sederhana, kini menjadi pusat dari segala hal dalam hidupnya.
“Aku beruntung dia memilih kembali,” gumamnya pelan.
Begitu selesai mandi, Aldric mengenakan pakaian santai dan berjalan keluar kamar dengan rambut masih setengah basah.
Saat tiba di ruang makan, ia melihat meja telah tertata rapi dengan semangkuk soto ayam panas, sambal, jeruk nipis, dan kerupuk yang menggoda.
“Wah… ini dia aroma rumah yang sebenarnya,” ucap Aldric dengan senyum puas.
“Silakan duduk, Tuan. Selamat menikmati.”
Aldric duduk, menatap soto itu sejenak sebelum mengalihkan pandangan pada Arlena.
“Terima kasih, sudah pulang.” Suaranya pelan, tapi tulus.
Arlena hanya tersenyum, dan dalam hatinya, ia tahu—akhirnya, ia benar-benar berada di rumah.