ini memang cerita poligami namun bukan cerita istri yang tertindas karena menjadi yang ketiga. Melainkan kisah gadis tomboy yang cerdas, pintar dan membuat dia survive dalam kehidupannya.
Naura Kiana tak pernah menduga kalau kehidupan akan membawanya pada sesuatu yang tak ia sukai. Setelah kakeknya bangkrut dan sakit-sakitan, Naura diminta untuk menikah dengan seorang pria yang sama sekali tak dikenalnya. Bukan hanya itu saja, Naura bahkan menjadi istri ketiga dari pria itu. Naura sudah membayangkan bahwa pria itu adalah seorang tua bangka mesum yang tidak pernah puas dengan dua istrinya.
Naura ingin melarikan diri, apalagi saat tahu kalau ia akan tinggal di desa setelah menikah. Bagaimana Naura menjalani pernikahannya? Apalagi dengan kedua istri suaminya yang ingin selalu menyingkirkannya? Bagaimana perasaan Naura ketika pria yang sejak dulu disukainya akhirnya menyatakan cinta padanya justru disaat ia sudah menikah?
Ini kisah poligami yang lucu dan jauh dari kesan istri tertindas yang lemah. Yuk nyimak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Henny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cuek
Makan malam yang diantar oleh Gading sudah hampir dingin. Wisnu sendiri masih duduk di depan meja makan sambil terus merenungi perjalanan hidupnya yang kini memiliki 3 istri.
Andai saja Dina tak sakit, maka aku tak akan pernah memiliki istri sebanyak ini. Karena bagiku, pernikahan yang bahagia itu hanya untuk satu pria pada satu wanita. Seperti juga pernikahan kedua orang tuaku. Namun aku terjebak dalam keadaan ini. Awalnya, bersama Regina dan Indira semuanya berjalan secara normal. Namun kini bersama Naura, semuanya menjadi lain. Kenapa juga aku harus setuju menikahi Naura? Apakah karena wajahnya agak mirip dengan Dina?
Lamunan Wisnu terhenti saat ia mendengar pintu depan yang dibuka. Ternyata bibi Aisa yang datang.
"Selamat malam, juragan!"
"Selamat malam, bi."
"Maaf, aku pikir kalau tuan tak ada di sini. Soalnya aku tak melihat ada mobil."
"Mobilnya sudah dibawa oleh Gading."
"Kalau begitu, saya kembali ke rumah utama saja, juragan."
"Tunggu sebentar, bi." Wisnu melangkah menuju ke kamar. Ia hendak mengajak Naura untuk makan malam. Namun saat pintu kamar terbuka, Naura sudah memadamkan lampu utama dan dia sudah ada di atas ranjang sambil menutupi tubuhnya dengan selimut tebal.
Wajah Naura nampak tenang dengan napas yang teratur. Wisnu yakin kalau Naura sudah tidur. Salah satu penyebab Naura kelelahan selain karena ia ke kota dengan menggunakan motor, adalah juga karena aktivitas ranjang mereka tadi.
Secara perlahan Wisnu mencium dahi Naura, lalu ia segera keluar kamar.
"Bi Aisa tidur di sini saja. Aku akan kembali ke rumah. Tolong simpan makanannya. Naura belum makan namun ia sudah tertidur. Siapa tahu ia nanti bangun dan mencari makanan."
"Baik, juragan."
Wisnu pun segera meninggalkan villa. Ia merasa harus menjauh dari Naura malam ini. Ia berusaha bersikap netral. Naura tak harus menjadi istimewa dibandingkan dengan Regina dan Indira. Wisnu ingin menempatkan Naura di hatinya sama dengan istri pertama dan keduanya.
Saat ia memasuki rumah, Regina masih ada di dapur. Sedang membuat susu bagi Lisa.
"Mas, katanya akan menemani Naura karena ia kurang sehat."
"Naura sudah baikan. Ia bahkan sudah tidur. Di mana Lisa?"
"Ada di kamarnya, mas."
"Berikan susu nya padaku. Biar aku yang memberikan kepadanya. Kau tidurlah. Aku akan tidur dengan Lisa malam ini."
Regina mengangguk senang. Ia harus belajar sabar. Gilirannya akan tiba besok. Dan dia akan membuat sarapan yang istimewa besok.
*********
Keesokan paginya, Regina pun bangun saat jam masih menunjukan pukul setengah enam. Ia segera ke dapur dan menyiapkan sarapan.
Wisnu ke ruang makan bersama Lisa, disusul oleh Indira.
Wajah Regina nampak berseri-seri.
"Selamat pagi, mas. Aku menyiapkan sarapan Kesukaan mas." Kara Regina sambil menunjukan sup ikan yang sudah selesai dibuatnya. Wisnu hanya tersenyum sambil mengangguk. Tiba-tiba ia ingat juga dengan sup ikan buatan Naura. Sup yang sangat enak dan lezat.
"Bi Aisa, mengapa Naura belum datang ke ruang makan? Apakah dia belum bangun?" tanya Wisnu.
"Nyonya sudah bangun sejak pagi tadi. Namun nyonya sudah pergi dengan sepedanya. Katanya ia mau keliling kompleks dan berpesan bahwa mungkin akan datang sekitar jam 10."
Wisnu hanya mengangguk dingin. Ia pun mulai menikmati sarapannya.
"Bagaimana, mas? Enak?"
Wisnu mengangguk walaupun dalam hatinya ia harus mengakui kalau sup buatan Naura lebih lezat. Wisnu tak mau mengecewakan Regina yang sudah membuat ini semua.
"Aku tak akan makan siang di rumah karena hari ini akan ada pemeriksaan pembuatan jalan lingkar bersama dengan tim dari pemerintah." Kata Wisnu sebelum pergi meninggalkan ruang makan. Entah mengapa ia merasa ada yang kurang saat tak menemukan Naura di meja makan.
Naura sendiri sudah sampai di perkampungan dengan wajah gembira. Ia melihat para ibu-ibu sedang mengerumuni sepeda motor tukang sayuran. Ia juga melihat para pekerja yang sedang sudah mulai ke kebun untuk bekerja. Beberapa pekerja yang sudah mengenalnya tersenyum sambil menundukkan kepalanya.
"Selamat pagi nyonya!" Sapa mereka.
"Selamat pagi semuanya." Naura membalas sapaan mereka dengan senyum terbaiknya juga.
Sepeda Naura berhenti di depan sebuah warung kecil. Ia ingin membeli air mineral.
"Selamat pagi, permisi. Saya mau membeli air mineral."
Seorang perempuan keluar dan membuat Naura terkejut. "Ibu Kumala?"
"Nyonya Furkan. Selamat pagi."
"Panggil namaku saja, bibi. Naura!"
Kumala tersenyum. "Nggak baik, nyonya. Bagaimana pun nyonya adalah istri juragan."
Istri ketiga. Sambung Naura dalam hati.
"Nggak masalah, bi. Oh ya, rumah bibi di sini?"
"Iya."
"Tinggal sendirian?"'
Kumala mengangguk.
"Bibi nggak punya anak?"
Kumala nampak sedih. Namun akhirnya ia menjawab. "Punya. Tapi sudah meninggal."
"Maafkan saya, bi. Pertanyaan saya pasti membuat bibi sedih." Naura menyesal melontarkan pertanyaan itu.
"Nggak apa-apa, nyonya. Oh ya, sedang bersepeda sendiri?"
"Iya. Mumpung masih pagi. Udaranya juga sejuk. Saya sampai berkeringat dan kehausan."
"Oh tunggu sebentar. Katanya tadi mau beli air mineral kan? Bibi ambilkan dulu." Kumala melangkah masuk ke dalam warungnya dengan mengambil sebotol air mineral. Naura langsung meneguknya sampai setengah.
"Berapa harganya, bi?"
"5 ribu, nyonya."
Naura mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari dalam saku celananya.
"Belum ada yang kembaliannya."
Naura tersenyum. "Kembaliannya untuk bibi saja."
"Jangan nyonya. Nanti saja nyonya bayar kalau sudah ada uang kecil."
"Begini saja. Bibi simpan aja dulu kembaliannya. Setiap kali aku bersepeda dan lewat jalan ini, aku pasti akan mampir untuk membeli air mineral." Naura mengenakan lagi topinya. "Saya permisi dulu ya, bi. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Kumala menatap kepergian Naura dengan hati yang bergetar. Ia bahkan menahan air matanya. Semoga kau bahagia, nak.
*********
Hari ini pekerjaan Wisnu sangat padat. Ia harus mendampingi pihak dari Dinas PU dan juga memeriksa ladang jagung yang terbakar pada hal sebentar lagi akan panen. Para pekerja mengatakan kalau ladang itu dengan sengaja dibakar dan mereka berjanji akan menemukan siapa dalang di balik semua itu. Namun yang membuat Wisnu kadang kehilangan konsentrasi adalah bayangan wajah istri ketiganya itu yang sama sekali tak memberi kabar dan ponselnya juga tak aktif. Regina dan Indira mengiriminya pesan, mengingatkan Wisnu agar jangan sampai terlambat makan dan jangan terlalu capek. Namun istri ketiganya itu sama sekali tak menunjukan perhatiannya pada Wisnu dan itu yang membuat Wisnu kesal.
Saat hari menjelang malam, barulah Wisnu tiba kembali ke rumah. Ia memang merasa sangat lelah.
Regina langsung menyambutnya begitu ia tiba. Perempuan cantik itu mencium tangan Wisnu. "Selamat datang, mas. Mau langsung mandi atau mau minum kopi dulu?"
"Aku mau mandi dulu. Tolong buatkan saja teh jeruk. Aku ingin meminumnya." Kata Wisnu sebelum menaiki tangga meninggalkan Regina yang masih tersenyum padanya.
Wisnu pun mandi dan segera berpakaian. Ia berdiri di balkon kamarnya sejenak. Pandangannya lurus ke arah Villa. Lampu villa sudah dinyalakan. Wisnu juga melihat kalau sepeda Naura di letakkan nya di depan teras. Ia pun turun ke bawa. Lisa langsung menyambutnya dan meminta peluk. Wisnu pun memeluk gadis kecil itu dan mengajaknya ke meja makan.
Berbagai macam makanan sudah di atur di atas meja. Regina memang pintar menyenangkan Wisnu dengan berbagai jenis masakan. Walaupun Wisnu harus mengakui bahwa keahlian memasak Regina tak juga mengalami perkembangan sepanjang 5 tahun lebih pernikahan mereka. Tapi, begitulah Wisnu. Ia tak mau menjatuhkan Regina dengan memprotes masakannya.
"Mas, kangen rasanya nggak melihat mas seharian." Kata Indira sambil memeluk Wisnu dan mencium pipi suaminya dengan senang hati.
Regina melotot ke arah Indira untuk mengingatkan perempuan itu kalau sekarang adalah gilirannya.
Aisa dan Mona yang menyiapkan meja makan hanya bisa tersenyum melihat tingkah Indira.
"Mana, Naura?" tanya Wisnu saat ia sudah berada di ruang makan.
"Nyonya masih berada di villa, juragan." Jawab Mona.
"Panggilkan nyonya Naura. Makan malam harus bersama keluarga." tegas Wisnu.
Mona mengangguk dan setengah berlari ia menuju ke villa.
Naura sebenarnya sudah makan malam lebih dulu. Ia memasak di villa. Namun mendengar bahwa Wisnu mengatakan kalau ia harus berada di ruang makan, Naura menurut. Ia tak ingin sampai Wisnu membatalkan ijinnya untuk dapat kuliah lagi.
Saat Naura memasuki ruang makan, pandangan Indira dan Regina langsung menusuknya. Namun tidak dengan Wisnu. Entah mengapa ia terkesima melihat Naura yang malam ini tampil cantik dengan rambut yang dibiarkan tergerai, dan menggunakan gaun rumahan berbahan karet sehingga membungkus tubuhnya yang ramping.
"Selamat malam." Sapa Naura lalu segera mengambil tempat duduk di samping Indira.
Acara makan malam keluarga pun dimulai. Naura tak bicara sama sekali. Ia juga makan sedikit karena memang di lidah nya makanan ini sama sekali tak enak.
Indira dan Regina nampak cuek. Keduanya sesekali berbicara dengan Wisnu.
Dalam hati Naura tertawa melihat dandanan Regina yang berlebihan. Mungkin juga karena malam ini juragan akan berada di kamarnya. Dan Naura sama sekali tak perduli.
Selesai makan, Naura diam masih berada di meja makan. Ia sebenarnya ingin berbicara sesuatu dengan Wisnu.
"Aku sudah selesai." Kata Wisnu lalu mengambil tissue dan membersihkan wajahnya.
"Mas, boleh kita bicara sebentar?" tanya Naura. Mengubah nama panggilannya pada Wisnu.
Wisnu menatapnya dingin. "Silahkan."
"Aku ingin bicara berdua saja." Ujar Naura sambil menahan geli di hatinya melihat bagaimana wajah cemberut Regina dan Indira.
"Aku akan berbicara dengan Gading sebentar. Kau tunggulah di kamar atas." Kata Wisnu lalu segera meninggalkan ruang makan.
Naura terkejut mendengar kata kamar. Jantungnya langsung berdetak cepat. Kenapa juga harus bicara di kamar? Kita kan bisa bicara di ruang kerjanya, atau di ruang tamu.
"Naura, kau jangan macam-macam di kamar bersama, mas. Ingat hari ini adalah giliran ku bersama mas Wisnu!" Kata Regina pelan namun penuh nada ancaman.
"Tenang saja, mba. Mas Wisnu adalah milikmu malam ini dan seterusnya." Kata Naura sambil mengedipkan matanya dan segera menuju ke kamar atas.
Tak sampai 10 menit, Wisnu sudah menyusulnya ke kamar.
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Wisnu sambil mendekati Naura yang sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.
"Juragan, pendaftaran semester baru hampir berakhir. Bagaimana dengan kuliahku?" tanya Naura penuh harap.
"Kau sudah bersikap tidak baik kemarin dengan pergi ke kota tanpa pamit. Kau juga tak ikut sarapan bersama dengan alasan naik sepeda. Malam ini juga kalau Mona tak memanggilmu, kau juga tak akan makan malam bersama. Bagaimana aku bisa mengijinkan mu?"
Naura menunduk. Ingin menyumpahi juragan namun ia tak bisa. "Maaf. Aku tadi masak di villa. Soalnya sore tadi aku iseng-iseng memancing di pinggir danau. Eh, dapat ikan 3 ekor. Makanya aku bakar saja."
Wisnu ingin tersenyum mendengar pengakuan riang Naura dengan tangkapan ikannya. Namun ia masih kesal karena gadis itu mengabaikannya satu hari ini.
"Mengapa ponselmu tak aktif?"
"Karena asyik memancing, aku tak sadar kalau batrei nya sudah habis." Naura menatap Wisnu yang sedang duduk di hadapannya dengan tatapan dingin. "Jadi bagaimana dengan kuliah ku?"
"Akan ku pikirkan nanti."
Naura berdiri. "Ya sudah. Aku kembali ke villa dulu. Selamat malam, juragan!" Naura akan melangkah pergi namun Wisnu dengan cepat berdiri dan menghadang langkah gadis itu.
"Ada apa?" tanya Naura dengan gugup.
"Aku suka kau memakai gaun ini." Kata Wisnu dengan senyum menggoda.
Naura hanya tersenyum. Pada hal dia ingin bilang, sungguh tak nyaman menggunakan gaun menyebalkan ini.
"Lain kali perhatikan baterai ponselmu. Aku tak ingin saat menghubungimu lalu ponselmu tak aktif."
"Baik, juragan. Boleh aku pergi sekarang?"
Wisnu menatap Naura. Matanya beralih ke bibir tipis tanpa polesan lipstick itu. Bibir yang sangat menggoda untuk di sentuh. Dan Wisnu pun tak mau menahan dirinya. Ia langsung melingkarkan tangan kanannya di pinggang Naura, menarik perempuan itu untuk mendekat padanya. Mata Naura membulat saat merasakan tak ada lagi jarak diantara mereka.
"Jura..."
Kalimat Naura pun langsung terhenti karena Wisnu sudah menyatukan bibir mereka dalam ciuman yang lembut namun menghanyutkan.
*********
Nah, apa yang akan terjadi di kamar Juragan?
Bagaimana dengan konsep keadilan juragan untuk istri-istrinya yang lain?
Berikan komentar terbaikmu ya?
baru lapak emak n bapaknya