Last Chance

Last Chance

PROLOG

Bandara Soekarno Hatta pagi itu terlihat ramai dengan lalu lalang penumpang yang baru tiba ataupun akan berangkat. Suara roda dari koper beradu dengan lantai, panggilan boarding saling bersahutan, beserta aroma kopi dari cafe di sudut ruangan menyatu dengan hiruk pikuk suasana.

Di tengah keramaian itu, ada langkah yang terasa berat, langkah seorang gadis yang akan meninggalkan semua kenangan yang ia miliki. Dara berdiri dengan sebuah koper besar di sampingnya. Senyumnya merekah meskipun bibirnya bergetar menahan isak.

Setelah berpamitan dengan keluarganya yang menatapnya penuh haru, kedua kakinya melangkah menjauh, seolah di tarik untuk meninggalkan rumah... tanah kelahiran... dan bahkan dia yang mengisi masa sekolahnya meskipun hanya di penuhi penolakan.

Dadanya berdenyut. Bukan sakit, namun itu adalah bukti kerja kerasnya menahan diri untuk tetap tersenyum meskipun kenyataan pahit mendatanginya. Air matanya spontan jatuh tapi dia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan, takut jika orang lain melihat sisi rapuhnya.

"Cukup, Dara." gumamnya pada diri sendiri. "saatnya lo mulai hidup baru tanpa seseorang yang udah bahagia sama hidupnya dan gak akan pernah lihat lo ada. Hidup lo dimulai sekarang."

Dengan tarikan napas panjang, ia menyakinkan diri untuk terus melangkah masuk ke dalam ruang tunggu. Setiap detik terasa begitu berat, namun dia tetap memaksa untuk berjalan. Pesawat yang akan mengantarnya bukan hanya sekadar alat transportasi, namun ia adalah simbol dari perpisahan sekaligus awal kehidupan baru yang harus Dara jalani dengan hari yang hancur.

Di waktu yang sama, beberapa kilometer dari bandara, suasana terlihat berbeda. Sebuah ruangan yang tenang, dan di penuhi para saksi melingkari seorang pria yang duduk tegak dengan jas hitam membuatnya terlihat seperti pengantin pada umumnya. Namun yang sebenarnya terjadi adalah napasnya begitu tercekat dengan dadanya yang sesak.

Jas yang ia kenakan terasa menekannya, bukan karena ukuran, melainkan semua beban yang ada di dadanya. Sementara di sampingnya, Ebie duduk sambil tersenyum lebar dan hanyut dalam suasana bahagia, kontras dengan apa yang Daniel rasakan. Ia menatap ke bawah dengan kosong, seolah jiwanya tidak ada di sana.

Saat pria itu memejamkan matanya, bukan bayangan Ebie yang muncul, melainkan bayangan seorang gadis ceria yang selalu hadir dan tak pernah lelah mengisi hatinya, Dara Aprilia. Ia teringat jelas bagaimana air mata gadis itu keluar denganu sangat pedih saat kata-kata kasar ia lontarkan, dan sekarang itu semua berubah menjadi hantaman keras dalam hidupnya.

Setiap mengingat detail air mata itu kembali, Daniel merasa jantungnya di tusuk seolah mencekik lehernya. Ia menunduk, tangan yang berada di bawah meja mengepal.

"Kenapa sekarang gua baru sadar? Kenapa setelah lo pergi, semua terasa menyakitkan? Ra... gua bodoh. Gak seharusnya gua nyakitin lo segitunya dan sekarang lo udah pergi jauh, dimana gak ada gua di samping lo. Justru di detik ini gua baru ngerti, gua cinta sama lo, Dara."

Suara penghulu mengalun, membaca ijab kabul dengan tegas dan mantap. Semua orang memandang penuh harap menunggu Daniel mengucapkan kalimat sakral itu. Dan dengan satu tarikan napas, pria itu berhasil mengucap dengan lantang. Namun setelah itu, bukan rasa lega yang ia rasakan, melainkan kehampaan. Seolah yang baru saja dia nikahi bukan seorang wanita, namun penyesalan.

Di bandara, pengumuman boarding sudah terdengar. Dara berjalan menuju pesawat. Suara roda koper beradu dengan lantai, menjadi irama terakhir dari langkahnya di tanah ini. Ia duduk di kursi pesawat, mengenakan sabuk pengaman dan menatap jendela dengan pandangan kabur.

Suara mesin pesawat mulai meraung perlahan, bersiap untuk terbang jauh. Dara menarik napas, berusaha menghadapinya, "Mungkin ini semua yang terbaik," bisiknya pelan. "daripada gue harus terus nunggu dan berharap demi cinta yang sejak awal di takdirkan bukan jadi milik gue."

Langit Jakarta terlihat mengecil dari balik jendela. Sementara di ruang pernikahan, tepuk tangan kecil terdengar setelah ijab kabul dinyatakan sah. Dua dunia, dua hati, di tempat yang berbeda, sama-sama remuk oleh keputusan yang tak bisa mereka hindari.

Namun takdir selalu punya cara lain. Bagi Daniel, penyesalan itu berubah menjadi doa: apakah masih ada kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya? Sementara bagi Dara, luka yang ia terima menjadi kekuatan dan penanda untuk bangkit, untuk menemukan jati diri. Namun... luka itu pula yang akan mempertemukan mereka kembali dalam waktu... dan keadaan yang tak pernah mereka bayangkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!