Love In Black And White

UCAPAN YANG BURUK

“Aku tidak habis pikir dengan wanita itu. Keterlaluan sekali!” Gerutu Ada yang berjalan dengan langkah cepat hingga dia berpapasan dengan Jones yang mengenakan pakaian rapi, berupa kaos polos abu-abu dan jas hitam.

Pria berambut pirang itu menatap ke ibunya dengan senyuman. “Oh, my lady!” Ucapnya mencium pipi Ada sehingga amarah dan emosi wanita itu meredam menjadi senyuman.

“Kau mau pergi?” tanya Ada. Jujur saja, dia lebih suka dengan Jones daripada Sarai, karena anak laki-lakinya itu lebih mirip seperti dirinya.

“Ya, aku ada pertemuan dengan temanku... Ibu tahu, setelah lama meninggalkan Chicago— ”

Pria itu menghentikan ucapannya saat dia sudah memberikan kode kepada ibunya. Tentu saja Ada tahu apa yang dimaksud Jones—pemuda jaman sekarang, istilah melepas rindu dengan bersenang-senang.

“Kalau begitu pergilah, sebelum Sarai datang dan mencegah mu. Kau tahu bagaimana dengan dia kan.” Jelas Ada membuat Jones mengangguk kecil dan menghela napas.

Tentu saja pria itu menuruti ucapan ibunya dan melangkah pergi.

Terlihat senyum puas di bibir Ada setiap kali dia melihat anaknya bebas. Dan kini dia harus merayu Christian agar menyerahkan kekuasaannya kepada Jones.

“Kau mengumbarnya lagi?”

Seketika suara Christian membuat senyum Ada hilang saat dia menoleh dan melihat suaminya yang baru saja keluar dari ruangannya dan kini mengancingkan jas berwarna hitam dan menatap tajam ke Ada saat wanita itu tersenyum tipis.

“Itu bukan mengumbar, tapi membiarkan dia bergaul agar dia mendapat akses luas untuk mengelola bisnis suatu hari nanti!” jelas Ada lalu pergi dan tak ingin mendengar perdebatan dari Christian.

Tentu saja pria itu tak bisa membalasnya dan hanya menatap tajam ke istrinya.

Namun yang membuat Christian terheran-heran saat ini, dia sama sekali tidak melihat keberadaan istri dari putra tirinya itu. Atau memang karena dia tidak keluar ruangan sama sekali? “Lupakan saja, itu lebih bagus.” Gumam Christian melangkah pergi.

...***...

Sementara di kamar, Nisa hanya duduk diam sembari iseng meluangkan waktu dengan bersyair nada yang sungguh merdu hingga itu membuat ruangan tersebut tidak hening.

Saking senangnya mendengar suaranya sendiri dan menikmatinya, Nisa tak menyangka suaranya benar-benar akan terdengar karena keadaan pintu kamar yang sedikit terbuka saat dia mencoba mengintip tadi.

Tok! Tok! Tok! Hingga suara ketukan membuat Nisa terdiam dengan segera ke arah pintu. Ia pikir itu adalah Dom atau pelayan, namun nyatanya bukan.

Seorang pria berjas berkemeja putih dan vest abu-abu yang kini menatap ke Nisa dengan lekat dan penuh peringatan. “Jika ingin bernyanyi, maka tutup pintunya agar tidak terdengar.” Jelas Jesse, suami Sarai yang baru saja pulang dari kantor.

Nisa yang masih menundukkan pandangannya, dia menjawab. “Saya pikir pintunya sudah tertutup, maafkan saya.”

Jesse berkerut alis saat wanita itu tidak mau menatapnya seperti kebanyakan orang lainnya yang seharusnya saat berbicara, alangkah baiknya jika memandang orang tersebut.

“Apa kau tidak punya aturan? Berbicara dengan menundukkan pandangan ke lawan bicara, itu tidak sopan.” Jelas Jesse dengan sengaja, karena sebenarnya dia ingin melihat jelas wajah istri dari Dom Torricelli itu. Wanita yang sangat tertutup seperti permen dan dia yakin ada kemanisan di dalamnya.

“Ini adalah aturan ku. Semua orang memiliki aturannya sendiri, maaf!” jelas Nisa dengan suara lembutnya.

Sungguh! Jesse tidak pernah berhadapan langsung dengan wanita seperti Nisa. Sangat membuatnya penasaran hingga ia tak berhenti memperhatikan lekat penampilan Nisa dari atas ke bawah berulang kali.

“Zoccola!” gumam kecil Jesse mengatakannya dengan menatap ke Nisa, lalu pergi.

Sedangkan Nisa yang tak tahu arti kata yang barusan pria itu ucapakan membuatnya menatap kepergiannya dengan penuh tanya.

“Sedang apa di sini?”

Wanita itu sedikit terkejut saat suara Dom tiba-tiba terdengar. Ya, tentu! Pria itu melihat kepergian Jesse yang barusan berbincang dengan istrinya.

“Tidak ada, hanya teguran kecil!” ucap Nisa tersenyum tipis, sangat tipis namun wajahnya nampak gugup saat harus berbicara dan berhasil langsung dengan Dom daripada dengan yang lain.

Dom sendiri masih berkerut alis dan melangkah lebih maju sehingga jaraknya sangat dengan Nisa. “Dia mengatakan sesuatu?” tanya Dom yang seolah sudah tahu seluk-beluk keluarga Vesper.

Nisa yang menatap ke suaminya, tentu dia ikut penasaran juga. “Dia.. hanya menegur kecil karena aku bernyanyi, tapi dia juga mengatakan Zoccola.” Jelas Nisa yang seketika membuat Dom terdiam dengan tatapan yang masih tajam.

“Apa ... Ucapan itu buruk?” tanya Nisa dengan khawatir, dia takut dosa jika salah ucap.

“Masuklah.” Pinta Dom mendorong Nisa ringan dan menutup pintu kamar tersebut.

Tentu saja Dom tahu arti kata tersebut. Itu biasa, karena Jesse memang keturunan Italia, tapi mengatakan kata menjijikkan itu kepada istrinya, tentu saja Dom menyeringai kecil.

Dia tidak habis pikir bahwa suami dari adiknya sungguh seperti itu. Ya... Itu sudah tidak diragukan lagi, keluarga Vesper memang banyak menyembunyikan sesuatu.

“Ayo bermain denganku... Ayo! Ayo! Ayo... Ayah!!!” rengek Dustin yang saat ini membawa bola di malam hari.

“Ini sudah malam, aku harus bekerja! Kau bisa bermain dengan Campbell!” balas pria itu tersenyum singkat ke putranya yang masih berdiri di dekatnya.

Dengan wajah cemberut, Dustin berbalik ke arah pintu, namun seketika dia terkejut melihat keberadaan paman Dom nya di sana.

“Paman!” serunya menghampiri pria yang berdiri di ambang pintu.

Dom yang tadinya menatap tajam, kini melembut saat melihat anak itu menghampiri nya. “Kau akan berburu lagi? Tolong ajak aku juga ya!” pintanya mendongak menatap ke pria tampan bermata silver itu.

Dom mengusap puncak kepala Dustin. “Ya, berkunjung lah ke mansion ku, akan aku ajarkan banyak hal agar kau tidak seperti pria yang di sana.” Ujar Dom menatap tajam ke Jesse yang seketika menatapnya balik dengan menahan emosi.

Tentu saja, pria itu tak berani berkutik jika harus bertengkar dengan seorang Dom. Meski pemilik mansion Vesper dan perusahaan adalah Christian, namun perlu di ingat bahwa yang membantu mengembangkan semua itu adalah Dom yang bergerak di jalur gelapnya karena itu lebih mudah.

“Dustin! Kau ingin bermain? Ayo kita bermain.” Ucap Jesse sehingga anak itu kembali senang dan menghampirinya.

Sementara Dom masih menatapnya lekat. “Kau tidak ingin mengatakan hal yang sama ke istriku kepadaku?” sindir Dom yang langsung to the point.

Karena ada Dustin, pria itu masih bisa mengendalikan diri. Dan dia sangat suka dengan anak-anak.

Seketika Jesse menyeringai kecil seolah dia ingin mengabaikan semua itu. “Itu hanya kesalahpahaman, aku tidak tahu jika istrimu sangat terbawa. Maafkan aku!” jelas Jesse dengan santai.

Sungguh! Dom hanya menatap lekat ke pria itu, seakan dia tengah memberikan ancaman dan peringatan.