Ardian Rahaditya hanyalah seorang pemuda biasa, yang bercita-citakan kehidupan normal seperti anak bungsu pada umumnya.
Namun, kehadiran gadis berisik bernama Karina Larasati yang entah datang dari mana membuat hari-harinya dipenuhi dengan perdebatan.
"Bang Ar, ayodong buruan suka sama Karin."
"Gue udah punya pacar, lebih cantik lebih bohay."
"Semangat ya berantemnya, Karin doain biar cepet putus."
"Terserah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGHINDAR
"Kok ke sini, Bang?" Tanya Karin saat abangnya malah mengajaknya ke sebuah taman, lapangan berrumput tempat orang-orang bersantai, gadis itu mengedarkan pandangannya pada beberapa pengunjung yang tengah bermain dengan anaknya, berkumpul dengan keluarga, ada juga yang membaca buku. Melihat itu Karin jadi merasa rindu pada sang mami.
"Emang lo maunya kemana?" Tanya Ardi yang membuat Karin menoleh.
"Ke Mall?"
Ardi berdecak, mendudukkan dirinya di kursi panjang, "ya kali, ini masih jam pelajaran sekolah, terus lo ke Mall pake seragam?"
"Eh iya," ucap Karin, ikut duduk di sebelah abangnya.
"Terus di sini ngapain, Bang?"
Ardi menoleh, "Ngapain kek, yang penting kan sama gue," ucapnya, kemudian tersenyum.
Karin tertegun beberapa saat, menatap abangnya itu curiga. "Abang agak aneh," ujarnya.
"Anehnya?"
Karin beranjak berdiri, "manis banget," ucapnya, kemudian melangkah pergi, seolah kalimat yang ia ucapkan barusan adalah kata berpamitan.
"Paan sih." Ardi tertawa mendengus, mengambil hpnya di saku jaket, kemudian menghidupkannya, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada Karin yang tampak mengobrol dengan penjual layangan di bawah pohon ketapang.
Saat benda di tangannya menyala, sebuah pesan beruntun masuk dari orang yang berbeda-beda, tapi ia hanya membuka pesan kakak perempuannya.
Mbak Nena: pulangnya jangan lama-lama, tadi papinya Karin kesini, dan dia bilang sore bakal kesini lagi.
Dan saat Ardi bertanya pria itu mau apa, kakak perempuannya membalas bahwa dia ingin membujuk anak gadisnya untuk ikut pulang.
Itu adalah percakapan tadi siang, sebelum pemuda itu menemui Karin di kantin biru, dan kali ini dia kembali mematikan hpnya.
"Bang Ar!"
Ardi mendongak terkejut, sempat melamun beberapa saat membuatnya tidak menyadari gadis itu telah berdiri di hadapannya.
"Apaan?"
"Minta duit, Bang. Karin mau beli layangan." Karin menengadahkan tangan, malak mode on.
"Nggak usah main layangan, ntar lo item." Ardi kembali memasukkan hpnya ke saku jaket.
"Karin udah bilang mau beli Bang, nggak enak doong."
"Yaudah berapa?"
"Harganya sih 30 ribu, udh komplit, tapi Karin bilang mau bayarin 50 ribu," ucap gadis itu. Yang membuat Ardi melongo.
Pemuda itu berdecak, "dimana-mana yang namanya beli tuh ditawar, Dek, lo malah tambahin, pinter banget si."
Karin beranjak duduk, memegang lengan abangnya, memohon setengah maksa dengan mengguncangkan pelan tubuh pemuda itu.
"Kasian, Bang. Orangnya udah tua, terus dia bilang juga dari pagi belum laku dia belum makan tau."
"Dan lo percaya?" Tanya Ardi, dan gadis di sebelahnya itu mengangguk. "Jangan polos-polos banget jadi orang lah, ntar lo dimanfaatin."
Karin melepaskan cengkraman di lengan pemuda itu, "denger ya, Bang. Menurut buku yang pernah Karin baca, manusia itu percaya dengan apa yang ingin dia percaya, terlepas orang itu bohong apa nggak, Karin udah memilih buat percaya."
Ardi jadi menggaruk rambut kepalanya, susah ngomong sama penulis, pikirnya. Ngeles mulu.
"Sekarang gini aja deh, Bang. Abang bisa nggak bikin layangan buat Karin?" Tantangnya.
"Ya, ya nggak bisa siih."
"Nah makanya abang keluarin duitnya aja, kasian banget tu orangnya udah sepuh, amal, Bang. Amal."
"Amal si, amal, masa malak duit gue." Dan Karin yang hanya membalas dengan senyuman, mau tidak mau membuat pemuda itu mengeluarkan lembaran limapuluhan dari dalam dompetnya. "Nih, bilangin dari hamba Allah."
"Emangnya sumbangan buat mushola." Karin mengambil uang itu dan berlari menghampiri si pedagang, sekilas Ardi melihat tukang layang-layang itu berterimakasih sampai membungkuk-bungkuk, kemudian pergi setelah memberikan seperangkat layang-layang lengkap dengan benangnya.
Ardi tersenyum, tatapannya lekat memperhatikan gadis itu yang mengajak beberapa anak kecil di sana untuk ikut bermain.
Ardi menghampirinya, membantu menerbangkan benda itu sampai jauh di udara, tinggi hingga tak tergapai lagi.
Karin merebut gulungan benang dari tangan Ardi, ingin ikut merasakan bagaimana membuat benda itu semakin jauh ke angkasa.
"Jangan dilepas, banyak yang nungguin." Ardi melingkarkan kedua lengannya di leher Karin, memeluk dari belakang, dan menempelkan dagunya di puncak kepala gadis itu.
Masih sibuk dengan benang yang terasa semakin berat tarikannya, Karin melirikkan matanya ke atas." Nungguin apa?" Tanyanya.
"Nungguin layangannya putus," ucap Ardi, kemudian keduanya menoleh pada anak-anak yang tampak fokus mengintai layang-layang yang terbang di udara.
Karin jadi tertawa, "gimana kalo kita putusin aja, Bang? Biar seru."
"Jangan dong, lima puluh ribu woy."
"Nanti abang ikut ngejar ya."
"Ogah, kaki gue masih sakit." Ardi melepaskan rangkulannya, melangkah ke hadapan gadis itu. "Kalo lo yang putus sih nggak apa-apa, pasti gue kejar."
Karin kembali tertawa, gimana mau putus, jadian juga nggak. Pikirnya. Dan entah kenapa dia merasa senang saat abangnya berpikit telah menjadi orang ketiga. Biar rasa.
"Abis ini lo mau kemana?"
Mendengar pertanyaan itu Karin mengerjap bingung, tidak biasanya sang abang menawarkan hal seperti ini, pemuda itu paling malas diajak jalan, pasti maunya langsung pulang.
"Beneran, Bang?"
"hmm."
"Kalo ke, Mall, boleh?"
"Boleh."
"Main time zone?"
"Iya."
"Sampe malem."
Ardi terdiam sesaat, "yaudah."
"Wah abang kesurupan."
Ardi merebut benang di tangan gadis itu dan memberikannya pada anak-anak di sana hingga berebutan. Kemudian menarik tangan Karin menghampiri motornya.
Di sinilah mereka sekarang, parkiran pusat perbelanjaan paling terkenal di kotanya. Ardi memakaikan jaketnya pada Karin. "Biar nggak terlalu mencolok seragam lo," ucapnya yang membuat Karin tersenyum.
Belum sampai masuk ke pintu utama, mereka melewati sebuah pintu bertuliskan rumah hantu yang membuat Karin sesaat berhenti.
"Karin belum pernah masuk ke tempat ini tau, Bang."
Ardi yang ikut berhenti kemudian menghela napas, "buat apa kita bayar mahal-mahal cuma buat menakuti diri sendiri," komentarnya.
"Ah bilang aja abang takut," olok Karin.
"Terus yang bilang gue berani siapa?"
Karin jadi tertawa, "jaim dikit kek, Bang yaelaah."
Ardi mengangkat bahu, sebenarnya dia tidak takut, toh setan yang ada di dalam pasti manusia semua, yang dia tidak suka itu jeritan-jeritan pengunjung yang malah justru membuatnya jadi terkejut, terlepas dari kostum setannya yang nggak ada serem-seremnya. Hiburannya di mana?
Dia selalu heran pada orang-orang yang rela mengantri, untuk menakuti dirinya sendiri, pake bayar pula. Dia sih dibayar juga ogah, kalo nggak kepepet mah.
"Nggak usah masuk ke rumah hantu, gue nengok, terus liat lo nggak ada juga gue udah takut." Ardi berucap serius.
Karin jadi tertegun, sejak tadi abangnya itu memang aneh, seperti ada sesuatu.
"Bang?"
"Hn?"
"Karin pengen es cream."
"Yaudah."
Ardi menunggu dengan bosan di sebelah stand es cream Turki. Di hadapannya Karin tampak cekikikan saat dikerjai oleh penjual es tersebut.
Beberapa antrian perempuan juga mendapat perlakuan yang sama, tukang es cream yang masih muda dengan wajahnya yang ke arap-arapan jadi membuat Ardi keki.
Pemuda itu berdecak, menghampiri Karin yang lagi-lagi mendapatkan cone kosong di tangannya.
"Sini biar gue aja." Ardi menggantikan Karin untuk mendapatkan es cream, membuat antrian perempuan yang tadi jadi merapat.
Ardi pikir dengan memasang tampang acuh dia akan langsung mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun pemuda itu juga dipermainkan, Ardi mendapatkan cone kosong yang dengan cuek malah ia makan.
Karin tertawa, dan beberapa antrian di samping abangnya juga tampak cekikikan. Si tukang es cream terlihat terkejut, tidak menyangka.
Ardi kembali mendapatkan cone kosong ke dua, dan dia kembali menggigitnya.
"Wah! Bisa rugi saya, Mas," protes tukang es cream tersebut dengan sesekali tertawa, saat Ardi kembali menggigit cone kosong ke tiga.
"Saya juga rugi waktu cuma nungguin es cream doang," balas Ardi.
Karin sudah memegangi perutnya yang nyaris kram, karena setengah mati menahan tawa.
Akhirnya Ardi dan beberapa yang mengantri mendapatkan es cream yang mereka inginkan juga.
Ardi mengacungkan selembar uang untuk membayar, namun saat si tukang es cream hendak mengambilnya ia menggerakkan tangannya menghindar, terus begitu hingga pria berwajah ke arap-arapan itu jadi tertawa.
"Ampun deh, Mas," ucap si tukang es yang Ardi tidak tau siapa namanya, dia tidak peduli juga, dipikir enak diusilin, cibirnya dalam hati.
"Ambil aja kembaliannya, Bang, " ucap Ardi setelah akhirnya menyerahkan juga lembaran uang di tangannya, itung-itung membayar tiga cone yang sudah ia makan barusan. Dan si tukang es cream menangkupkan telapak tangannya berterima kasih.
Berbeda dengan Ardi yang tampak kesal, Karin dan beberapa pengunjung yang ikut menyaksikan malah merasa telah mendapat hiburan.
"Udah si ketawanya," protes Ardi saat keduanya melangkah menuju bangku panjang di area itu.
"Tadi ada yang vidioin tau, Bang. Nanti di tik tok abang viral deh pasti."
Ardi tidak menanggapi, dia mendudukan dirinya di bangku panjang tanpa sandaran, mengusap wajahnya yang lelah. Sebenarnya ia ingin sekali pulang, rebahan is my passion lah judulnya.
Pemuda itu menoleh pada Karin yang juga duduk di sebelahnya, sibuk memakan es cream, wajahnya masih tampak berbinar ceria seperti anak kecil yang tidak punya beban dalam hidupnya.
Heran, ni anak batrenya merk apa si? Ardi jadi bergumam dalam hati.
Karin menoleh, memakan es dengan terburu-buru membuat bibirnya jadi blepotan. Tanpa sadar Ardi yang melihatnya jadi menjilat bibirnya sendiri.
"Abang mau?"
Ardi menggeleng. "Jangan berantakan makannya, gue nggak bawa tisu, mau di lap pake apa?" Tanyanya, kemudian sedikit menjulurkan lidah yang membuat Karin terkejut dan reflek mengelap mulutnya dengan lengan jaket yang ia kenakan.
"Baju gue, njiir!" Ardi menarik lengan baju yang sudah menempel di mulut gadis itu.
"Nggak sengaja, Bang. Reflek, abis abang ngancem."
"Gue ngancem apaan?"
"Ngancem bersihin mulut Karin pake–"
Ardi mendorong tangan gadis itu yang memegang es cream ke mulutnya, membuat ucapannya terpotong. Padahal dia hanya ingin memberitahu bagian yang kotor. "Pikiran lo ngeres sekarang, nggak usah nulis novel lah mendingan."
"Apa hubungannya sama novel, bukan pikiran karin yang kotor, tapi emang abang tuh mesum."
Set dah dikata mesum, namun bukannya marah, Ardi malah tertawa pelan, menggerak-gerakan kakinya yang mulai pegal. Matanya terus melirik ke bawah.
"Rebahan di sini enak kali ya, adem banget kayaknya ni ubin," gumamnya yang membuat Karin malah tertawa, dia jadi menoleh.
"Abang mau pulang? Ngantuk ya."
Ardi mengangguk, "tapi kan lo mau main."
"Nggak usah nggak papa, udah sore juga."
**
Sebelum pulang ke rumah, Ardi mengantar Karin ke rumah Maya untuk mengambil tas yang ia titipkan untuk dibawa pada teman sebangkunya itu.
"Tadi hp lo bunyi terus, gue silent deh, abis brisik," ucap Maya saat menyerahkan tas pada pemiliknya di depan rumah gadis itu.
"Oh yaudah nggak apa-apa," ucap Karin kemudian berterimakasih, setelah itu kembali menghampiri motor abangnya di depan pagar rumah Maya setelah berpamitan dengan teman sebangkunya itu.
Karin merogoh hp di dalam tas, namun Ardi merebutnya, kemudian mematikan benda itu."Udah mau magrib, kita solat dulu aja," ajaknya.
Tanpa curiga, Karin mengiyakan ajakan abangnya.
"Lo mau ke perpustakaan kota nggak?" Tanya Ardi saat keduanya masih berada di area masjid selepas menunaikan ibadah salat.
"Katanya abang mau pulang?" Tanya Karin, sembari merapikan letak tas di punggungnya.
"Katanya lo mau sekalian beli buku."
"Iya, sih, tapi bisa besok."
"Nggak apa-apa sekalian." Ardi menaiki motornya, kemudian membantu memasangkan helm di kepala gadis itu.
Saat mereka sampai, suasana masih begitu ramai. Di tempat ini, selain kita bisa memilih buku untuk dibeli, juga disediakan ruangan untuk membaca, dan mereka menuju ke sana.
Ardi memilih kursi paling sudut, beberapa kursi lain tampak penuh dengan pengunjung. Enaknya di sini suasananya amat tenang, ngobrol pun saling berbisik.
"Karin pilih buku dulu ya, Bang," bisik Karin pada abangnya yang sudah duduk di meja.
"Lo gue kasih waktu dua jam buat baca-baca." Ardi ikut berbisik, melirik jam di pergelangan tangannya. "Jam lapan nanti bangunin gue ya," lanjutnya lagi, kemudian melipat lengannya ke atas meja dan membenamkan wajahnya di sana.
Ardi mulai memejamkan mata, melupakan kekhawatirannya pada sesuatu yang belum tentu terjadi. Jika diberi pilihan, lebih baik dia yang pergi daripada harus menunggu.
Perlahan pemuda itu membuka matanya, mengerjap pelan menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan itu, dan yang pertama ia lihat adalah wajah Karin yang juga menempelkan kepalanya di atas meja.
Karin mengulurkan tangannya, menyentuh kening Ardi untuk merapikan rambutnya, "pulang, Bang. Udah mau tutup," bisiknya, kemudian menarik tangannya lagi.
Ardi menelan ludah, tenggorokannya begitu kering, dari lehernya yang amat pegal, dia mulai berpikir seberapa lama dia tertidur di tempat ini. "Jam berapa emang?" tanyanya, masih enggan mengangkat kepala.
"Udah jam sepuluh."
Ardi memejamkan mata, memijit pangkal hidungnya. "Kenapa lo nggak bangunin gue?"
"Abang tidurnya nyenyak banget, nggak tega Karin banguninnya." Karin mengangkat kepalanya, merapikan buku dan menyangkutkan tas di punggung.
Ardi ikut mengangkat kepala, mengusap lehernya yang masih terasa pegal. Dan saat menoleh pada gadis di sebelahnya dia tertegun.
"Kalo seandainya Papi Karin maksa Karin buat pulang, boleh nggak?" Tanyanya, dengan mata yang berkaca-kaca.
Saat Ardi tertidur tadi dia membuka hpnya sendiri yang tadi dimatikan oleh sang abang, membaca pesan-pesan dari Nena.
Dari situ juga dia tau, tujuan abangnya mengajak dia menghabiskan hari ini untuk menghindari sang papi.
"Kalo gue bilang nggak boleh, apa nanti lo nggak bakal dapet masalah."
Karin mengusap air mata yang mulai jatuh, kemudian mengulurkan jari kelingkingnya, mengajak untuk membuat janji.
"Kalo Karin milih buat nggak ikut pulang sama papi, apa abang juga bisa janji buat nggak kuliah di luar negri."
Ardi sesaat tertegun, perlahan mengangkat tangannya, mengulurkan jari kelingking.
Belum sempat jari mereka bersentuhan, sebuah seruan membuat keduanya menoleh.
"Maaf, Kak. Kita udah mau tutup." Seru si penjaga perpus, yang membuat keduanya beranjak untuk pulang.
Ardi: Gas terus komentarnya, jan kasih kendoor 😘😘😘
Karin: jangan lupa buka pusat misi buat ngumpulin poin ya, votenya ditunggu 🤣🤣 buat daku jadi teratas.
**iklan**
Netizen: Itu penjaga perpus yang nongol bisa di karungin dulu nggak thor. Ganggu bet dah ah.
Author: yang ganggu tuh iklan lu sebenernya.
Gue mau makasih buat komentarnya yang kesurupan, sampe 500 gitu kalian luar biasa 🤣🤣 vote komen terus ya, jan sampe kendoor.
Netizen: yang ganggu tuh sebenernya cuap-cuap lo thor, udah upnya lama, motongnya nanggung nggak terima gue, gue nggak bisa diginiin thoooor.
Author : 🤣🤣🤣🤣