NovelToon NovelToon
Last Chance

Last Chance

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: CutyprincesSs

Daniel Ferondika Abraham adalah cucu pertama pemilik sekolah menengah atas, Garuda High School.
Wajahnya yang tampan membuatnya menjadi idaman siswi sekolahnya bahkan di luar Garuda juga. Namun tidak ada satupun yang berani mengungkapkan rasa sukanya karena sikap tempramen yang di miliki laki-laki itu.
Hal itu tak menyurutkan niat Dara Aprilia, gadis yang berada di bawah satu tingkat Daniel itu sudah terang-terangan mengungkapkan rasa sukanya, namun selalu di tolak.
Mampukah Dara meluluhkan hati Daniel? dan apa sebenarnya penyebab Daniel menjadi laki-laki seperti itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CutyprincesSs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28

Selamat datang di bab terbaru. Cerita ini kutulis pelan-pelan, dari hati...semoga nyampe juga ke hati kamu. Jangan lupa klik like atau komen kalau kamu masih di sini, ya.

 

"Halo Dara, sampai jam berapa tadi?" tanya Vivi lewat vcall. Dara lagi duduk di atas kasur, tadi setelah selesai membongkar baju dan menata kamarnya, dia pergi mandi dan menyantap sarapan buatan Wanda.

Dirinya baru selesai beraktivitas pukul 09.00 pagi. "Tadi sampai bandara jam 06.30 ma, Dara jetlag." rengeknya manja. "Jangan nyusahin om dan tante lo kak." Julian tiba-tiba nyeletuk sambil memeluk Vivi dari samping.

terkekeh, "Gak fitnah dek! gue lempar salju lu mau?" namun Julian malah semakin meledek kakaknya itu. "Sakitlah!"

Ali dan Davin tiba-tiba berada di belakang Vivi dan Julian. "Syukurlah anak papa selamat sampai sana. Tad di jemput siapa aja Ra?" tanya Ali. "Semuanya pa, hehe. Martin juga ikut." Ali mengangguk.

"Terus kapan lo daftar ulang ke kampus dek?" tanya Davin. "Jum'at besok bang, 3 hari lagi. Gue masih punya waktu buat siap-siap sekalian keliling daerah sini. " Dara menjawab sambil merebahkan badannya.

"Emang lo nggak tinggal di asrama langsung kak?" tanya Julian menyenderkan kepalanya e bahu ibunya. Dara menggeleng, "Kayaknya belum. Gue belum ada sehari di sini, gue juga perlu adaptasi dulu. Toh kata tante wanda gue di suruh tinggal di sini buat nemenin dia. Oh ya ma, Mama cerita soal Kak Daniel ke tante?" tanya Dara. "Bukan cuma ke tante Wanda, semua sudah tahu." jawaban Vivi membuat Dara kikuk. "Mama!!" semuanya justru terkekeh.

"Nggak papa Ra, biar mereka bisa support lo di sana. Mana tahu Martin kasih kenalan boleh terus cocok sama lo!" ucapan Davin membuat Dara cemberut. "Apaan sih bang?! Dara aja masih belum bisa lupain Kak Daniel." Vivi akhirnya mendekat ke kamera, "Udah jangan dipikirin, nikmatin waktumu nak. Kami baik-baik saja di sini, nggak usah khawatir." Dara tersenyum setelah mendengar ucapan menenangkan dari mamanya.

"Yaudah kalau gitu Dara tutup ya ma? mau ngabarin Zahra sama yang lain kalau Dara udah sampai, takut mereka kepikiran."

"Oke, salam sama Tante, Om, dan Martin ya? kalau uangnya habis, bilang mama." Dara hanya memperlihatkan jari jempolnya, setelah itu telepon tertutup. darah menghembuskan nafas rumah merasa lega karena selesai memberi kabar keluarganya. Ia lalu membuka pesan grup dan memencet icon vcall.

Sedikit menunggu, akhirnya Zahra yang pertama menerimanya.

"Dara!" teriaknya antusias di layar ponsel.

"Zahra!! gue udah nyampe ini." ucap Dara dengan mata sedikit tertutup. "Santai, syukurlah kalau udah di rumah Tante lo, London gimana? cerah?" Dara mengangguk, tak lama samudra dan Revan ikut terhubung.

"Wassap men? London udah salju belum?" tanya Samudra, darah tertawa. "Ya belum atuh Kak, ini aja masih Juni." Zahra menatap tajam pacarnya. "Maklum Dar, pacar gue belum pernah lihat salju."

Revan justru tertawa puas, "Semangat Dara, btw kapan lo ke kampus??"

tanyanya. "Jumat Kak ke rumah gue ada waktu buat jalan-jalan sekitar sini." jawab Dara. "Lo nggak tinggal di asrama Ra?" tanya Zahra. Dara menggeleng, "Mungkin semester 3 Zah, gue masih perlu adaptasi." Zahra mengangguk. "Gue doain lo dapat bule." Dara terkejut mendengar doa Samudra. "Nah ya setuju tuh gue! nanti kenalin ke kita!" sahut Zahra dan Revan barengan. "Ngadi-ngadi banget kalian." rasa lelah Dara sedikit berkurang melihat hiburan teman-temannya.

Ia memilih tidur dan akan pergi menemui keluarga tantenya setelah bangun tidur.

 

Sore hari, cahaya musim gugur menyelinap lewat jendela besar di ujung ruangan, menciptakan pola hangat di karpet.

Di dekat jendela, terlihat dua pria beda generasi sedang duduk berhadapan di meja kecil, Martin dan Erik. Mereka terlihat serius melihat papan catur.

Dara melangkahkan kakinya menuruni tangga setelah mandi, pandangannya mengedar ke ruang tamu dan melihat Om serta sepupunya di sana. Erik menoleh dan tersenyum setelah memindahkan bidak caturnya, "Look who's awake." Dara mengerjapkan mata, merasa kantuk itu belum sepenuhnya hilang namun bau kayu dan teh yang samar, membuatnya sedikit segar.

"Jetlag huh?" sapa Martin dengan singkat, tanpa melepas pandangannya dari papan catur. Erik berdiri dan mendekati Dara dengan cangkir di tangannya.

"Wanda went to supermarket. dia sempat mau ngajak kamu. Pas buka pintu, dia bilang kamu tidur kayak batu, jadi nggak tega bangunin." Dara tertawa mendengar ucapan om nya. "Maaf, badanku rasanya seperti tertimpa beton 100 kilo. Nggak nyangka sama semua ini."

Erik memberikan cangkir teh itu padanya, "Minum dulu ini scone nya masih ada, kalau kamu pengen ngemil buat ganjal perut." Dara mengganggu, iya duduk di sofa, memakai throw blanket untuk menyelimuti kakinya.

"Aku belum kepikiran sejauh itu bakal sampai sini." ucapnya lirih, sambil menatap teh di tangannya. "Tapi rumah ini hangat."

Erik tersenyum, "We try out best. nanti malam kita makan shepherd's pie. Wanda bikin spesial buat kamu." Dara mengangguk, matahari semakin condong, namun entah kenapa perasaannya jauh lebih baik.

Malamnya, aroma Shepherd's pie dan tumisan sayur memenuhi udara, membuat perut Dara keroncongan. Wanda berdiri sedekat kompor, sibuk menuang saus ke atas loyang. "Hey, Kamu sudah bangun sayang?" ucap Wanda tersenyum hangat, menoleh sebentar sambil terus mengaduk.

Dara ikut tersenyum, "Aku bantu ya Tante?" Wanda mengganggu, tersenyum lega. "Boleh banget, potongin salat ini ya? terus susun di piring." Dara menggulung sweater nya, mengambil talenan dan mulai memotong tomat ceri. suara piring, alat masak dan ketukan pisau membuat rumah menghangat, mengingatkan Dara dengan suasana di Jakarta. Ia merindukan celoteh adik dan kakak laki-lakinya.

Beberapa menit kemudian, semua duduk di meja makan. Erik memimpin doa, lalu mereka mulai menyantap makanan buatan Wanda.

"Gimana rasanya hari pertamamu di Inggris?" tanya Erik memotong pie nya. "Campur aduk," jawab Dara tersenyum kecil. "antara kedinginan dan kagum."

Martin tertawa pelan, "Kamu baru ngerasain angin London, tunggu aja nanti kalau hujan udah datang tiap sore." obrolan berlangsung dengan ringan, Dara juga menyampaikan pesan dari mamanya untuk mereka yang ada di sana.

Setelah makan malam selesai dan meja sudah dibereskan, Martin menyenggol lengan Dara pelan. "Mau duduk di teras? biar makanannya turun dulu ke perut, sebelum kamu tidur lagi." tawar Martin. Dara mengangguk mengiyakan ajakannya.

Mereka lalu menuju teras depan dan duduk berdampingan di kursi putih.

Angin malam mulai menusuk namun tak terlalu dingin, dan bintang-bintang mulai terlihat di langit London.

Martin menyesap teh dari cangkir kaleng lalu menoleh melihat Dara sambil berekspresi jahil, "Gimana tentang Daniel itu?" darat terkejut, ia mendongak perlahan menatap langit gelap dan tersenyum samar sambil menenangkan hatinya.

"Kenapa?"

Martin mengendikkan bahu, "Cuma penasaran aja. Kamu terlihat seperti ninggalin sesuatu yang belum selesai." Dara menghela nafas pelan. "Bukan hanya sesuatu, tapi banyak, Martin." Martin diam, lalu tak lama berbicara dengan nada bercanda sambil menyikut sepupu perempuannya itu dengan pelan. "Tenang aja, kalau kamu masih belum bisa move on, kamu tinggal cari kenalan di Oxford. Mahasiswanya mix semua, ada yang nerd, tajir, English accent, pakai jas, sepatu kulit, dan wangi parfum mahal. Aku jamin kamu bisa secepat kilat lupain mantan."

Dara tertawa ke kencang– untuk pertama kali nya hari itu. "Sebenarnya... kami nggak ada status, Martin." Martin terkejut, "What the hell?! Serius kamu? tapi kata ibu yang ngasih tahu tante Vivi, Daniel itu nyakitin kamu dan udah minta maaf juga tapi Kak Davin belum bisa maafin. Di tambah Om Ali minta kamu buat kuliah di sini kan?-" ia tersenyum penuh kagum, dan melanjutkan ucapannya. "Tapi Kamu keren Ra, power patah hati bisa bikin kamu lolos beasiswa di Oxford, wah... kebanggaan yang harus di selebrasi itu."

Dara tersenyum, "Aku yang terlalu berharap kalau dia suatu saat bisa berubah dan bisa suka sama aku, tapi nyatanya-" ia menggelengkan kepala, "dia bahkan menikah dengan tunangannya bareng aku berangkat ke sini." Martin lalu nyeletuk, "Tenang, kamu nggak usah mikirin dia lagi. Aku punya teman sekelas yang beneran kayak prince William muda, tapi otaknya... beh kaya kalkulator."

"Tapi hatinya?"

"Em... kaya papan tulis kosong." jawaban Martin membuat Dara kembali tertawa. dalam hati ia bersyukur pemakai kondisinya yang berat seperti ini, ada keluarga yang senantiasa di sisinya, dan mungkin luka itu akan sembuh dengan perlahan.

***

Cerita ini nggak akan berarti apa-apa tanpa kalian yang membaca dan memberi tanda. Kalau kamu suka bab ini, tinggalin satu like atau komentar. Itu cukup buat bikin aku lanjut nulis dengan semangat.

See you in the next part!!!

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!